THE VISUAL ART OF LOVE

Mizan Publishing
Chapter #2

1 Tampak Punggung

Gemina mengagumi display di tengah ruangan toko buku. Buku serial Algis ditumpuk membentuk mata tombak. Sesuai arti nama Algis, sang tokoh utama. Mbak Zara, sepupunya, selalu punya ide brilian menata buku bestseller.

Ia mengambil reading copy seri terakhir. Warna dasarnya hijau gelap. Ilustrasinya artistik, dengan tombak sebagai menu utama. Gemina kenal perancangnya. Juno Dewangga, salah satu dewanya dunia desain grafis, alumnus dan dosen tamu di jurusan Desain Komunikasi Visual.

Dibawanya novel karya Radmila itu ke pojok favorit nya. Jantungnya sudah berpacu cepat dengan kegairah an. Algis, di buku sebelumnya, kamu bikin aku histeris dengan keputusanmu mengorbankan diri demi keluarga angkat. Apa yang terjadi sekarang? Ah, greget. Baru kali ini Gemina jatuh cinta pada tokoh fiksi, anak kecil pula.

Setelah beberapa halaman pertama, Gemina meng- embuskan napas lega. Matanya basah karena terharu. Syukurlah. Penulis tidak tega melukai tokoh utamanya. Selalu ada cara kreatif Radmila menyelamatkan Algis dari situasi sulit. Gemina menyusut ingus, mengubah posisi duduk. Meneruskan membaca.

“Halo! Mbak Dita sudah lihat foto kirimanku, kan? Jadi, gimana?” Seseorang berbicara.

Gemina mendongak, terkejut mendengar suara ta jam itu. Dari tempatnya, ia melihat seorang lelaki muda berdiri menjulang di antara dua rak buku remaja. Berbicara di ponsel.

“Ini yang terburuk, Mbak. Buku ketiga ditumpuk di lantai. Buku kesatu tidak terlihat di mana pun. Dan buku kedua ada di rak nonfiksi.” Lelaki itu mengomel. Tangan kirinya yang memegang sebuah novel bergerak-gerak.

Gemina menelengkan kepala, menegur diri sendiri yang mudah sekali terganggu. Kembali berfokus pada bacaannya. Sorry, Algis.

Checker? Kalau benar ada, berarti kerja checker-nya ngawur! Ini toko ketiga yang aku cek. Di toko satu lagi, buku- bukuku malah masih di gudang. Bayangkan, di gudang! Dan pramuniaganya enak saja bilang buku sudah habis. Padahal stok masih ada 10 eksemplar masing-masing. Sepertinya tidak hanya di Bandung, Mbak. Buktinya, tiap bulan cuma laku kurang dari 100 eksemplar di seluruh Indonesia—”

Kalimat lelaki itu terputus. Novel diletakkan di atas deretan buku, dan tangannya mengacak-acak rambut sendiri. “Mbak Dita, bagaimana buku bisa jadi bestseller kalau display-nya kacau begini? Jangan bilang buku harus survive sendiri di toko Tampak Punggung 10 buku. Penerbit harusnya le bih peduli dan proaktif. Tampak punggung di rak belakang saja sudah buruk, apalagi begini. Aku akan protes ke manajer toko.”

Gemina buru-buru menunduk, saat lelaki itu tiba-tiba memutar badan menghadap ke arahnya. Bukan salahnya kalau ia mendengar pembicaraan orang itu, kan? Siapa suruh teriak- teriak? Baca baca baca .... Gemina menyem burkan napas. Penuh tekad untuk kembali larut bersama Algis.

Dan berhasil. Ia kembali diharu-biru sampai meneteskan air mata. Kembali terkikik geli walaupun matanya masih basah. Hanya sekilas ia melihat lelaki itu menjauh, lalu kembali dengan Mbak Zara. Bukan urusannya. Gemina sedang menahan napas. Bagian ini mendadak menegangkan. Napasnya jadi sesak. Diletakkannya novel di lantai.

Lebih baik mengurangi ketegangan dengan menggambar sebentar. Seri Algis tidak disertai ilustrasi. Mungkin penulisnya ingin pembaca berimajinasi bebas, dan Gemina punya imajinasi sen diri tentang Algis. Ia mendedikasikan satu buku untuk ilustrasi Algis dengan gaya manga. Sejak SMP, ia bercita-cita menjadi mangaka. Dan sejalan waktu, ilus trasi manga-nya semakin berkarakter. Setidaknya begitu kata Bu Herlina. Dosen mata kuliah Ilustrasi Dasar yang terkenal pelit pujian.

Kali ini, Gemina membuat sketsa ekspresi Algis yang terperangkap dalam lubang. Berkonsentrasi pada mata. Bening, bercahaya, tanpa dosa. Gemina merasakan matanya panas lagi. Bertahanlah, Algis sayang. Gunakan segala kecerdikanmu.

