The Way I Are

Maria Veronica S
Chapter #2

#Chapter 2 : Duta Sampo dan Pemilik Tawa Seram

“Hoam….” Aku terpaksa bangun karena alarm berbunyi. Kalau tidak sudah aku pastikan kedua tanganku masih setia memeluk bantal bukan setia bersama Kak Rama, aaa…. Apa sih La! Otakmu kayaknya semalam disambar petir ya pas hujan pas subuh makanya nggak singkron.

Mataku menyapu lantai kamar. Kini kamarku telah normal kembali. Semua perkakasku tertata rapi pada tempatnya kecuali selimutku yang aku lempar terlalu jauh lalu nyangkut di ganggang pintu.

Tanpa perlu ba-bi-bu aku segera menekan angka lima pada panggilan aplikasi WhatsAppku. Tak aku sangka Joanna segera mengangkat panggilanku nggak kayak biasaya. Tumben banget dia bangun cepet.

“Oi” sapa Joanna kencang berarti nyawanya udah kekumpul.

“Kok lo cepet banget bangunnya? Biasanya juga harus gue telepon empat kali dulu.” Itu juga baru usaha buat bikin mata Joanna melek belum estimasi nunggu nyawanya kekumpul seutuhnya. Bukannya menjawab dengan suara serak justru Joanna tertawa renyah di seberang sana.

“Sebenernya gue udah bangun dari sejam yang lalu gara-gara ada yang bangunin duluan.”

“Siapa?”

“Jerome.”

Aku mengingat-ingat nama yang disebut Joanna barusan. Setahuku nggak ada nama Jerome di kelas kami. Ataupun teman nongkrong kami yang bernama itu.

“Jerome yang mana?”

“Itu loh yang satu kelas kita waktu SMP, yang jadi duta Sampo Tanoshi.” Kedua mataku mulai menjelajah dinding seolah mencari jawaban di sana. Hening. Ah ya, aku baru ingat.

“Jerome yang tiba-tiba terkenal padahal tadinya dibuli mulu sama anak-anak cowok lain kan? Bukan Jerome yang rambutnya jabrik warna-warni yang suka di tahan sama kepsek kan?”

“Iya La! Yang itu.” Wajah Jerome berambut jabrik yang terbayang diotakkupun berganti dengan wajah remaja lelaki manis berkacamata bundar. Remaja itu melepas kacamatanya cepat lalu menyisir rambut hitam bersinarnya dengan jari-jarinya. Setelah itu ia berkata sambil menunjukkan botol Sampo Tanoshi ke hadapan permirsa, “Rambut sehat dan bersinar, pakai Tanoshi!” Aku langsung menepuk-nepuk tangan kananku di udara.

“La, La lo belum matiin, kan?”

“Belum kok Jo.” Ada suara hela napas di seberang sana.

“Kok dia bisa nelepon lo? Sejak kapan kalian sekontakan?”

“Sejak subuh tadi. Mau tau enggak masa Jerome nelepon gue terus tiba-tiba bilang suka ke gue.”

“Heh.” Aku menyahut seadanya masih mencoba melupakan iklan Sampo Tanoshi yang diiklankan Jerome dulu, baru tersadar, “Heh…!”

“Iya La. Gue pas pas jam lima tiba-tiba langsung berdiri gara-gara denger suara telepon. Gue kesel banget. Siapa sih yang nelepon gue pagi-pagi gini malah bukan lewat WhatsApp. Lo tau kan gimana nada dering telepon gue.” Iya aku tahu banget, aku yakin siapapun yang lagi tidur sekalipun lagi mimpi indah juga akan bagun kalau denger lagu ‘River’ JKT48. Wajar aja Joanna bangunnya cepet.

“Lo juga sih yang nggak ganti-ganti nada dering. Padahal kan handphone lo udah ganti.”

“Gara-gara tadi juga gue pasti bakal ganti itu nada dering.”

“Tapi kalo lo mau debat sama gue soal itu mending nanti aja. Balik ke topik. Bye the way mending kita video call-an bareng si Fiya. Pasti tuh bocah udah bangun kan. Soalnya gue males cerita dua kali.”

“Oke.” Dua menit kemudian wajah kami bertiga sudah terpampang di layar ponsel kami masing-masing.

