Malam belum terlalu larut. Lyla masih asyik menyeduh bubuk cokelat dengan air panas, mengaduknya perlahan seraya menatap keluar jendela dapur. Bibir polos tanpa sapuan lipstik itu mendekat ke bibir cangkir, menyesap sedikit minuman beraroma cokelat. Lyla suka aroma ini. Baginya, aroma cokelat sanggup mengenyahkan lelah seharian bekerja.
Keasyikan itu tertahan saat denting ponsel di meja ruang santai terdengar. Setengah berlari, Lyla menghampiri ponsel miliknya. Hampir saja isi cangkir yang ia pegang tumpah bila dirinya tak segera memperlambat langkah. Kening Lyla berkerut saat melihat nama Miranti ada di panel notifikasi benda pipih yang menyala di meja. Jari teluntuk tangan kanan Lyla terulur, menggulir ke bawah panel notifikasi, kemudian menekan chat dari Miranti.
Bola mata lebar bermanik hazel miliknya mengerjap beberapa kali, tampak bingung menatap sebuah foto. Namun, sedetik kemudian bibir Lyla menyungging senyum. Ia melupakan cokelat panas, meninggalkannya begitu saja ke meja. Beberapa menit ia sibuk tersenyum sembari duduk bersila di sofa panjang berwarna mocca.
Semoga Papa benar merestui kehidupan calon adik bayi dari Mama Miranti.
Lyla tersenyum, menatap lega pada layar ponsel yang menampilkan foto hasil USG ibu tirinya.
***
Wangi cokelat panas tercium cuping hidung Radit yang sedang merebah di ranjang kamar sembari memainkan game online melalui ponsel. Sepertinya penghuni kamar sebelah berencana mengundang suaminya datang dengan aroma cokelat menggoda. Ia bergegas turun ranjang, mengenakan sandal putih berbahan busa dengan tergesa.
Dua kamar di rumah ini memang berhadapan langsung dengan ruang santai. Ketika Radit sampai di ambang pintu kamar, mendadak langkah kakinya terhenti. Ia sempat mematung dan tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. Hei, gadis jutek itu tersenyum! Selama ini, Radit pikir Lyla manusia minim ekspresi, seolah-olah tak memiliki keinginan hidup. Lyla yang Radit kenal hanya memiliki dua ekspresi, datar dan marah. Dan saat ini, di depan Radit, gadis itu menunjukkan ekspresi yang mungkin sengaja Lyla tekan selama ini.
Radit menghela napas dan mengembuskannya perlahan seraya bersandar ke kusen pintu. Ia menghidupkan perangkat kamera dari ponselnya dan … klik! Senyum dari gadis di foto ini adalah miliknya. Sampai kapan pun itu.
Senyum itu masih terukir saat Radit sudah mendekat dan duduk di sebelah Lyla. Radit berdeham sekali, tetapi Lyla masih asyik tersenyum seraya menggerakkan jari telunjuk dan ibu jari demi memperbesar ukuran gambar. Merasa diabaikan, Radit berusaha mengintip foto apa yang menjadi pusat perhatian iris kecokelatan Lyla. Hanya foto hitam putih yang tak jelas bentuknya.
“Foto apaan, La?” celetuk Radit sembari meraih tangan Lyla dan mendekatkan ponsel dengan wajahnya.
Lyla menoleh dan spontan menjawab, “Janin usia 3 bulan.” Kemudian ia kembali sibuk sendiri dengan foto itu. Radit terdiam, memikirkan sesuatu yang sempat muncul siang tadi di kafe saat bertemu Dimas dan Riana. Mungkin ini hal penting yang harus ia pastikan sekarang.
Radit berdeham, mengusap tengkuknya dengan canggung. “La,” panggilnya.
“Hm?”
“Lu hamil?” tanya Radit akhirnya. Sedikit lega karena pertanyaan itu sudah berhasil terucap. Lyla yang semula relaks sambil memandangi foto janin di layar ponsel, tiba-tiba menegang. Istri Radit itu terdiam sembari menggigit bibir seolah-olah berpikir keras. Tanpa menjawab pertanyaan dari suaminya, ia bergegas kembali ke kamar tanpa pamit.
“Lah, belum juga jawab pertanyaan gue,” gerutu Radit penasaran. “Lu mau ngapain, La?!” Radit setengah berteriak saat melihat Lyla masuk kamar dan menutup pintu.
“Tidur!” sahut Lyla sama berteriak.
“Cokelatnya buat gue, ya?!”
“Iya!”