The Way

engliadwi
Chapter #2

Mantannya mantan?

Hari ini jam pelajaran wajib telah selesai. Setelah jam istirahat nanti seluruh siswa kelas XII diberikan jadwal bebas, namun mereka diwajibkan untuk tetap melakukan sesi konsultasi akademik di ruangan Bimbingan Konseling.

Program ini dikhususkan bagi siswa kelas XII untuk memberikan bimbingan akademik terkait karir yang akan mereka pilih di masa depan. Selain memberikan saran serta informasi terkait perguruan tinggi serta sekolah kedinasan, sekolah juga menyediakan informasi terkait lapangan pekerjaan bagi mereka yang memilih untuk berkarir setelah lulus nanti.

"Ce, buruan!" Berbeda dengan Air dan Dean, Nata dan Inara justru menatap malas temannya itu. Sementara gadis yang dimaksud tengah sibuk merapikan kembali alat tulisnya yang masih berserakan di atas meja. Tanpa menoleh, gadis itu lantas menyahuti sahabatnya itu, "Iya, bentar!"

Saat ia hendak meraih ranselnya yang tersampir di sandaran kursi, panggilan Alfa menghentikan kegiatan Cece.

"Sayang.... Bagi duit, dong!" Cewek itu menatap tangan yang mengambang dihadapannya itu, lantas tatapannya ia alihkan pada Alfa.

Cowok tampan berkulit tan itu lantas tersenyum manis padanya. Sementara tangan kanannya mengambang di udara, tangan kiri cowok itu memegang sebuah galon berukuran 19 liter.

Cece lantas meraih kembali buku perbendaharan kelas yang baru saja ia selesaikan itu. Lantas, menuliskan sesuatu pada lembaran khusus yang di batasi dengan tulisan 'Catatan Pengeluaran XII MIPA 2.'

Lalu, ia menyerahkan sebuah pulpen pada Alfa, "Tanda tangan dulu."

Alfa tersenyum sembari meraih pulpen yang diberikan Cece padanya, lantas membubuhkan tanda tangannya pada lembaran yang dimaksud cewek itu.

"Jangankan ini, Ce. Tanda tangan buat surat nikah juga ku bakalan kasih buat kamu."

Tanpa menanggapi lelucon cowok itu, Cece sang bendahara XII MIPA 2 yang baru, segera menyerahkan selembar uang berwarna kuning. Lantas kembali merapikan seluruh alat tulisnya ke dalam tas. Tak lupa dompet khusus yang berisi uang kas milik kelasnya.

"Ce, gue tunggu di halte ya!"

Cewek itu bergegas memasang gembok berukuran kecil diranselnya dan segera menyusul ke empat sahabatnya yang sudah pergi terlebih dahulu. Tak lupa ia menyimpan kunci gembok tadi di dalam saku seragamnya.

Saat berada di koridor kelas XII, Cece dapat menemukan ke empat sahabatnya itu sudah berada di depan ruangan Wakil Kesiswaan, alias halte yang di maksud. Memang konsep halte yang di maksud oleh para siswa di sekolah ini adalah koridor khusus yang memisahkan antara ruangan Wakil Kesiswaan dengan Gedung B-gedung yang dikhususkan sebagai ruangan Labor Komputer serta kelas XII MIPA 4-XII IPS 3.

"Mau ku anter sampe halte, gak?"

Cece mengalihkan tatapannya ke samping kanan, menatap Alfa yang berusaha mengimbangi langkahnya.

"Gak usah, itu mereka udah nunggu disana." Cece lantas menunjuk arah para sahabatnya itu. Lalu, ia kembali menatap Faiz saat mereka berdiri koridor utama pintu masuk sekolah. Lantas ia menghentikan langkahnya, "Udah minta surat izin guru piket?"

"Tuh, sama Derrel." Cece lantas mengikuti arah pandang Alfa. Ternyata Derrel tengah menuju ke arah mereka setelah menyelesaikan pengurusan surat izin yang di maksud.

"Kenapa gak nelfon abang galonnya aja? Gak capek ngangkat galon? Panas loh."

"Gak, dong. Jadi cowok itu harus laki. Masa lempeng karna ngangkat galon sama kepanasan doang. Malu dong ama masa kecil kita yang ngejar capung di lapangan tengah hari."

Tatapan datar cewek itu justru di hadiahi oleh senyuman khas Alfa, senyuman lembut yang hanya ia berikan pada cewek itu.

"Mau beli es krim, gak? Sekalian nih aku jajan di luar", cowok itu lantas memainkan kedua alisnya serta mengangkat galon kosong-yang sedari tadi ia bawa-sejajar dengan wajahnya.

Cece lantas mengeluarkan selembar uang berwarna ungu dan memberikannya pada cowok itu. Ia menatap Alfa, "Cukup kali ini ya, Fa. Lain kali aku gak bakalan ngizinin kamu keluar cuma buat jajan dengan modus ke depot air."

Alfa mengantongi uang tersebut, lantas menatap Cece seraya menampilkan dua jemarinya yang membentuk tanda peace dan tersenyum, "Siap, my princess!"

