CULTURE SHOCK, begitulah kondisi yang Adinata alami ketika menjejakkan kakinya di tanah Jakarta, kota metropolitan terpadat dan tersibuk di Indonesia bahkan masuk dalam rekor dunia. Mau tidak mau, suka tidak suka, Adinata harus beradaptasi dengan lingkungan baru yang semuanya serba cepat dan tepat, tidak boleh terlambat sebab tranportasi umum seperti LRT, KRL atau MRT bergerak sesuai jadwalnya masing-masing.
Namun, Adinata tidak menyesal sama sekali. Ia meluapkan kegembiraannya bersama teman-teman seangkatan mahasiswa baru di universitas bergengsi yang sama-sama bekerja sambilan sebagai jurnalistik di kantor berita nasional maka tak membuatnya putus asa begitu saja. Kehadiran mereka mewarnai senyumnya dan segala pertanyaan dari A sampai Z seputar budaya, pola hidup dan gaya berpakaian masyarakat Jakarta yang bermunculan dari pikiran Adinata dijawab dengan canda tawa.
"Teman-teman, kalian tidak sarapan? Aku takut pingsan di tengah jalan."
"Hei, jangan terlalu formal begitu, Adinata. Panggil kami dengan sebutan brother and sister!"
"Hush, diam lo Bendho! Oh, nggak usah khawatir Nata. Kita sarapan pagi itu di stasiun KRL soalnya di sana ada makanan yang enak-enak!"
"Wah! Aku mau!"
"Hei! Kalian bisa berhenti bicara nggak? Sebentar lagi jam enam, kita harus berangkat!"
Adinata merasakan tekanan darah yang mulai beranjak naik ketika ia bersama kawan-kawannya berlari melewati kos-kosan, memberi salam kepada Tante Hong kemudian mengambil titik tujuan ke jembatan penyeberangan dan berakhir di stasiun KRL. Jarak tempuh bila berlari dari kos-kosan Sinar Harapan menuju stasiun KRL memakan waktu sepuluh menit.
Belum sempat menarik napas, Adinata ditarik tangannya oleh Bendho untuk bergegas melakukan registrasi ulang dengan menggunakan kartu khusus. Karena ini adalah hal yang pertama kalinya bagi Adinata memegang kartu itu ia pun sempat kebingungan bagaimana cara meletakkan kartu di mesin secara benar.