Beberapa hari sebelum kejadian…
“Naura gak mau jadi tumbalnya perusahaan mama sama papa.” Gadis dengan rambut sebahu itu menyilangkan tangan di dada. Kedua orang tuanya menatap Naura kaget, sedangkan di depan mereka sudah duduk pria jangkung dengan setelan jas mewah. Hanya seulas senyum yang dia berikan pada dua orang di depannya. Beralih pada Naura, senyumnya memudar.
“Apa liat-liat!” Hardik Naura dengan tatapan tajamnya.
“Oke, Tante sama Om gak usah khawatir. Brian bakalan nunggu jawaban Naura kok.” Mendengar itu Naura mengerutkan sudut bibirnya, meledek ucapan Brian.
“Kalau boleh, Brian mau bicara secara pribadi sama Naura.” Kedua orang tua Naura tanpa banyak basa-basi langsung pergi menuju kamar gadis itu. Naura memasang tampang biasa saja, dia tidak terlalu memerdulikan sosok tampan di depannya.
Tidak tertarik. Kata itu tersemat manis di otaknya.
“Lo gak kasian sama ayah lo heh?”
“Hahaha, lagi ngelawak?” tanya Naura mendapat delikan dari Brian.
“Maaf ya, Pak Brian Andrea Haidar, gue gak tertarik sama harta lo ataupun yang lo miliki.” Lanjutnya membuat Brian membulatkan bibirnya, bersidekap sambil menyandarkan diri di sandaran sofa. Memandang Naura yang dinginnya dibuat-buat oleh gadis itu. Brian tahu, Naura bukan tipe gadis dengan ucapan sarkas. Gadis itu malah terkesan manja, cuma disaat seperti ini Naura tengah menunjukkan taringnya, kalau dia juga bisa memberontak.
“Yakin?”
“Gue tahu lo orang kaya, tapi gak semua kebahagiaan bisa dibeli pake uang ataupun kekuasaan. Lo harusnya tahu, kalau gue bukan cewek yang matre.”
“Semua orang perlu duit, Naura. Bahkan sekelas penulis amatir kayak lo juga perlu duit buat nerbitin buku.” Naura berpaling memandang Brian yang baru saja memecut hatinya.
“Nyinggung gue?”
“Ah, ngerasa tersinggung ya. Maaf deh.” Pria itu tersenyum tipis sembari membenarkan letak dasinya. Naura menarik napasnya, jengah berada satu ruangan dengan orang sok semacam Brian.