Cewek itu lantas menggelengkan kepalanya, terlalu lelah menghadapi guyonan Alfa. "Aku duluan ya, udah di tunggu yang lain. Kamu mau aku pesenin makanan, gak? Biar gampang ntar, pas balik kamu bisa langsung makan."

Alfa lantas menurunkan kembali galon yang ada ditangannya dan meraih kunci motor di saku seragamnya, tak lupa menyerahkan benda dengan gantungan kunci berwarna kuning itu pada Derrel. "Gak, ah. Aku mau jajan diluar aja. Lebih enak."

Cece lantas mengacungkan jempolnya dan berpisah dengan Faiz dan Derrel tepat di koridor utama menuju parkiran siswa. Cewek itu lantas berlalu setelah Derrel bergabung dengan keduanya, tak lupa ia menyapa cowok berambut ikal itu terlebih dahulu.

"Ini yang biasakan, Ce?" Cewek itu berbalik sejenak untuk menatap Alfa lantas mengangguk sebagai jawaban.

Cece melanjutkan langkahnya seorang diri menyusuri koridor di sepanjang Ruang Tata Usaha, Ruang Kepala Sekolah, Wakil Kepala sekolah, serta ruang BK.

Ia sesekali menyapa orang-orang yang ia lewati. Tepat setelah belokan di depan ruang Wakil Kepala Sekolah, Cece menemukan eksistensi kedua sahabatnya. Inara dan Nata tengah berdiri di depan XII MIPA 5 bersama kekasihnya masing-masing. Tak ada Air dan Dean, sepertinya kedua cewek itu sudah berada di kantin. Like always they do, sepertinya kedua sahabatnya itu bertugas untuk memesan makanan terlebih dahulu sebelum kehabisan menu incaran mereka.

"Udah baikan lo sama Rafa?" Setelah perdebatan yang melibatkan Inara-Rafa beberapa hari yang lalu, sepertinya dua sejoli itu sudah berbaikan hari ini.

Afif, kekasih Nata lantas menatap sepasang kekasih itu dan Cece bergantian dan menanggapi, "Berantem kok tiap hari?! Putus juga kagak."

Cowok berambut legam itu lantas melarikan diri bersama Nata sebelum amukan Inara berhasil menyapa telinga caplangnya, meninggalkan Cece seorang diri di belakang mereka, sementara di depan sana Rafa tengah sibuk menengahi perdebatan di antara Afif dan Inara.

"Morning, Chen!"

Cece tersentak kaget saat Jaden tiba-tiba muncul disampingnya, menemani, dan berjalan beriringan bersama cewek itu. Jaden tersenyum menyadari reaksi Cece. "Gak usah kaget, Chen. Dari tadi gue berdiri dibelakang lo. Gue nungguin lo bareng mereka."

Cewek itu lantas kembali melanjutkan perjalanannya menyusuri koridor kelas XII IPS bersama Jaden. "Gue lupa kalo lo sekelas ama Rafa-Afif."

"Gak papa lo lupain mereka, yang penting lo gak pernah lupa kalo kita pernah sekelas." Tanpa sepengetahuan Cece, cowok itu menatapnya sangat intens. Bahkan senyuman yang ia berikan semakin dalam tatkala hatinya bergumam, "Dan fakta kalo kita berdua itu deket, Chen."

Sementara Cece, cewek itu hanya mendengus pelan. Keduanya berhenti sejenak saat melewati koridor XII IPS 1. Sekedar membalas sapaan Yuna.

Cewek bertubuh mungil itu lantas melambaikan tangannya pada Jaden dan Cece. Tak lupa ia mengajak cowok itu untuk melakukan salam khas klub basket.

Sambil menyapa dengan akrab, cewek itu tersenyum menatap Jaden, "Oit, kapten. Udah lama gak ketemu nih."

Jaden yang terkenal sebagai cowok paling ramah seantero sekolahan tentu membalas sapaan cewek itu tak kalah hangat, "Yoi, kangen gak lo sama gue?"

Sementara Yuna, cewek itu lantas tersenyum centil dan menyenggol pelan bahu Jaden, "Ya, kangenlah. Kapan-kapan main bareng ya, cap!"

Jaden mengacungkan jempolnya. Kini Yuna beralih pada Cece. Ia menatap cewek itu sambil tersenyum manis. Namun, senyuman itu ia maksudkan untuk mengejek cewek jangkung dihadapannya itu.

Jujur, senyuman Yuna sangat menyebalkan di mata Cece. Namun, cewek itu tetap berusaha menampilkan wajah datarnya, menyembunyikan kekesalan yang ada dihatinya. "Asekk ... Ada mantannya mantan gue nih. Gimana Ce, asik gak sekelas lagi ama Alfa?"

Cukup. Cece sudah muak menghadapi cewek bermulut manis ini. Cece hanya mendengus dan menjawab dengan senyuman, lantas ia pergi. Sementara Jaden, ia menatap tak suka pada Yuna. Tanpa sepatah katapun, Jaden langsung menyusul Cece.

Ada satu hal yang memenuhi pikirannya saat ini, "Chen-Yuna gak ngerebutin Alfa, kan?"

Jaden kembali mengimbangi langkahnya dengan langkah Cece. Mereka sudah tertinggal jauh dari para sahabatnya. Sepertinya ke enam orang itu sudah berada di kantin.

Lihat selengkapnya