The Visitor

Nurul Elmi
Chapter #3

Perlindungan

Beberapa hari setelah kejadian…

“Kasus pembunuhan kali ini bahkan tanpa saksi mata, bagaimana kami bisa mencari dalangnya.” Pria dengan rokok diantara telunjuk dan jari tengahnya itu kembali mengeluarkan asap nikotinnya. Di depannya Brian tengah menatap penuh harap pada pria itu. Tak jauh dari meja kerja pria berokok itu, duduk seseorang yang asik mencatat sesuatu. Pria berbaju sweater itu berusaha menyimpulkan segala informasi yang Brian berikan.

“Saya bisa bawa saksi. Tapi tolong, lindungi dia.” Pria itu meniup sisa-sisa nikotin di mulutnya. Tatapan matanya beradu dengan Brian.

“Berapapun yang kalian inginkan, akan saya bayar.” Lanjut Brian membuat sedikit rona bahagia di wajah kedua orang itu. Ruangan yang cukup besar itu tampak sesak dengan kepulan asap dari mulut seorang pria yang tengah memikirkan sesuatu. “Anda bisa sewa bodyguard, Tuan.”

“Saya percayakan dengan kalian.” Brian mengakhiri perbincangannya siang itu dengan secarik cek kosong. Pria itu tersenyum tipis, “Saya tidak menerima DP.” Komentarnya membuat Brian agak malu.

Setelah memasukkan kembali ceknya, Brian segera keluar dari ruangan pengap akan asap rokok itu. “Saya akan kirimkan alamatnya.” Ucap Brian sebelum menutup pintu ruangan itu.

Tak selang beberapa menit, pria yang asik dengan rokoknya itu berkomentar, “Dia pikir kita bodyguard apa?”

“Pria lucu.” Sahut temannya.

“Oke, pria lucu itu baru saja mengirimi alamat saksi matanya. Mari ke sana.” Pria itu bangkit dari kursi kebesarannya, kemudian menarik jaket kulit hitam miliknya beserta topi sport dari gantungan.

“Lo yakin mau pergi dengan gaya kek gitu?” tanya pria satunya yang hanya memakai sweater.

“Percuma gue terlahir ganteng kalau tampilan gue kucel, Az.” Jawabnya membuat pria satu itu tersenyum geli. Sudah jadi hal lumrah mendengar kepercayaan diri temannya itu. Meski sebenarnya patut saja pria itu berkata demikian, karena memang pada kenyataannya dia tampan. Jangan heran jika di jalan pria itu bisa menjadi pusat perhatian para gadis.

Keduanya melaju di jalan raya, menuju alamat yang Brian Andrea berikan lewat chat.

“Bi, menurut lo kasus kali ini berhubungan sama masalah pribadi keluarga Haidar, gak?” Pria yang dipanggil “Bi” itu menoleh dengan raut kesalnya, “Bi, bi, lo pikir gue bibi lo!” Pria di sebelahnya tertawa baru sadar.

“Yaudahlah, santai aja kenapa. Emang panggilan lo Abi kan?”

“Alexi! Bukan Abi!” Gertaknya jika bukan karena di jalan, mungkin satu tinju sudah melayang megenai wajah temannya itu. Abinaya atau yang ingin dipanggil Alexi itu adalah atasan Azka Aldric, pria yang memakai sweater. Azka menatap lurus ke jalan, kali ini mereka mendapat klien lagi setelah lama vacun akibat Abinaya yang sakit hati karena pacarnya. Lucu memang alasan mereka berhenti dari pekerjaan untuk sementara waktu. Azka juga tidak ingin terlalu memaksakan Abinaya, karena pria itu punya cara tersendiri mengatasi masalahnya. Walau terkadang Azka dibuat bingung dengan otak lucunya Abinaya.

“Menurut gue, latar belakang masalah kali ini memang urusan pribadi keluarga Haidar. Secara, perusahaan besar gak mungkin gak ada saingannya.” Komentar Abinaya dari balik kemudinya. Azka mangut-mangut saja mengiyakan, dia lebih memilih membaca catatan yang sempat ia tulis sebelum pergi.

Lihat selengkapnya