KADANG MIMPI yang kita miliki dibunuh oleh orang-orang terdekat. Adinata pun tak lagi termotivasi.
Masih teringat jelas bagaimana mimik wajah kedua orang tua dan sorot mata tajam yang tidak pernah akan dilupakan oleh Adinata. Ketika itu ia sedang asyik menulis sepenggal kisah orang dan catatan hariannya mendadak si Bapak mendatangi kamar.
"Adi, katanya cita-cita kamu mau jadi penulis?"
Sebelum mengiyakan pertanyaan itu, Adinata balik bertanya. "Bapak tahu darimana?"
"Itu, salah satu temanmu tadi bilang kalau cita-cita kamu mau jadi penulis."
"I—iya, Adi mau jadi penulis, Pak."
"Nanti kalau sudah besar, pilih PNS atau pekerjaan lain yang gajinya besar. Memangnya kalau mau jadi penulis itu mau makan apa? Makan kertas dan pensil?"
"Prinsip Adi kalau bekerja itu bukan cuma untuk cari uang supaya cepat kaya tapi Adi mau kasih dampak yang besar buat masyarakat dan negara ini, Pak."
"Memangnya kamu bisa mengubah masa depan negara lewat menulis? Sudah sistem pemerintahan yang bobrok dan korup masih mau mengubah negara yang sudah mau hancur begini?"
"Justru karena sudah mau hancur itu Adi mau menghindari kehancuran sebelum terjadi, Pak. Adi sekarang sudah sering ikut lomba menulis dan dapat banyak uang ...."
"Oh, iya juara tapi kamu nggak pernah dapat di posisi pertama. Lihat kakakmu yang rajin olahraga dia dapat medali emas di cabang lomba renang. Kamu bisa apa?"
"Pak! Lagipula penulis itu bukan pekerjaan hina! Adi lebih baik menulis daripada bekerja untuk mengisi kantong pribadi alias korupsi!"
"Sudah, sudah, Pak. Jangan buat Adi menangis lagi. Bapak nggak bisa menghargai dia yang sudah berjuang di bidang menulis? Bapak jangan melihat cita-cita anak dari segi gajinya berapa tapi dampak besar yang akan dia lakukan untuk masyarakat. Mungkin Bapak nggak paham tapi suatu saat nanti Zacky yakin sama adik bahwa dia bisa mengubah negara dan masa depan masyarakat Indonesia!"
“Bapak dan Ibu bangga sekali denganmu, Zacky. Rasanya baru kemarin kamu masih bayi dan sekarang kamu sudah besar. Kamu kerja jadi pilot, bawa pesawat terbang!”
“Adinata sudah dapat pekerjaan, Pak, Bu.”
“Penulis, ya?”
“I—iya. Bagaimana, Pak, Bu?”
“Oke. Semoga beruntung, Adi. Ibu berharap kamu selalu ingat perjuangan kami dan sukses!”
“Pak! Kasih dia semangat, dong!”
“Semangat.”
“Hati-hati.”