THE VISUAL ART OF LOVE

Mizan Publishing
Chapter #3

2 Stereotip

Tidak ada cara lain, Gemina harus memampatkan jadwal mengerjakan tugas. Kerja efektif, tak ada melamun, tak ada browsing Internet yang tidak jelas. Demi satu set Algis, dua tugas harus selesai lebih awal malam ini. Lalu ia bisa mulai membaca Runako sambil istirahat.

Dengan bersemangat, Gemina membuka pintu kamar kos dan melangkah masuk. Kaki telanjangnya langsung disambut genangan air. Ia menjerit kaget dan otomatis mendongak, mencari sumber kebocoran. Jelas bukan dari atas pintu, tapi lagi-lagi dari langit-langit di sudut kamar. Ya, noda kecokelatan meluas di sana dan menjadi saksi masalah yang tak kunjung selesai sejak beberapa bulan lalu. Gemina yakin, air rembesan dari lantai dua terkumpul di atas kamarnya, turun ke dinding membentuk bisul-bisul berjamur, dan sekarang mulai jatuh mengaliri lantai ke arah pintu.

Ia mendecak kesal. Entah sudah berapa kali ia melaporkan masalah ini kepada Tante Vira. Sekali saja tukang dipanggil untuk memeriksa, setelah itu tidak ada tindakan berarti. Kebocoran dibiarkan, pelan-pelan menggerogoti kenyamanannya tinggal di kamar ini. Menggerogoti juga hubungan baiknya dengan Tante Vira, kalau hubungan baik itu pernah ada.

Tante Vira adalah adik kandung almarhum Ambu, adik ipar Abah. Gemina dititipkan Abah kepadanya dengan serangkaian prosedur kekeluargaan. Jadi alih-alih ibu kos, fungsi Tante Vira harusnya sebagai wali. Harusnya. Kenyataannya, Tante Vira lebih memilih peran sebagai ibu kos dengan segala stereotipnya, dari fisik hingga sikap. Ramah di awal bulan saat ia membayar uang kos, dan jutek kalau telat lebih dari seminggu. Jutek yang segera beranjak ke galak dan nyinyir saat keterlambatan masuk ke bulan kedua seperti sekarang ini. Keponakan atau bukan keponakan.

Sejak kuliah, Gemina bertahan kos di sini demi ketenangan hati Abah, juga karena kamar berukuran enam meter persegi ini saja yang harganya terjangkau. Tidak masalah dengan ukuran dan perlengkapan seadanya. Kasur kecil tanpa dipan, meja belajar kecil, dan lemari kayu yang terlalu besar dari rumah induk. Gemina tidak mau menuntut lebih, mengingat Abah telah menukar kebun terakhir di kampung dengan laptop, kamera DSLR, pen tablet, dan scanner­printer untuk keperluan kuliahnya.

Gemina menghela napas. Sepertinya kebocoran ini pun tidak boleh dijadikan masalah. Dalam kondisi sekarang, melapor kepada Tante Vira sama saja dengan meminta ditagih. Dipel sajalah sambil berharap Tante Vira lewat dan melihat sendiri.

Oh ya, Tante Vira memang lewat di depan pintunya. Setelah lantai bersih. Dan khusus untuk menagih. “Gemi, abahmu sudah menelepon?”

“Sudah, Tante. Katanya, masih menunggu pembayaran yang macet—”

“Hmm … jadi tahu, ya, rasanya menunggu pembayaran yang macet.”

Gemina menelan ludah. “Abah bilang, kalau sampai akhir pekan ini uang belum masuk juga, Abah mau menggadaikan sepeda motornya. Jadi bisa bayar kos dua bulan ini ditambah tiga bulan ke depan.”

Wajah bulat Tante Vira mendadak cerah. “Baiklah. Tante tunggu. Eh, kamu sudah makan siang?”

Gemina menggeleng. “Aku mau beli makan di warung.”

“Enggak usah beli. Di dapur masih ada makanan lebihan arisan tadi. Makan saja.”

“Rezeki, deh.” Tapi, tak ada yang gratis di dunia ini, apalagi berurusan dengan Tante Vira. “Aku bisa bantu apa, Tante?”

Tante Vira tersenyum lebar. “Kalau kamu punya waktu, cuci piring saja. Tante enggak sempat. Mau pergi pengajian sekarang. Terima kasih ya, Cantik.”

Gemina hanya memandanginya menjauh. Sangat berbeda dengan Ambu. Sangat berbeda dengan Mbak Zara, putrinya. Untung saja ia tidak harus sering-sering bertemu dengan Tante Vira karena kesibukan kuliah. Setelah salat zuhur dan berganti baju rumah, Gemina keluar dari kamar dan menguncinya. Di dapur rumah induk, ia terpana di hadapan segunung piring dan peralatan masak kotor bekas acara. Apakah sebanding dengan makan siang yang diperolehnya? Ia beranjak ke meja makan dan membuka tudung saji. Lontong opor. Apa boleh buat. Lain kali, lihat-lihat dulu sebelum menawarkan barter. Tenaga dan waktunya perlu dihargai layak.

Setelah beres di dapur, Gemina kembali ke kamar, mengambil Runako dari ransel, dan mengempaskan badan di kasur.

Desainer buku Runako ternyata Juno Dewangga juga. Tapi sepertinya Juno mengikuti kemauan klien. Tidak ada kesederhanaan ciri khas sang Dewa di sini. Sampul belakang bahkan menonjolkan penulis ketimbang teaser isi buku. IgGy berpose bak coverboy. Wajah kaku dan senyum tipis itu, hmm. Gemina mengamati lebih dekat. Kalau ingat model-model di sampul majalah, tabloid, billboard, poster film dan drama, tampang seperti IgGy memang sedang tren. Lekuk lengkung wajah halus, bersih, mata agak sipit, bibir membentuk garis sinis. Jadi penasaran, siapa yang memunculkan ide bahwa tampang penulis lebih penting ketimbang isi buku? Penulisnya sendiri atau penerbit? Dan lebih menggelitik lagi, apakah desain seperti ini berhasil menarik lebih banyak pembaca, terutama perempuan?

Gemina sendiri, kalau punya uang dan melihat Runako sebelum bertemu IgGy, belum tentu membeli bukunya. Blurb di sampul belakang tidak cukup kuat untuk menarik minat. Terlalu generik. Sudah banyak novel dengan premis seperti ini, dan genrenya bisa apa saja; misteri, thriller, horor, fantasi, fiksiilmiah, dan lain-lain.

Lihat selengkapnya