"Gadis ini... kamu sangat mengerikan, KIRANA"
Secepat kilat Panji mendorong tubuh Wira terdesak di antara pepohonan dengan tangannya yang kecil. Darah yang panas seakan mengalir ditubuhnya, dia tidak memperdulikan tangan kokoh Wira menahannya, Panji menekan dada Wira yang berusaha memberontak. Dari balik punggungnya Panji mengeluarkan sebelah keris dan menodongkan nya pada wajah Wira.
"Haruskah aku mengoyak tubuh sepupuku agar orang-orang percaya bahwa dia dimakan binatang buas?"
Wira tak bergeming dia tampak menyerah untuk melawan. Panji berusaha menahan diri dari amarah dan kembali menyarungkan keris nya, melempar tubuh Wira hingga tersungkur ditanah. Wira menatapnya nanar, punggungnya masih sakit karna terbentur dahan pohon. Dia tidak mengerti kenapa Panji semarah itu. Seperti yang sudah dia katakan, mengerikan.
Panji merapikan pakaiannya yang tidak kusut dan mengatur nafas kembali hingga tenang. Tanpa menatap Wira dia kembali melangkahkan kaki.
"Hanya kamu dan ibu yang tau, jika aku ketahuan, itu salah mu!"
Panji, putra dari pemilik penginapan yang hampir hancur di desa yang terletak dinlereng Gunung Slamet. Kirana menggunakan identitas pria itu untuk bertahan di desa. Panji yang tampak seperti pria yang tangguh dengan tubuh kecil yang sangat lincah saat bertarung tetaplah seorang wanita muda bagi Wira. Namun dia menjadi satu-satunya tumpuan bagi orang-orang di penginapan. Dia tidak membencinya, tapi berharap Panji hidup selayaknya.
Wira menatap punggung Panji yang semakin menjauh.
"Istirahatlah beberapa hari... Bibiku sangat mengkhawatirkan mu!"
.
Puri Ageng, salah satu bangunan megah bagian dari Istana di Dharmawulan, pusat pemerintahan Majapahit. Bangunan yang tampak tua tanpa kilauan emas seperti bangunan lainnya. Bangunan dengan kolam ikan yang dikelilingi anyelir terdapat didalamnya. Terletak di komplek belakang yang Jarang terjamah para pejabat. Yang Mulia Ratu Tribhuwana Tunggadewi berdiri disana.
"Yang Mulia, tuan Mada Menghadap"
Salah seorang pelayan istana berkata lembut dengan sikap sopan kepada Sang Ratu. Ratu tersenyum mengerti dan berbalik badan mendapati seorang yang ditunggu duduk menghadapnya selayaknya seorang abdi. Sang Ratu menatap wajahnya yang tampan berada diantara bunga-bunga yang bermekaran, bahunya yang lebar menambah wibawanya.
"Aku sungguh minta maaf, rumor yang susah payah kamu atasi pasti akan muncul lagi karna aku memanggilmu kesini"
Rumor jahat yang menyebut hubungan Sang Ratu dengan bawahannya, yang bahkan tidak pantas disebutkan. Tiga tahun berjalan dalam pemerintahannya, Majapahit semakin maju dan rakyat semakin makmur terbukti dari hasil panen rempah yang melimpah ruah sampai di kirim ke luar kerajaan dan hubungan diplomatik dengan kerajaan sekitar yang semakin erat.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Ratu banyak berkoordinasi melalui pesan dengan para abdinya sehingga seringkali menimbulkan rumor, termasuk hubungannya dengan Mada. Meskipun begitu, Ratu tidak terlalu memikirkannya. Menjadi pemimpin kerajaan besar di usia 25 tahun bukanlah masalah baginya, dia sudah di tinggal di istana itu sejak lahir dan mempelajari ilmu pemerintahan sejak kecil, membuatnya tak ragu mengambil resiko seperti saat ini. Puri Ageng yang terletak di belakang menjadikannya area pribadi, namun Sang Ratu secara terang-terangan memanggil Mada, pria yang satu tahun lebih muda darinya. Barangkali para Ksatria di istananya sudah menyaksikan Mada melangkah ke Puri Ageng dan mulai menyebar rumor.
"Ancaman seperti apa yang kamu maksud sampai mengirim pesan secara pribadi?"
Ratu menatap Mada penuh tanya. Dia melipat tangannya menuntut penjelasan.
"Aku ingin mendengarnya langsung darimu"
"Saya tau ini terdengar konyol Yang Mulia" Mada mulai menjelaskan maksud dari pesan yang ia kirimkan dengan lancang. Bagaimana tidak? Dengan beraninya Mada mengirimkan pesan secara pribadi kepada Ratu dengan maksud agar beliau segera membacanya.