Dilamar di pinggir jalan bukanlah impian Kaila. Wajah bulat dengan alis tebal itu tergemap saat jemari mungilnya menghangat dalam kungkungan tangan Oma Rita. Lambat otaknya mencerna apa yang baru saja wanita dua pertiga abad ini katakan. Tidak menemukan titik terang, Kaila mengerjap beberapa saat sebelum berdehem.
"Oma jangan bercanda, deh." Kaila tertawa pelan, "Enggak ada angin enggak ada hujan, tiba-tiba ngajak anak perawan nikah."
Sadar ada yang salah dengan ucapannya, Oma Rita mengulurkan tangan kanannya mengusap bahu Kaila pelan.
"Oma enggak maksa kok, Kai. Tapi Oma serius. Kamu mau ya, jadi istri cucu Oma?"
Kaila menatap dalam wajah Oma, mencari setitik kebohongan dari mata yang mulai sayu itu. Tapi justru binar harapan yang memercik dari kedalaman mata Oma. Tak mau lagi mendapat prank kedua di hidupnya saat bersamaan, gadis itu memilih mengalihkan pandangan ke pohon mangga yang lebat.
"Oma, kepala Kaila pusing. Kai masuk ke rumah Dali dulu, ya?"
Hanya sedikit sopan santun yang tersisa, gadis itu memberikan senyum setengah terpaksa dan berlalu meninggalkan Oma yang mematung di pinggir jalan. Begitu pintu rumah tertutup, Kaila bergegas menuju dapur dan meneguk segelas air.
"Eh, eh, eh! Oma tadi ngomong apaan? Kenapa sebut-sebut Saga?" Dalisa menyusul Kaila ke dapur setelah kabur sebentar ke kamar mandi.
"Nguping?" Kaila menaikkan kedua alisnya, lalau menggeleng pelan. "Oma Rita belum minum obat kali, makanya omongannya ngawur."
Tawa gadis berambut pendek itu menggema, dia menepuk lengan Kaila agak keras. "Kalau Bu Andin denger, bisa merong-merong dia."
Kaila yang tak paham seluk beluk keluarga Oma Rita hanya mengangkat bahu. Dia menggerakkan kepala serong kiri dan kanan, menyebabkan bunyi belulang yang patah.
"Aku mandi dulu, pinjem bajumu, Dal. Aku mau nginep sini."
Tanpa menunggu balasan, gadis berkulit putih itu melesat ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Satu per satu sisa peristiwa yang baru saja dia alami, kekeuh tak meluruh bersama air yang membasahi tubuhnya. Kaila menjejak kaki kanannya, kesal karena niatnya untuk melupakan hari ini, gagal lagi.
"Masak apa?" Bulir air masih menetes diĀ ujung rambut yang tergerai, membasahi kaos oblong putih berlatar delman khas salah satu kota di Indonesia. Aroma mint bercampur stroberi menguar dari rambut dan tubuhnya. Kaila mengintip di balik pundak teman sepermainannya, menghidu lebih jelas rasa masakan lewat hidung.
Yang ditanya enggan menjawab, dia asik mengaduk mi di dalam panci. Sambil menunggu mi matang, Dalisa memecah telur dan menjejalkannya di samping mi.
"Rasa Siwon."
Tatapan sengit setajam pisau di sebelah tangan Dalisa membuat Kaila mundur perlahan, dia beralih duduk di meja makan sambil membuka stoples yang berisi kerupuk puli.
"Iya, iya, itu mi rasa 'suamimu'." Dengan bibir penuh remah kerupuk, gadis itu kembali merenung.
"Dal, cucunya Oma itu kayak apa, sih orangnya?"
"Ya kayak orang, Kai."
"Aww!!"
Tutup stoples terlempar mengenai paha Dalisa yang tengah membuang kuah mi. Dia berbalik sambil mengaduk dan duduk di depan Kaila. "Entar deh, kamu lihat sendiri aja orangnya. Biasanya pulang kerja dia nongkrong di depan rumahnya sambil ngerokok."
***
Satu embusan dengan awan mini menyembul di atas kepalanya. Lelaki berjas kotak-kotak itu mematikan ponsel dan menginjak sisa tembakau setelah sedotan terakhir. Dia menutup kaca mobil dan mulai berduet menari di jalan raya.