Lyla membentangkan aneka struk belanja di meja pantry. Tangan kanan sibuk memasukkan angka pengeluaran di dalam aplikasi, tangan kiri sibuk menunjuk struk belanja. Sesekali bibirnya berucap jumlah uang yang telah ia keluarkan untuk mengisi kulkas dapur. Beberapa kali keningnya berkerut saat ternyata pengeluaran terlalu besar. Radit tersenyum memperhatikan keseriusan istrinya. Suami Lyla itu sedang asyik mengeluarkan belanjaan dari keresek sepulang dari Agen Kasih Ekspres.
“Belanja begini doang habisnya 500 ribu lebih,” gerutu Lyla seraya membanting ponsel ke meja. Radit menata minuman dingin di kulkas, lalu mendekat ke arah wanita yang tengah memijat pangkal hidungnya. Ia mengeluarkan isi keresek terakhir, dua cup es krim vanila dan cokelat.
“Ini belum termasuk pulsa sama ongkos urus skripsi, belum juga termasuk bensin si Blacky,” terang Radit. Tubuhnya condong ke depan meja, meraih sendok dari tempat sendok.
“Dan ini baru rumah sekecil ini. Enggak kebayang pengeluaran rumah orang tua kita,” imbuh Lyla. Tangan yang semula memijat pangkal hidung itu gesit menyambar sendok dari tangan Radit, membuatnya berdecak kesal.
“Besok kita kurangin jajan, deh,” usul Lyla sambil menyendok es krim.
“Bilangnya kurangin jajan, itu es krim satu cup gede mau lu abisin sendiri?” Radit memutar bola mata jengah.
Lyla terkekeh, menyodorkan cup es krim ke arah Radit. Radit tertawa kecil sembari meraih sendok kembali dari tempat sendok. Semenit berlalu keduanya asyik melahap es krim tanpa suara. Hingga suara ketukan pintu di depan menginterupsi mereka untuk berhenti makan dan beranjak menghampiri ruang tamu.
Harusnya, mereka tidak akan pernah menerima tamu mengingat belum seorang teman pun yang tahu soal kepindahan mereka. Radit cukup paham bila keberadaan orang di depan pintu itu bisa jadi masih anggota keluarga mereka. Eyang mungkin? Akan tetapi, Eyang Kasih bukan tipe seperhatian itu sampai menjenguk cucunya. Papa? Ah, yang benar saja! Laki-laki itu pencinta berkas dan ruang kerja sejati. Mama? Radit pikir wanita itu sudah terlalu sibuk mengurus Isabel—si cewek balita dengan rambut kecokelatan dan mata lebar—yang apabila tertawa dalam dekapan mamanya itu sangat menyebalkan.
Lyla sudah memutar kenop pintu, ia sedikit terhuyung saat pintu terbuka dan seorang gadis kecil menyerobot masuk tanpa permisi. Gadis cilik dengan rambut tergerai lurus sepinggang itu kontan memeluk kaki jenjang Radit, membuat Lyla terperangah heran.
Menyadari makhluk kecil itu bergelayut di kakinya, Radit berdecak lirih seraya melempar pandangan jengah dengan tangan berkacak di pinggang. “What the hell! What are you doing here?” desis Radit sengit.
“Lho, Mama?” Lyla bersuara saat wanita bermanik biru itu datang dari arah pintu pagar dengan dua keresek belanjaan.
Julia tersenyum kaku, menyadari keengganan Radit ketika putra sulungnya berusaha melepas cekalan Isabel. Sepertinya wanita itu sebenarnya sadar bahwa keputusan membawa Isabel ke rumah sang putra bukanlah ide baik.
***
Kedua tangan Julia aktif mengeluarkan beberapa kotak kue dari dalam keresek. Ia sempat tertegun memperhatikan meja dapur yang berantakan dengan beberapa lembar struk belanja. Namun, seulas senyum tipis pertanda maklum membuat menantunya yang tengah duduk itu meringis malu.
“Kalian baru belanja?” tanya Julia seraya mengumpulkan struk belanjaan menjadi satu.
Lyla menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. “Iya, Ma,” sahutnya kikuk.
Mata Julia mencari-cari sesuatu di dinding dapur, begitu ia menemukan sebuah paku kecil tertancap di dindin atas kulkas, perlahan ia berjinjit dan menusukkan satu per satu struk belanjaan di sana. “Kamu bisa mengumpulkannya di sini setiap habis belanja. Nanti kalau sempat kamu bikin catatan belanja.”
“Mama enggak usah repot urusin rumah tangga Radit. Kayaknya Isabel lebih butuh, daripada Radit,” ucap Radit sinis. Ia megaduk-aduk es krim yang hampir mencair secara asal. Isabel yang duduk di meja itu tampak asyik memainkan boneka Barbie. “Turun deh lu! Enggak sopan duduk di meja dapur!”
Julia tertunduk sebentar, embusan napas pelan terdengar dari bibirnya. Namun, ia buru-buru mengalihkan kekacauan itu dengan menurunkan Isabel, putrinya yang berusia 5 tahun. Isabel hanya meringis, menunjukkan deretan gigi susu dengan bibir belepot sisa es krim.
Lyla yang mulai menyadari ketegangan itu segera meraih Isabel mendekat padanya, menarik tisu dari kotak, lalu menghapus bibir gadis cilik itu. “Kamu suka Barbie? Rambutnya bagus, sama kayak punya kita,” hibur Lyla sembari menunjuk kepalanya sendiri.
Isabel mengangguk dengan ujung bibir terangkat. “Apa mamanya Kak Lyla seperti kita juga?”
Lyla bergeming, tetapi ia terpaksa tersenyum meski hatinya sedikit tercubit ketika sekelebat wajah cantik itu melewati pikiran. “Iya, Mommy punya rambut seperti ini. Cantik, bukan?” ungkap Lyla.