THE VISIBILITY

Dwi Budiase
Chapter #1

1 : Adinata & Mental Baja

MANUSIA SEJATINYA hidup menggunakan topeng, satunya digunakan ketika bertemu dengan orang-orang luar dan bercengkrama bersama keluarga. Satunya lagi merupakan rahasia pribadi yang amat berbahaya.

[partImg:[0]]

Seorang pria dengan langkah linglung menatap ibu kota metropolitan yang tak pernah tidur. Ia seolah menatap masa depan dengan orang-orang yang jujur dan berintegritas serta menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila. Sungguh kehidupan damai yang sangat didambakan banyak orang. Hingga ketika mentari tenggelam di ufuk Barat, seketika para pejabat itu telah menjelma menjadi tikus-tikus berdasi yang siap menggerogoti brankas uang negara.

"Dari rakyat untuk pejabat!"

*****

Adinata berlari-larian bersama kakaknya di kebun singkong, Zacky yang baru saja menyelesaikan pendidikan selama dua belas tahun di bangku sekolah dan kini sedang mencari dan mendaftar ke universitas terkemuka di Indonesia, Universitas Brawijaya. Usia mereka terpaut sepuluh tahun.

“Kalau dulu mahasiswa berprestasi yang mengharumkan nama universitas. Sekarang justru mahasiswa mencari nama universitas untuk mengharumkan nama mereka di depan keluarga dan mata masyarakat.”

“Karena sebentar lagi kamu akan naik ke kelas empat, ayo tunjukkan bakat dan minat kamu, Nata De Coco!"

“Jangan panggil aku kayak begitu lagi! Aku bukan anak kecil yang gampang menangis, kak!”

"Oh? Jangan marah dong Nata De Coco! Ayo sebutkan bakatmu."

“Bakatku menyanyi, kak! Sini aku unjuk gigi.”

“Turunkan kekuasaan! Turunkan harga bahan pokok! NKRI harga mati! Kita pantas mendapatkan—”

“Stop! Itu kamu bukannya menyanyi tapi malah demonstrasi ….”

Suara bergemuruh terdengar beberapa ratus meter dari rumah Adinata. Mereka berdua lantas berlari mencari asal suara itu dan mendapati sebuah truk pengangkut bensin terjebak di lubang jalan yang cukup dalam. Hal itu menyebabkan truk tidak dapat melaju ke depan maupun ke belakang. Tiba-tiba asap bermunculan dari truk tersebut dan para warga segera melarikan diri. Tidak berselang lama, suara ledakan mengagetkan seisi Desa Palumpung. Api raksasa merambat ke beberapa rumah warga yang kini sedang dilalap si jago merah. Rumah Adinata yang berjarak tidak jauh dari lokasi kejadian menjadi ketakutan.

“Kak! Rumah kita nanti kebakaran!”

“Ayo kita bergegas untuk mencari bantuan. Tidak ada tanda-tanda kedatangan damkar."

“Kakak tahu kan wilayah kita ini tidak punya sinyal yang kuat dan komunikasi lancar jadi kita harus ke sana!”

“Seharusnya bantuan dari pemerintah sudah datang!”

"Kakak masih percaya dengan mereka?"

Rama mengeluarkan sepeda dari gudang, sepeda pemberian dari sang kakek. Adinata berboncengan dibelakang dan mereka bergegas bergerak menuju pos damkar unit Karangsari yang berjarak sepuluh kilometer. Di tengah perjalanan, ban sepeda kempis dan tidak kuat lagi menahan berat badan mereka. Adinata dengan cepat berlari tetapi Rama berusaha mencegah.

"Jangan, dik! Itu jauh! Kamu bisa pingsan nanti!"

"Adik lebih baik pingsan daripada rumah kita habis kebakaran!"

Adinata menggenggam erat tangan, kedua kakinya yang sudah mencapai titik batas kewajaran merasakan nyeri teramat dalam. Hingga akhirnya ia mencapai kantor damkar tersebut.

Lihat selengkapnya