Wanita dengan blouse merah jambu itu duduk di kursi tunggu ruang farmasi. Sudah dua hari ini Lita—putri tercintanya—harus kembali terbaring di rumah sakit. Desahan napas lelah terdengar dari celah bibir ber-lipstik pink pastel. Matanya lelah efek kurang tidur. Bagaimana ia bisa terlelap bila gadis kecilnya terus memanggil dan bertanya kapan sembuh?
Sungguh, Anita teramat ikhlas merawat darah daging Tio—suaminya—yang sudah digugat cerai. Bahkan ia tak pernah mengungkit lagi perkara masa lalunya antara Tio, Lita, dan dirinya. Semua itu telah ditutup rapat dan enggan ia korek kembali. Termasuk di depan Radit sekalipun.
Anita menghela napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan seraya bersandar pada dinding ruang farmasi yang terasa dingin. Ia memejam sejenak sambil menunggu nama putrinya dipanggil untuk mengambil beberapa obat sebelum sore nanti membawa pulang Lita ke apartemen.
“Maaf, bisa geser ke kiri? Kursi di depan sudah penuh.” Suara lembut seorang wanita membuat Anita yang semula terpejam, membuka mata. Ia tersenyum dan segera bergeser ke kursi sebelah kiri yang kosong. Wanita yang mengenakan dress dengan potongan huruf A selutut itu tampak membawa sebuah map. Anita melirik isi map saat ia membukanya. Ada data personal di sana bertuliskan “Ny. Miranti”, lalu di dalam map itu terdapat selembar foto hasil USG. Anita beralih ke perut sang ibu yang terus menyunggingkan senyum menatap gambar janin yang mulai berbentuk. Hampir membesar, pikir Anita dan spontan ujung bibirnya mengukir senyum.
“Berapa bulan, Bu?” tanya Anita seraya ikut memandang foto USG terang-terangan.
Wanita yang bernama Miranti itu menoleh. “Tiga bulan dan ini kehamilan pertama saya,” ceritanya dengan mata berbinar. Bibir milik Miranti terus merekah, menampakkan deretan gigi seputih Mutiara.Anita mengerjap tak percaya. Bagaimana bisa wanita yang umurnya tertulis 43 tahun di data personal map ini memberanikan untuk melanjutkan kehamilannya? “Kenapa? Pasti tidak percaya, kan?” terka Miranti masih dengan binar ceria.
“Ini hebat,” sahut Anita.
Miranti mendesah lelah, ia menutup map dan menatap kosong ke depan. “Saya tidak sehebat itu, apalagi kuat. Saya bahkan pernah begitu bodohnya menggugurkan kandungan saya,” ungkap Miranti getir.
Anita menutup mulut, terperangah karena tak yakin dengan apa yang dikatakannya barusan. “Bagaimana bisa?” Refleks ia genggam telapak tangan Miranti. Melihat Miranti yang tertunduk, Anita melepas genggaman. “Eh, maaf,” sesal Anita.
Miranti menggeleng dan tersenyum, “Tidak apa-apa.”
Belum sempat Anita kembali bertanya, nama Miranti dipanggil sehingga wanita yang tampak anggun dengan rambut terikat rapi itu bangkit dan pamit.Anita mengembuskan napas perlahan seraya menatap punggung wanita yang telah terlebih dahulu dipanggil untuk mengambil obat.
Menggugurkan kandungan? Anita tersenyum hambar. Kenapa ada wanita sebodoh itu? Anita sendiri hampir gila saat kehilangan bayinya. Ia makin putus asa saat dokter memvonis dirinya tak bisa memiliki keturunan. Sampai ia menyalahkan Tiodan membenci laki-laki itu untuk selamanya. Di mana laki-laki itu saat ia membutuhkannya? Bersama wanita lain? Cih! Anita bergidik.
Anita meremas jemari tangannya di atas pangkuan. Bahkan saking inginnya memiliki anak, ia rela mencintai Lita. Namun, kenapa Tio tak kunjung mencintainya saat itu meski dirinya ikhlas mencintai gadis kecil itu?
“Pelita Cahyani!”
Pengeras suara menyerukan nama putri tiri Anita, membuyarkan pikiran yang berkecamuk. Anita segera menghapus ujung mata yang mulai berair dan bergegas mengambil obat putrinya. Ini bukan waktu yang tepat untuk menangisi kepedihan masa lalu.
***
Dapur bernuansa cokelat dan mocca itu tampak sedikit berantakan. Dua wanita berusia lanjut bercelemek sibuk menyiapkan makan siang. Miranti yang baru saja sampai membuat Wiyati—salah satu asisten rumah tangga keluarga Mahendra—sigap membantunya mengambil alih handbag dari lengan kanan.
“Apa Lyla sudah datang?” tanyanya seraya duduk di kursi pantry.
“Belum, Nyonya,” sahut Bi Ijah, wanita yang telah sepuluh tahun setia mendampingi Miranti dalam hal mengurus pekerjaan dapur. Bi Ijah mengiris wortel dengan cekatan. Wanita berusia 60 tahun ini menjadi kesayangan Miranti karena masakannya yang enak. Sementara Wiyati, wanita berusia 30 tahun yang kembali setelah meletakkan tas Miranti ke kamar, adalah putri bungsu Bi Ijah. Wiyati cekatan dalam berbenah rumah.
“Sini, biar saya saja, Bi. Oh ya, jangan lupa puding cokelat kesukaan Lyla, ya, Wi.” Miranti mengingatkan seraya mengambil alih irisan wortel.