Kedua tangan Lyla gemetar. Baru semenit lalu, ia mencelupkan benda tipis ke cawan yang diletakkan di wastafel. Ia menelan ludah, berharap manik mata kecokelatannya salah melihat. Tidak. Ini sungguh tidak mungkin terjadi.
Sebelah tangan Lyla mengacak rambut sebahunya. Ingatannya bekerja keras membuka memori sebulan lalu. Kapan ia bersama suaminya saling bersentuhan melebihi batas? Lyla menggeleng seraya memejam. Wanita yang dirundung kepanikan ini begitu yakin bahwa ia selalu save saat Radit meminta haknya. Namun, sekelebat ingatan sebulan lalu, membuatnya sadar bahwa dua garis merah pada benda di tangan kirinya akurat.
Sore itu, saat mereka berdua menikmati hujan—usai bekerja mengantar beberapa paket barang—di mobil, keduanya bersedia ikhlas melupakan perjanjian konyol dalam biduk rumah tangga mereka. Lyla meletakkan testpack di wastafel, kemudian sibuk merogoh ponsel dari saku celana.
Dengan jemari gemetar dan napas bergemuruh, menantu dari keluarga Bagaskara itu menggeser aplikasi kalender. Bibirnya bergumam, menghitung jajaran angka. Lyla mendesah pasrah. Kedua tangannya terkulai kembali ke samping dengan tangan kanan meremas ponsel pintar lebih kuat.