The Vanilla Heart

Bentang Pustaka
Chapter #3

Melepas Kepahitan

“Aku tidak cukup terluka hingga harus patah hati. Tetapi, aku merasa sakit karena dicampakkan, seakan aku tidak pernah berarti baginya.”

(Hugo Ishmael)

Apakah waktu bisa menyembuhkan luka? Teorinya, sih, begitu. Namun, Hugo tidak sependapat. Bertahun-tahun dia mencoba melupakan rasa sakit hatinya karena kandasnya hubungan cintanya dengan Farah, tetapi sepertinya tidak berhasil. Itu bukan karena Hugo masih sangat mencintai Farah. Sama sekali bukan itu, melainkan karena perasaan diabaikan dan dicampakkan.

Dan, kepahitan itu tidak punah juga.

Hugo tidak pernah membayangkan akan memiliki kekasih lain. Selama bertahun-tahun, hanya Farah yang ada di hatinya. Farah adalah masa depannya. Farah adalah teman berbagi segalanya dalam hidupnya. Hal itu yang dipikirkan Hugo selama tujuh tahun hubungan mereka. Namun, tiba-tiba saja gadis itu memutuskan untuk membatalkan rencana pertunangan mereka. Saat itu juga, secara mendadak semua cinta yang pernah bersemayam kokoh di hati Hugo pun mulai berubah aroma.

Rasa sakit akibat penolakan Farah atas pertunangan mereka masih terasa menusuk-nusuk di tiap tarikan napas Hugo. Rasa sakit itu menciptakan nyeri di tiap inci kulitnya. Hugo pernah berpikir bahwa hidupnya sudah berakhir karena penolakan Farah. Pemikiran Hugo itu tidaklah berlebihan karena baginya, cinta adalah Farah dan Farah adalah cinta.

Akan tetapi, jangan kira Hugo menjadi orang yang patah hati dan tidak lagi hendak bersentuhan dengan yang namanya cinta. Tidak separah dan sedramatis itu. Patah hati mungkin, tetapi tidak lantas membuat Hugo enggan hidup. Hanya saja, Hugo menjadi sosok yang jauh lebih hati-hati untuk urusan hati. Dia tidak mudah memercayai janji atau isyarat cinta apa pun. Bahkan, tidak sedikit yang merasa kalau Hugo menjadi orang yang mudah curiga pada rasa cinta yang ditawarkan kaum perempuan.

“Kamu sekarang jadi orang yang berbeda,” ulas kakak sulungnya, Vincent. Alisnya bertaut melihat sang adik yang memutuskan untuk mengepak koper dengan tujuan Bristol, salah satu kota di Inggris. Alih-alih menuju Melbourne seperti keinginan awalnya, Hugo malah memutar arah perjalanannya dengan begitu dramatis ke Kota Bristol. Dia mencari informasi seputar kota itu secepat yang dia bisa dan membuat keputusan yang mengejutkan. Hugo memilih melanjutkan studinya di Bristol, bukan London, Paris, Amsterdam, atau kota-kota besar lainnya.

“Apa kamu sungguh-sungguh mau ke Bristol? Aku bahkan belum pernah mendengar namanya,” imbuh kakak keduanya, Taura. Hugo masih membaca daftar barang yang akan dibawanya.

“Aku sekarang menjadi orang yang berbeda? Mungkin saja. Kalau Kakak jadi aku, apakah Kakak masih tetap menjadi seperti Vincent sebelumnya?” balasnya santai. Lalu, Hugo mengangkat wajah dan menatap Taura. “Bristol itu tidak hiruk-pikuk seperti London. Aku pasti betah di sana.”

Tiga pria kakak beradik itu memiliki garis wajah yang mirip, menunjukkan hubungan darah yang kental. Mereka bertiga sama-sama jangkung, berhidung tinggi dan tajam, berbola mata hitam, juga dagu persegi yang tegas. Hanya saja, dagu Taura lebih istimewa karena memiliki belahan yang lumayan jelas.

