Mungkin tidak pernah terbayang dalam khayalan Naura, akan melihat kejadian seperti di depan matanya sekarang. Dua orang pria yang tengah asik mengeksekusi pria berjas hitam dengan pisau tajamnya. Menghunus sana sini pada bagian tubuh yang diinginkannya. Erangan sampai rintihan tak lepas dari mulut pria paruh baya itu. Seolah-olah ingin menyaingi nyanyian burung hantu, pada kelamnya suasana gang kala itu.
Pria itu terkapar di tengah jalan kecil dalam sebuah gang sempit yang sepi. Tak satupun yang mendengar suara teriakan atau gaung kesakitannya. Tapi Naura, tidak hanya mendengar, namun juga menyaksikan aksi begis itu di depan matanya sekarang.
Dengan tangan yang menyumpal mulutnya sendiri, Naura berusaha bergerak dari tempat persembunyiannya. Sebuah bak sampah besar dengan bau menyengat dijadikan Naura sebagai tempat melindungi diri, jaraknya tidak sampai 10 meter dari dua pria itu.
Sebenarnya Naura tidak berniat melihat hal mengerikan itu. Saat membuang sampah, tak sengaja ponselnya jatuh. Nuara memungut ponselnya, bertepatan dengan itu, dua orang pria menginterupsi gerakannya untuk bangkit. Mereka tengah menyeret seseorang yang sudah babak belur akibat dipukuli.
Dan berakhirlah Naura dengan tontonan horornya.
“Terkadang balas dendam tidak harus dengan tangan sendiri.” Pria berjaket kulit dengan wajah lokal itu mengakhiri aksinya dengan tos bersama rekan kerjanya. Naura mengintip apa yang mereka lakukan sampai habis. Tangannya tremor berat. Ingin menelpon polisi, tapi gerakannya lagi-lagi dihentikan oleh perbincangan dua orang itu.
“Target selanjutnya, Keluarga Haidar.”
Naura menutup mulut. Kaget bukan karena nama yang ia kenal itu. Tapi suara ponselnya yang berbunyi membuat dua orang pria itu berbalik.
“Tamat riwayat gue!” Batinnya cepat-cepat bangkit dan mengambil langkah seribu. Dua orang itu mengejarnya keluar gang. Naura panik bukan main, dia bukan atlet marathon yang bisa lari kencang. Dia hanya Naura yang digelari Cebol oleh calon tunangannya yang gila itu. Tanpa pikir panjang Naura menyeberang jalan saat mencapai depan gang. Tak perduli dengan teriakan protes para pengendara atau rem mendadak oleh mobil-mobil yang mengklaksoninya. Dia tengah dikejar pembunuh! Asal mereka tahu saja.
Naura berhenti di depan trotoar, memandang ke seberang gang yang sepi itu. Dua orang itu baru saja mencapai bibir gang, memandang Naura dengan tatapan siap menguliti gadis itu. Naura cepat-cepat lari ke arah motornya yang terparkir sembarang di tepi jalan.
“Dia tidak akan lama juga, tenang saja, Mark.” Pria lokal itu memandang kawannya yang menarik napas panjang. Kesal karena gagal menangkap Naura yang sudah menaiki motornya.
“Yah, setidaknya target bertambah.” Keluhnya.
Di lain sisi, Naura mengendarai motornya dengan kecepatan tak biasa. Tremor tak menghentikan tarikan gasnya, apalagi bayang-bayang wajah begis dua pembunuh itu membuat Naura ingin segera menenggelamkan diri dalam selimutnya selama berminggu-minggu.
Setelah mecapai parkiran basement apartemen, barulah Naura ingat untuk bernapas lagi. Gadis itu menarik oksigen sebanyak mungkin untuk menetralkan jantungnya yang berdegup tak karuan. Gadis itu menyeka keringatnya, mengusai rambutnya bahkan terang-terangan membuka jaket. Mungkin Naura lupa dia hanya memakai kaus singlet putih saat ini.