Hujan deras kembali membasahi jalanan Kota Jakarta. Langit berubah mendung. Suara petir bergemuruh silih berganti. Ranting-ranting basah oleh air. Para pengendara motor yang selalu memenuhi jalanan ibukota terpaksa menepi untuk berteduh. Pusat kota mulai lengang. Pedagang kaki lima terbirit-birit mengemasi barang dagangan mereka. Berharap cemas hujan tak segera melahap habis gerobak berisi mata pencaharian itu. Sebagain orang pasti lebih memilih bersembunyi di balik selimut tebal. Atau menikmati secangkir cokelat hangat dengan ditemani lagu-lagu jazz pilihan.
Gadis itu berjalan tergopoh menyusuri trotoar berkeramik yang mulai licin oleh air. Kedua tangannya sibuk menopang tas punggung di atas kepala. Seragam putih abu-abu yang ia kenakan mulai tersimbah. Hujan menjadi semakin lebat. Halte bus bahkan tak menyisakan satu orang pun kali ini. Sepertinya hujan memiliki cara tersendiri untuk membuat orang-orang lebih memilih taxi online daripada harus berlama-lama menunggu angkutan umum berbentuk persegi panjang itu hanya untuk berdiri sesak di dalamnya. Gadis itu duduk di sudut halte. Meremas kecil ujung rok abu-abunya yang banyak meresap air.
"Nimbostratus!" seru seseorang berjalan mendekat. Livia memekik terkejut. Pasalnya, yang ia ingat tidak ada siapa pun di halte itu kecuali dirinya.
"Hujannya pasti akan berlangsung lama!" seorang laki-laki berseragam putih abu-abu mendaratkan tubuhnya tepat di samping Livia. Pakaiannya basah kuyup. Ia tidak membawa apapun kecuali jeket bomber hitam yang sengaja disampirkan di pundak. Sepatunya bahkan dipenuhi lumpur. Ada sebuah badge sekolah berwarna merah di salah satu lengan seragamnya. Jika dilihat dari logonya, laki-laki itu pasti bersekolah di tempat yang sama dengan Livia. Kelas dua belas. Tepat satu tingkat di atas Livia.
Ia menatap wajah Livia sekilas, "Lihat! Langitnya berubah menghitam!" tunjuk laki-laki itu. Livia turut memeriksanya. Benar. Langit itu tidak tampak seperti biasanya.
"Kakak anak IPA?" tanya Livia nyaris berbisik.
Laki-laki itu tersenyum, "Kenapa? Kelihatan seperti anak SMK jurusan mesin ya?" Livia menggeleng kecil. Kedua matanya kembali fokus menatap jalanan yang mulai lengang. Sesekali gadis berambut pirang itu memain-mainkan ujung sepatunya hingga menimbulkan suara decitan.
"Busnya tidak akan datang," laki-laki misterius itu kembali bersuara.
Livia menoleh tanpa minat, "Kata siapa?"
Laki-laki itu terkekeh, "Kata kondekturnya!" Livia mengernyit bingung.
Suasana berubah hening. Laki-laki misterius itu memasang earphone pada kedua telinganya. Ia mulai hanyut dalam alunan musik. Menit-menit berikutnya tidak ada percakapan yang berarti di antara mereka. Suara rintik hujan terdengar mendominasi. Dua-tiga truk gandeng bermuatan besar melintas dan kembali memercikan air keruh. Hujan lebat itu berubah menjadi hujan angin dalam tempo yang singkat. Livia merapatkan jaket abu-abunya yang sudah lebih dahulu basah oleh air. Tubuhnya menggigil kedinginan.
Omong-omong soal bus, kendaraan umum milik sejuta umat itu benar-benar tidak datang. Sudah lewat 45 menit. Nihil. Tidak ada satu pun bus yang mendatangi halte bercat biru laut milik SMA Widya Bangsa itu. Livia mulai gelisah. Ponselnya bahkan sudah lama lowbat. Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Tidak ada siapa pun selain manusia misterius yang bahkan tidak memasang nametag di seragamnya itu.
"Kalau sudah tahu busnya tidak akan lewat, kenapa kakak masih disini?"
"Siapa bilang aku sedang menunggu bus?"
Livia berdecak kesal, "Terus?!" laki-laki berambut fringe itu tertawa kecil. Livia mencebikkan bibirnya tak suka. Ia bahkan menggeser posisi duduknya sedikit menjauh dari manusia asing itu
"Kamu tidak takut?"
"Menjelang larut malam, tempat ini akan berubah menjadi sarang geng motor," tukas laki-laki misterius itu mencairkan suasana.
Livia menyandarkan kepalanya pada tiang halte, "Oh iya?"
"Ada sekitar lima puluh pembalap setiap malamnya."
"Mereka seperti memblokade jalan," lanjutnya.
"Dari mana kakak tahu?" laki-laki misterius itu tidak menjawab. Livia tampak menimbang-nimbang sesuatu. Sedetik kemudian gadis itu membekap mulutnya dengan telapak tangan, "Jangan-jangan kakak salah satu anggota geng motor itu?!"
Laki-laki bersepatu penuh lumpur itu tertawa kencang, "Memangnya kenapa kalau aku anggota geng motor?" Livia menggeleng-geleng tak percaya. Gadis itu bangkit dari posisinya dengan raut was-was.
"Geng motor kan, liar. Pasti kakak suka mengganggu orang!" lirih Livia. Laki-laki itu terbahak.
"Apalagi?"
"Perokok? Pemabuk? Suka menggoda wanita?" sahut laki-laki itu mencerca. Satu tangannya bergerak melepas earphone. Livia menunduk takut.
Laki-laki itu beranjak dari posisi duduknya, "Mereka mungkin merokok dan mabuk,"
"Tapi sebetulnya, mereka hanya manusia biasa yang sangat menghargai wanita," tegasnya menatap Livia lamat-lamat. Tak lagi terdengar sebuah bantahan dari mulut Livia. Wajahnya berubah masam.
"Kenapa? Tidak percaya?"
Livia mendongakkan kepalanya. Beradu tatap dengan wajah asing itu. Rambut laki-laki itu sedikit berantakan. Sorot matanya sayu seperti orang yang sudah tidak tidur semalaman. Walau bibir laki-laki itu tidak sehitam para perokok berat, tapi Livia yakin sekali laki-laki berseragam SMA itu adalah salah satunya.
"Suduh pukul lima sore!" ucap laki-laki itu memperlihatkan jam tangannya.
"Anggota geng motor harus segera mempersiapkan diri untuk tantangannya malam ini!" jelas laki-laki itu tersenyum miring. Lalu tanpa aba-aba ia berjalan meninggalkan Livia. Satu tangannya mengantung di saku celana. Ia berjalan gontai sembari menenteng jaket bomber hitamnya. Livia menatap punggung tegap yang mulai bergerak menjauh itu nanar.
"Oh iya!" laki-laki itu berbalik.