Cermin di meja rias kamar Lyla sudah ketiga kalinya ditengok sang pemilik kamar. Lyla asyik memilih lipgloss yang ia miliki di meja rias. Semua bernuansa nude atau soft pink, dan Lyla sudah berkali-kali memilih yang menurutnya cocok untuk hari ini. Namun, menyadari keanehan sikapnya itu, buru-buru ia menarik tisu dari kotak, menghapusnya kemudian ia ganti dengan lipbalm.
Wanita dengan rambut yang mulai melebihi bahu itu kembali becermin, barangkali ada yang salah. Saat memperhatikan bibirnya sendiri, ia menggigit bibir. Astaga! Kenapa ia jadi bersikap rumit sekali perkara penampilan sejak kejadian semalam? Lyla menelungkupkan wajah di atas kedua lipatan tangan. Jantungnya mendadak berdebar mengingat sekelebat senyum Radit. Sial! Tanpa sadar Lyla terperangkap suaminya sendiri.
“Lyla! Lu mau cokelat panas enggak?!” Suara panggilan Radit dari arah pantry mengejutkan Lyla.
Ya ampun, sudah berapa lama ia berada di depan cermin? Lyla sampai lupa menyiapkan sarapan. “Iya! Sebentar!” sahut Lyla seraya kembali meraih lipglosssoft pink dan memulasnya di bibir dengan gerakan cepat.
Lyla berjalan tergesa dengan ransel di bahu kanan. Ia duduk di kursi pantry, meringis canggung karena merasa bersalah selalu bangun kesiangan. “Sorry, terlambat bangun,” gumam Lyla sambil merapikan poni dengan kelima jemarinya.
Radit meletakkan dua cangkir cokelat panas di meja, kemudian duduk dan menatap Lyla tak habis pikir. “Memang pernah enggak terlambat bangun pagi?” sindirnya dengan kedua mata menyipit.
Lyla memainkan kedua jari telunjuk di atas meja dengan wajah tertunduk. “Iya, maaf. Lagian semalam kita pulang terlalu larut dan gue … enggak bisa tidur,” terang Lyla polos.
Radit terpaksa merendahkan tubuh demi menunduk dan mendekatkan wajah ke wajah istrinya yang merona. “Sama kalau begitu. Gue juga enggak bisa tidur,” bisiknya.
Kontan Lyla mendorong pipi Radit agar tak terlalu dekat dengannya. Sungguh, berdekatan begini membuat ia kembali seperti mabuk, karena aroma maskulin dari parfum Radit yang semalam sempat tercium oleh indranya. Tidak! Cukup! Lyla tak mau lagi menambah beban pikiran bila mereka melakukan hal lebih dari itu. Diraihnya mug berisi cokelat hangat dan menyesap sedikit demi sedikit.
Sayangnya, Radit masih belum mau memutus tatapannya. Laki-laki itu justru menyangga kepala dengan sebelah tangan di meja, menatap kecanggungan Lyla yang mungkin terlihat lucu. Lyla makin salah tingkah. Wanita dengan wajah kikuk itu mengulurkan tangan, meraih selembar roti gandum tanpa isi. Ia berharap segera menyelesaikan sarapan dan enyah dari hadapan Radit.
“Lu bisa enggak sih enggak lihatin gue begitu?” erang Lyla. Selera makannya hilang, ia mendadak kenyang saat Radit justru terkikik. “Radit, ish!” Lyla sudah mengepalkan tangan hendak meninju dada Radit.
Namun, dengan gesit Radit mencekalnya dan dalam sekali sentakan tubuh kecil Lyla terhuyung ke depan dan terperangkap dalam dekapan. “Thanks,” lirihnya.
Radit mengaduh saat Lyla justru menepuk dada sedikit keras. “Dih, anarkis bener, sih, La,” protes Radit sambil mengelus dadanya.
Lyla hanya berdecak tak peduli. Ia justru lebih memilih menggigit kembali roti gandum yang sempat terabaikan. Kemudian wanita yang telah siap dengan seragam kerjanya itu bangkit menggendong ransel ke punggung dengan roti gandum masih terselip di bibir. Radit menyambar ujung roti yang menggantung dari gigitan Lyla, menggigitnya beberapa kali sebelum ia menyuapkannya pada mulut sang istri yang memberengut kesal.
“Yuk, berangkat!” ajak Radit. Ia sempat meneguk sekali cokelat hangat, lalu mengikuti langkah Lyla yang mendahului.
***
Anita menuntun lengan gadis berkucir ekor kuda dan mengikal di ujungnya. Gadis cilik dalam gandengan wanita berkemeja merah marun itu tampak berbinar ceria meski wajahnya sedikit pucat pasi. Ia melompat-lompat girang saat sang mama menepati janji untuk membeli buku dongeng baru setelah sembuh dari sakit.
Ya, Lita memang memiliki kondisi tubuh yang spesial dan tak bisa dianggap remeh. Sosoknya terlihat baik-baik saja karena di mana pun bibirnya selalu mengulas senyum. Berbeda dengan kondisi fisik dalam tubuh. Siapa sangka bila gadis yang tengah melompat-lompat ceria itu mengidap leukimia. Rumah sakit seolah-olah menjadi rumah kedua setelah apartemen Anita, sang mama yang telaten. Anita semangat mendampingi putrinya, tetapi saat gadis pencinta kisah dongeng itu membisikkan bahwa ia baik-baik saja, hati perempuan mana yang tak teriris? Melihat gadis kecil yang hadir sejak berusia 2 tahun di apartemen Anita terbaring lemah, bibir pucat, dan alat bantu medis mengelilinginya, Anita hampir tak kuat. Namun, jika ini jalan Tuhan yang harus ia jalani, Anita bisa apa?
Anita tersenyum, mempererat genggaman saat Lita mendongak dengan rambut bergoyang seirama langkah lebarnya. Mereka baru saja sampai di depan toko buku.
“Ish, enggak! Gue yang ngecek barang sama pemilik toko buku!”