Adam duduk di sofa single sembari bersedekap di depan Radit dan Lyla yang duduk tertunduk di sofa panjang secara berdampingan. Setelah kepergian Radit tanpa pamit dari kantor, laki-laki itu lantas menghubungi eyang Radit.
Terang saja hal itu sanggup memaksa Radit untuk kembali ke kantor setelah Eyang Kasih menelepon Radit. Wanita tua itu memberikan banyak ancaman yang mungkin tak bisa dianggap remeh. Wajah Radit tampak memberengut saat Eyang Kasih juga mengancam akan meminta kembali si Blacky—mobil kesayangan Radit.
“Tolong jangan mentang-mentang Mas Radit cucu dari pemilik perusahaan lantas bersikap seenaknya. Saya mengizinkan libur bekerja apabila memang waktu digunakan untuk mengurus sisa waktu kuliah Mas Radit, tapi tidak untuk perkara lain kecuali sakit.” Adam memberikan penataran singkat sebelum ia memberikan sebuah kertas bertuliskan alamat.
Lyla meraih kertas di meja, membacanya sekilas, sedangkan Radit hanya melempar pandangan jengah. “Ini alamat apa, Pak?” tanya Lyla.
“Jemput paket, buruan kita kelarin. Capek gue,” gerutu Radit. Lagi-lagi ia berlalu tanpa pamit, membuat Adam menggeleng dan mendesah pasrah.
Lyla tersenyum masam, merasa tak enak dengan tingkah Radit yang kadang kurang sopan. Ia mengangguk sekali sebelum berlalu, “Maaf, Pak.”
Adam balas mengangguk. Lyla jauh lebih baik bila ada embel-embel titah Eyang Kasih, gadis itu pasti langsung tunduk karena takut. Mimpi apa Adam? Kenapa juga harus agen ini yang dijadikan tampungan mengurus cucu dari pemilik perusahaan? Adam menepuk kening sembari bersandar lemas ke sandaran sofa.
***