Suara dentuman musik menggema di penjuru ruangan. Lampu beraneka warna tampak berkelip dalam ruangan temaram yang riuh. Semua sibuk menikmati suasana kelab malam ditemani beberapa gelas minuman keemasan.
Tak terkecuali Lyla. Gadis bertubuh pendek itu tampak duduk menyendiri dengan sebelah tangan menyangga kepala di meja bar. Beberapa kali Riana—sahabat baik gadis blasteran Indonesia-Australia itu—mengajak Lyla bergabung dengan teman satu kampus mereka yang tengah berpesta. Namun, beberapa kali pula Lyla menampik ajakan Riana.
Ia belum terlalu mabuk, tetapi wajahnya sudah mulai terasa panas efek alkohol. Lyla menepuk kedua pipi, berusaha menjaga kesadaran agar tak lekas tumbang karena mabuk. Saat ia hendak beranjak, Riana kembali mendekat dengan tiga orang laki-laki mengekor.
Jika Lyla tidak salah, laki-laki yang tengah digandeng Riana itu Dimas—kekasih Riana. Sementara dua laki-laki di belakang mereka entah siapa Lyla tidak mengenalnya. Ralat. Lyla tahu, tetapi tidak mau tahu. Mereka semua satu kampus dan satu jurusan—manajemen bisnis—dalam semester yang sama pula.
“Hai, La. Masih mau minum?” tanya lelaki berambut cepak dengan kemeja biru bermotifkotak-kotak. Laki-laki itu sempat menyodorkan segelas wine yang ia bawa ke meja di hadapan Lyla.
Lyla bergeming, menatap datar sembari menggigit kedua pipi bagian dalam. Riana dan Dimas saling bertatapan. Keduanya tahu Angga menaruh hati pada gadis dengan wajah yang mulai memerah efek alkohol itu. Sementara Radit—laki-laki berkemeja denim—yang tengah memesan segelas minuman pada seorang bartender mulai tertarik dengan situasi tegang yang mungkin akan muncul.
Radit meraih gelas berisi wine dari Angga yang hampir disambar Lyla. “Jangan, luenggak lihat mukanya sudah macam kepiting rebus?” cegah Radit seraya menatap Angga.
Riana yang masih asyik melingkarkan tangan di lengan Dimas mengangguk setuju. Sontak anggukan Riana berbalas decakan kesal dari bibir Lyla.
“Siapa, sih, lu? Lu mau ngeremehin gue?” tukas Lyla sedikit ketus. Keangkuhan itu tampak saat dagu Lyla sedikit terangkat dan menatap tajam pada kedua mata Radit, tanpa takut.
Radit menyeringai pelan. Tak menyangka mendapat tanggapan judes dari gadis berambut sebahu ini. Sementara Dimas dan Angga justru terkikik geli. Mereka lantas memesan beberapa botol minuman, meletakkan di hadapan kedua manusia yang bersitegang.
“Buktikan! Siapa yang tumbang duluan,” tantang Dimas.
Angga tertawa, ia meraih botol, menuang cairan keemasan itu ke dua gelas. “Lanjut!” pekiknya menantang.
Riana makin memelotot. Ia berkali-kali menarik lengan kemeja Dimas. Namun, elusan sebelah tangan Dimas di puncak kepalanya membuat gadis itu mendesah pasrah.
***
Radit dan Lyla masih terus berlomba menenggak habis setiap tuang cairan memabukkan itu dari Angga dan Dimas. Keduanya masih tak mau mengalah meski perlahan pandangan mulai buram dan tubuh terasa lunglai untuk digerakkan sedikit saja. Mata Lyla memicing beberapa kali. Gelas ketujuh masih sempat ia tenggak. Bahkan Riana sahabatnya sudah mulai cemas.
“Cukup! Lu bisa muntah kalau diterusin!” cegah Riana. Tangan Riana sukses menahan gelas yang dipegang Lyla.
Lyla menggeram sebal. “Apa, sih, lu? Urusan gue, tahu enggak?”
Riana mendesis kesal saat Lyla berusaha terus menampik dan mendorongnya untuk menjauh. Andai ia tahu begini akhirnya, lebih baik tak usah mengajak Lyla ikut menghadiri pesta ulang tahun Dimas. Bukan sekali dua kali Riana harus mengantar Lyla pulang dalam kondisi mabuk. Dan semua usahanya berbaik hati mengantar Lyla sampai depan pintu rumah selalu berbuah omelan dari papa Lyla. Beruntung mama Lyla orang yang tahu terima kasih. Setidaknya, Riana lega sahabatnya ini memiliki ibu tiri berhati bak ibu peri.
Sementara Riana sibuk memutar otak bagaimana membawa pulang Lyla, yang lain makin asyik menyaksikan Radit dan Lyla terus berlomba. Bahkan Dimas dan Angga masih saja menuang minuman ke gelas berikutnya. Hingga akhirnya kedua manusia itu tumbang.
***
“Tinggalin mereka! Bakalan panjang urusannya kalau eyang Radit tahu cucunya sampai kobambegini.” Dimas mengajak teman-temannya termasuk Riana pulang, meninggalkan mereka berdua di kamar hotel yang sengaja Dimas pesan. Dimas tahu, Radit—sahabatnya—tak akan pernah marah dengan segudang keisengan Dimas. Radit sendiri pun sering iseng terhadap Dimas. Mereka berdua memang bersahabat sejak kecil. Untuk itu,Dimas memiliki banyak alasan kenapa ia dengan santainya meninggalkan Radit di kamar hotel berdua saja dengan Lyla.
“Lu, gila, ya? Lyla gimana?” protes Riana saat Dimas terus menariknya keluar hotel.
“Gila lagi kalau kita nganterin Radit sama Lyla pulang! Bisa disambit pakai golok sama keluarga mereka!” Dimas menoyor kepala Riana.