“Hai girls! Tumben kita video call-an begini pagi-pagi. Duh gemes banget deh liat mata belekan kalian duh jadi pengen ngescreenshoot.” Fiya berpose unyu ditengah aku dan Joanna sedang berseru,”Jangan.” Entah apa jadinya wajah kami di screenshootan itu.

“Woy kampret. Sengaja banget lo. Mentang-mentang lo udah seger sedangkan gue sama Ola masih kayak gini.”

“Ih gak apa-apa say kan buat kenang-kenangan kita di masa depan.”

“Emang kampret banget si Fiya, masa kemarin dia fotoin muka gue terus kabur,” ujarku cepat.

“Idih siapa yang kabur orang gue udah pamitan. Lo gak denger kali.” Emang sih Fiya pamitan. Tapi kan….

Fiya berujar sembari memamerkan lekuk pinggang sempitnya yang dibalut kaos ketatatnya, “Oke girls. Jadi mau ngomongin apa sampai ganggu proses workout menuju keseksian gue di masa depan.”

Hot news. Si Jo di tembak cowok,” Ujarku.

“Hah serius? Siapa, dimana, kapan, gimana?”

“Tadi pagi lewat telepon.” Fiya memasang wajah menyimaknya.

“Sebelumnya gue bingung kan mau ngangkat atau enggak, karena gue enggak tau itu nomor siapa. Takut penjahat. Nanti kalau gue dihipnotis habis itu diculik gimana?”

Baru tenang Fiya sudah mengoceh, “ Hahaha mana ada yang mau nyulik lo Jo. Orang lo nya aja sangar banget yang ada penculiknya yang lo culik balik.” Aku refleks tertawa.

Ekspresi khawatir Joanna mendadak berganti menjadi raut kesal yang membuat kami semakin tertawa. Seolah jadi bukti kuat omongan Fiya tadi.

“Terserah. Setidaknya, kalau ada orang-orang jahat yang mau coba nyulik gue kalau enggak kuat bawa gue, mereka bisa gorok gue di tempat terus ambil mata, jantung sama ginjal gue.” Suasana berubah hening. Joanna menanggapi Fiya serius artinya Joanna nggak bisa menahan sabar lagi. Senyum Fiya memudar.

“Gue bercanda Jo. Maaf, gue gak bermaksud gitu.”

Joanna menghela napas menetralkan emosinya, “Gue maafin.”

“Gue lanjut ya?” aku dan Fiya mengangguk, “Daripada gue kelimpungan gara-gara handphone gue bunyi terus, gue jawab deh. Dia ngaku kalau dia Jerome Mojokerto yang satu kelas sama kita waktu kelas sembilan.”

Mata Fiya membelak tapi dia menahan diri untuk nggak berkomentar.

“Jerome bilang dia udah suka sama gue waktu kita masih sekelas. Terus dia bilang selama ini dia udah nyariin kontak gue dan baru beraniin buat nyatain perasaan dia ke gue sekarang.”

Fiya nggak bisa tahan buat gak bertanya, “Serius? Terus lo bales apa?”

“Gue ngefly dong dibilangin gitu secara gue jomlo dari jabang bayi ditembak cowok subuh-subuh siapa yang enggak mau coba? Tapi pas gue mau bilang iya dia malah nyebut nama cewek lain. Alhasil gue sadar dia beneran salah sambung kayak yang gue pikirin di awal.”

Jujur aku bingung harus bersikap gimana. Mau ketawa sepertinya Fiya juga begitu. Tapi nggak mungkin kan.

“Bwahahaha,” kami bertiga tertawa lepas.

“Gue tau lo berdua nahan ketawa. Apalagi Fiya, mulutnya udah ngerucut-ngerucut kayak mau berak.”

“Hahaha lo takut kan Fi gue marah? Lo tadi nyebelin sih, makanya gue kesel. Tau enggak, pas gue bilang gue bukan orang yang Jerome maksud dia langsung panik dong!”

“Dia nanyain nama gue berulang-ulang dan nyuruh gue jangan bohong. Gue tetep bilang gue bukan orang itu, tapi dia masih enggak percaya sebelum gue sumpah dulu.”

Lihat selengkapnya