Radit mendesah malas. Seperti biasa, dengan seragam biru tua bergaris oranye di tepi kedua lengan, ia baru saja selesai menjemput beberapa paket dari beberapa konsumen. Namun, kali ini laki-laki yang duduk di kemudi mobil box itu sendirian.
Setelah sarapan pagi di kediaman Mahendra, Adam menelepon agar berangkat lebih cepat. Lyla sendiri mengernyit saat Riana menelepon bahwa semua mahasiswa bimbingan Anita diharuskan mengambil draft skripsi yang telah rampung dikoreksi. Radit memarkir mobil tepat di depan warehouse belakang kantor. Begitu mesin mobil ia matikan, laki-laki itu turun, kemudian menggedor kaca jendela ruangan depan.
“Buruan bantuin gue turunin barang!” perintah Radit pada Agus yang sibuk membantu Adam melabeli paket dengan label fragile.
Agus berlari kecil melalui pintu depan kantor dan berputar menuju parkiran belakang. Radit yang sudah membuka pintu box mobil menurunkan barang dan Agus menerimanya untuk kemudian di tata di warehouse.
“Tahu enggak, Mas, kayaknya beberapa paketan di sini akan masuk ke status delay, deh,” tutur Agus sembari menerima uluran kotak paket.
“Lah, kenapa memang?” Radit masih bersikap tak peduli dan terus bergerak aktif mengulurkan paket.
“Ya, kan, Pak Tio ambil kebijakan baru untuk mengumpulkan alamat yang sejalan, biar irit biaya jalan katanya,” terang Agus. Pemuda tanggung itu berlalu untuk menghitung tumpukan barang. “Semua ada lima belas pa—”
“Siapa lu bilang?” Radit berhenti menurunkan barang. Ia turun dari box, kemudian menunggu Agus yang sibuk mencatat di buku.
“Pak Tio, manager dari department pick up,” sahut Agus dengan fokus mata masih tertuju pada buku catatan. Radit menyeringai pelan, lalu ia berbalik seraya meninju pintu box mobil hingga bunyi berdebum keras terdengar.
Agus terlonjak kaget sampai pena dan buku terjatuh. “Ya ampun, Mas Radit ngagetin! Eneng opo to, Mas?!” teriak Agus dengan bahasa Jawa yang artinya menanyakan ada apa.
Laki-laki yang tengah menahan gejolak kesal itu tak lagi peduli dengan teriakan Agus. Ia lebih memilih masuk kantor, meraih tas ransel di ruang kerja dengan rahang mengeras.
“Mau ke mana, Mas?” Adam yang masih sibuk menempelkan label tampak bingung dengan sikap Radit.
Radit tak menyahut, ia terus berlalu tanpa pamit meski tahu setelah ini Adam pasti menelepon Eyang Kasih karena Radit pulang kerja sebelum waktunya. Baru saja ia menekan tombol kunci mobil sport-nya, ponsel di saku kanan bergetar. Radit merogoh saku setelah meletakkan ransel di sisi kursi belakang mobil.
Dimas: “Lu enggak bareng Lyla?”
Radit mengerutkan kening. Belum sempat ia membalas, Dimas sudah mengirim chat berikutnya.
Dimas: “Angga sudah tahu kan kalau Lyla nikah sama lu?”
Decakan kesal terdengar dari lidah Radit. Ia segera menelepon istrinya seraya menyalakan mesin mobil dan menjalankan perlahan. Nada panggilan tersambung sekali dan nada kedua Lyla sudah mengangkat.
“Lu di mana, La?” serobot Radit sebelum Lyla menyapa.
“Kantin kampus,” sahut Lyla singkat.
“Sama siapa?”