“Hei! Aku berbicara sama kamu!” Suara lelaki itu lagi.

“Gemi!” Mbak Zara memanggil.

Gemina mendongak, buru-buru menghapus air mata.

Tepat di depannya, berdiri—dan sekarang berjongkok—lelaki muda yang marah-marah itu. Mbak Zara di belakangnya. Memberi isyarat tangan, entah apa maksudnya.

Ekspresi pemuda itu takjub. Hanya sesaat. Lalu ke ningnya berkerut. “Boleh aku lihat?”

Dengan heran, Gemina menyerahkan buku sketsanya. “Belum selesai.”

“Kamu menggambar Algis?” Sepertinya retoris bela ka karena sebelum Gemina menjawab, ia sudah melan jut kan, “Terlalu tampan buat Algis. Rambutnya terlalu te bal. Hidungnya terlalu mancung. Bibir Algis harusnya me leng kung ke bawah.”

Gemina tercengang. “Ini visualisasi dari deskripsi di buku.”

Lelaki di depannya cemberut. Menyerahkan lagi buku sketsanya. “Serial Algis, kan, buat anak 9-12 tahun. Apa kamu enggak terlalu tua? Anak SMA minimal bacanya Trilogi Runako.”

Terlalu tua? Anak SMA? Gemina ingin membantah dua tuduhannya yang saling kontradiktif. “Runako?” Malah itu yang keluar dari mulutnya.

“Sudah baca ini?”

Lelaki itu menyerahkan buku di tangannya. Desainnya mirip dengan novel yang tadi dilambai-lambaikannya sambil marah-marah di telepon. Hanya beda warna.

Trilogi Runako. Buku Pertama. IgGy. “Belum, aku baru lihat.”

Lelaki itu menggeram. Gemina menelan ludah. Apa kah ia salah bicara? Jujur, baru kali ini ia melihat Trilogi Runako. Bahkan baru tahu ada penulis bernama IgGy. Ya, dengan huruf g kedua kapital. Alay juga.

“Mbak, ini buktinya.” Lelaki itu berdiri dan berbalik menghadap Mbak Zara. Wajahnya sekeruh kali di de pan tempat kos Gemina saat hujan. “Mbak sendiri bilang, anak ini maniak baca, rutin datang ke sini untuk membaca. Dan apa yang dibacanya? Serial Algis untuk SD. Kenapa? Karena display-nya mencolok. Begitu naik tangga, ia dan pengunjung lain bisa melihatnya. Lengkap dari nomor awal sampai yang terbaru. Mbak dengar kan, tadi? Ia bilang, tidak pernah lihat bukuku. Kenapa? Karena dipajang tampak punggung pun tidak. Buku kesatu itu bahkan nyaris diretur. Mbak sendiri yang mengambilkannya di gudang. Bagaimana pengunjung bisa tahu ada Trilogi Runako?”

Mbak Zara mengangguk sabar. “Maaf, Kak IgGy, tapi urusan display, toko punya SOP sendiri. Buku yang slow moving ditaruh di belakang. Kan, waktu baru terbit, buku itu sudah dapat kesempatan untuk dipajang di depan—”

“Bagaimana dengan buku ketiga yang baru terbit se minggu lalu? Kenapa ditumpuk di lantai? Dan buku kedua nyasar di rak nonfiksi?”

Mbak Zara tetap tenang walaupun tampak begitu mungil di depan IgGy. Gemina jadi penasaran, kalau ia berdiri, apakah IgGy masih mengira ia anak SMA. Ting gi nya 167 senti. Mungkin selisihnya sekitar 15 senti saja dengan IgGy. Tapi ia memilih duduk diam di lantai. Biarkan Mbak Zara mempertahankan posisinya.

Dan terbukti Mbak Zara mampu. “Mohon maaf untuk kesalahan letak buku ini. Akan segera dibenahi. Tapi, mungkin Kak IgGy bisa menghubungi penerbit agar mereka membantu kami memeriksanya secara berkala. Karena seperti Kak IgGy lihat, ada ribuan buku yang harus kami tangani—”

IgGy mengibaskan tangan, frustrasi. Suaranya lebih lunak. “Ya, aku sudah sering mendengar hal itu. Sudahlah. Terima kasih.”

Mbak Zara tersenyum. Beralih kepada Gemina. “Aku mau pergi ke pusat. Lewat kampusmu. Kamu mau ikut atau tetap di sini?”

Ah, Mbak Zara sengaja menyebut kampus untuk membelanya. Tapi Gemina tidak ada keperluan ke sana. ia berdiri. “Selasa aku enggak ada kuliah, Mbak. Mau selesaikan baca saja. Tanggung.”

Sepeninggal Mbak Zara, Gemina duduk lagi. IgGy su dah mencela sketsanya. Tahu apa dia tentang Algis? Dengan panas hati, ia membuka buku sketsa untuk menuntaskan gambar Algis cepat-cepat.

Lihat selengkapnya