Kulit Hugo lebih terang dibandingkan dua saudaranya, berwarna kuning langsat. Sementara, Vincent dan Taura meniru kulit sang ayah, berwarna kecokelatan. Hugo memiliki mata bersorot tajam sekaligus jernih dan rambut lurus berwarna hitam yang cukup tebal. Alisnya pun senada, lumayan tebal. Pipi dan keningnya sedang, bibirnya menyerupai bentuk busur panah dan berwarna kemerahan. Itu menandakan kalau pria muda ini tidak bersentuhan dengan nikotin. Secara keseluruhan, penampilan Hugo sangat menarik.

Vincent adalah perokok sehingga tidak memiliki bibir sewarna dengan sang adik. Pipi dan alisnya sangat menyerupai milik Hugo. Sementara, Taura yang berbibir tipis, mempunyai mata yang sangat identik dengan Hugo. Hanya saja, mata itu bersorot lebih lembut.

Hugo sering ditanya apakah ada darah Kaukasia atau Arab yang mengalir dalam tubuhnya. Seakan-akan mustahil menyaksikan orang Melayu memiliki hidung yang tinggi dan kulit yang bersih. Hugo berayahkan lelaki Jawa, bernama Julian, dan beribukan perempuan Sunda, bernama Salindri.

“Kamu masih muda, untuk apa patah hati terlalu dalam? Apa perlu kamu harus pergi sejauh ini hanya untuk melupakan Farah?” usik Vincent lagi. Lelaki yang baru melewati usia seperempat abad itu mencemaskan si bungsu. Taura, yang selisih usianya hanya setahun dengan Vincent dan Hugo, ikut mengamini.

“Tetap tinggal di sini juga bisa menyembuhkan patah hati, Go. Aku akan menolongmu. Kita akan mencari jalannya bersama-sama.”

Hugo menggeleng. Dia membantah kata-kata kedua kakaknya.

“Aku tidak sepatah hati itu. Aku memang marah. Tetapi, perasaan dominanku adalah terpukul. Aku merasa dibuang oleh gadis yang kucintai selama bertahun-tahun. Aku bahkan bertanya-tanya, apa selama ini aku sudah dibohongi? Apa selama ini Farah pernah mencintaiku?” ucap Hugo dengan sorot mata menerawang.

Vincent mengangkat lengan dan meletakkannya di belakang kepalanya. Dia duduk bersandar di sofa empuk yang ada di kamar sang adik. Di sebelahnya, Taura memandang ke arah Hugo dengan penuh perhatian.

“Kamu orang yang rumit, Dik,” ucap Taura. “Kenapa kamu tidak mau mengaku kalau memang patah hati? Kenapa kamu harus berdalih macam-macam?” tanyanya dengan ekspresi bosan.

“Aku jujur, Kak,” bantah Hugo. “Patah hatinya sebentar, tetapi perasaan sakit karena dicampakkan itu yang sepertinya sulit untuk segera hilang,” bibirnya memaksakan senyum. “Otakku bahkan belum bisa berpikir jernih.”

Vincent mendesah pelan. Dia sangat mengerti perasaan Hugo karena pernah mengalami hal yang mirip meski tidak persis sama. Harga diri sebagai lelaki kadang jauh lebih terluka ketika perasaannya mulai diusik.

“Aku mengerti maksudmu, Go. Kita, kaum pria di keluarga Ishmael, memang punya ego dan harga diri yang tinggi,” tawa halusnya pecah di ujung kalimat. Taura cepat-cepat menggelengkan kepala.

“Hal itu terjadi karena kalian terlalu serius memandang cinta. Kamu, Go, untuk apa kamu pacaran bertahun-tahun dan mau bertunangan segala? Apa kamu yakin kalau Farah yang terbaik untukmu? Kamu, kan, belum bertemu banyak perempuan di dunia ini?” debat Taura.

Taura memang tipe orang yang tidak pernah serius memandang masalah asmara. Jika dimasukkan ke dalam daftar, jumlah mantan pacarnya mungkin jauh lebih banyak dibandingkan cabang olahraga yang dipertandingkan dalam olimpiade modern. Meski tingkahnya ini kadang dikecam oleh saudara-saudaranya, Taura tetap tidak menunjukkan kepedulian yang pantas.

“Tahu apa kamu soal cinta, Taura?” tepis Vincent tidak sabar. “Kamu belum menemukan cinta dalam arti yang sesungguhnya. Kamu tidak mengerti bagaimana mencintai dan dicintai sebagaimana harusnya. Kamu sering gonta-ganti kekasih seakan-akan itu bukan hal penting.”

