Tokyo. Jepang.
Haruka-chan masih terbaring di tempat tidurnya. Setelah peristiwa mengerikan tiga hari lalu, wanita itu menjadi pendiam.
Haruka-chan merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Dua hari ini dia dilanda dehidrasi akut, berapapun air yang sudah ia minum, tenggorokannya masih teras kering. Dan pagi tadi, serangan mual dan diare mulai menghantui Haruka-chan.
Dokter mengatakan, itu hanya serangan shock atas peristiwa tiga hari lalu, walau Haruka tidak yakin atas keterangan dokter tersebut.
"Bagaimana keadaanmu? Terasa lebih baik?" Daichi menghampiri istrinya, duduk di samping Haruka-chan yang terbaring lemah. Wanita itu hanya menggeleng pelan.
Daichi terlihat tenang, walau sorot mata sedih dan khawatir itu tidak bisa ia sembunyikan. "Tidak apa-apa. Kamu hanya butuh menenangkan diri, Sayang." Daichi menggenggam jemari Haruka-chan, mencium dahi wanita itu dengan lembut.
"Aku harus pergi. Hanya sebentar, untuk melihat kondisi ayahmu,"
"Ada yang terjadi dengan ayahku?" Haruka bertanya dengan begitu khawatir.
"Tidak. Hanya kelelahan dan shock sama seperti kamu, Sayang."
Haruka terdiam. Bahkan saat Daichi mencium tangannya lalu bangkit dari duduknya, wanita itu masih termenung.
"Anata .... "
"Iya?"
"Kazuo sensei masih di rumah duka?"
Daichi menggeleng. "Tadi pagi sudah dilakukan upacara kremasi."
....
"Anata .... "
"Heemm .... ?" Kali ini Daichi kembali menghampiri istrinya.
"Mmm .... Tidak jadi, pergilah. Sampaikan salamku untuk ayah."
"Kau harus istirahat. Jangan berpikir berat. Aku segera kembali." Daichi sekali lagi mencium kening Haruka-chan dan meninggalkannya.
Tanpa Daichi tahu. Dibalik selimutnya, Haruka dihantui banyak dugaan-dugaan yang mengganggunya sejak tiga hari lalu.