Hugo ikut meringis mendengar kata-kata kakak sulungnya. Dia memandang ke arah setumpuk koper yang sudah berjajar rapi dengan puas.

“Apa kamu tidak merasa ini semacam perilaku melarikan diri yang tidak sehat?” tanya Taura belum menyerah.

Hugo mengangkat bahu dengan jujur. “Entahlah, bisa jadi aku memang melarikan diri. Perasaanku rumit, sulit untuk dijabarkan dengan kata-kata. Aku merasa kehilangan, sakit hati, tidak berharga, tidak dicintai ....”

“He, kamu jangan pernah merasa kalau dirimu itu tidak berharga!” potong Taura cepat. Perasaan cemas melumuri sepasang matanya. Sorot kelembutan terpancar jelas. Hugo sering mengagumi mata kakaknya itu, sekaligus memaklumi mengapa banyak gadis yang rela menjadi kekasih Taura meski mereka tahu kakaknya bukan tipe orang yang bertahan lama pada suatu hubungan personal.

“Itu bukan perasaan secara umum, Kak, melainkan cuma untuk menggambarkan perasaanku kepada Farah,” Hugo terkekeh geli. “Jangan khawatir, Kak, aku tidak akan berubah menjadi orang yang rendah diri dan menyedihkan,” janjinya. “Aku cuma ingin memulihkan hatiku. Semoga hanya kebaikan yang akan terjadi di Bristol.”

Memang tidak ada hal buruk yang dialami Hugo selama nyaris lima tahun berada di Bristol. Kota itu sengaja dipilih oleh Hugo setelah dia mendapat masukan dari salah satu teman SMP-nya, Kendra.

“Bristol itu kota yang nyaman, Go. Kota itu tidak terlalu ramai dan sumpek. Di sana tidak terlalu ingar-bingar juga. Aku yakin kamu pasti betah berada di sana.”

Bristol adalah salah satu tujuan utama wisata musim panas. Ada banyak acara tahunan populer yang diselenggarakan saat musim itu, seperti Bristol Harbour Festival atau Bristol International Balloon Fiesta. Saat Bristol Harbour Festival diselenggarakan, ada banyak kapal yang bersandar di pelabuhan. Para pengunjung bisa menikmati bazar, musik, dan aneka acara lainnya. Sementara, Bristol International Balloon Fiesta memungkinkan pengunjung menikmati peluncuran sekitar 100 buah balon terbang ke udara setiap pukul 6.00 pagi dan pukul 6.00 sore.

Kendra sangat benar, Hugo memang langsung merasa betah tinggal di Bristol. Seperti kota-kota di Eropa pada umumnya, Bristol adalah kota yang masih merawat banyak sekali bangunan artistik nan indah. Hugo selalu merasa berada di dunia yang berbeda saat dia menyusuri jalan-jalan di kota itu. Ada bagian bangunan tertentu yang mengekspos keriaan modernisasi dan kemajuan teknologi. Namun, ada juga bagian bangunan di kota itu yang tetap mempertahankan sisa-sisa sejarah masa lalu. Bangunan-bangunan kuno itu seakan mengembalikan manusia ke masa ratusan tahun sebelumnya. Hanya saja, manusianya kali ini mengenakan jins dan kaus, bukan pakaian berlapis ala masa lalu.

Hugo memilih untuk menimba ilmu di University of the West of England, atau UWE, Bristol. Universitas ini memiliki beberapa kampus, yaitu Frenchay Campus sebagai kampus utama, Bower Ashton Campus, St Matthias Campus, Glenside Campus, dan Hartpury Campus. Hugo memilih Jurusan Business Management. Karena itu, Hugo pun berkuliah di Frenchay.

Kendra, yang masih tinggal di Bristol saat Hugo ke sana kali pertama, memberikan banyak bantuan. Kendra membantu Hugo menemukan tempat tinggal yang nyaman dengan lokasi yang tidak jauh dari kampus dan akses bus yang mudah. Hugo tinggal di sebuah rumah bergaya Victoria dengan empat orang mahasiswa lainnya.

Lihat selengkapnya