Radit menekan klakson beberapa kali, membuat satpam yang berjaga di pos jaga rumah mewah itu berjingkat terkejut. Ia tergopoh mendorong pintu pagar besi berwarna hitam. Laki-laki paruh baya dengan seragam satpam itu mengangguk, menyambut kepulangan cucu pemilik rumah. Namun, Radit hanya membalasnya dengan senyum samar dan lambaian tangan dari jendela mobil yang sengaja dibuka.
Lyla menatap nanar ketika mobil berhenti tepat di depan teras. Kedua tangannya meremas tas ransel yang sedari tadi ia pangku. Perasaan gugup membuncah, mengingat hari ini juga laki-laki di balik kemudi ini akan memperkenalkan dirinya pada sang mama.
Ya Tuhan, apa segugup ini rasanya bila akan bertemu calon mertua? Shut up! Pikiran Lyla terlalu melantur ke mana-mana. Calon mertua apanya, ia harus bisa membatalkan semuanya hari ini juga. Otak Radit sudah mulai rusak. Laki-laki berambut hitam pekat ini pasti gila. Menerima pernikahan tanpa cinta itu bukan perkara mudah. Lyla sudah pernah melihat betapa dinginnya rumah tangga tanpa cinta itu. Papa dan mama tirinya sudah memberikan gambaran yang teramat cukup mengerikan.
Lyla terlonjak saat ketukan di pintu kaca mobil terdengar beberapa kali. Ia segera menurunkan kaca mobil, menatap Radit yang sudah menunggunya untuk segera keluar.
“Buruan keluar. Apa mau gue gendong?” sindir Radit dengan kedua mata memicing, menatap Lyla lebih saksama.
Lyla mendongak, menghunjam kedua bola mata Radit dengan tatapan tak habis pikir. “Ini pernikahan, bukan main-main. Lu gila, ya? Sumpah, gue enggak minta pertanggungjawaban atas kejadian malam itu. Gue yakin, kok, kita enggak ngelakuin apa-apa.”
Radit menggaruk kening yang tak gatal, kemudian ia tersenyum canggung. Lyla menaikkan kedua alis tak mengerti.
“Oh, kalau itu ….” Radit mengamati sekitar, sepi. Namun, ia takut ada yang mencuri dengar. Ia mencondongkan tubuh, memasukkan kepala melalui jendela mobil, dan berbisik di telinga Lyla. Sesaat kemudian Lyla menggigit bibir, menahan malu dengan wajah yang memanas. Apa maksud dari bisikan Radit barusan? Tidak! Bisa saja itu cuma akal-akalan Radit.
“Kita bicarakan itu nanti, yang penting masuk dulu. Mama enggak segalak Eyang, kok,” jelas Radit seraya membukakan pintu mobil untuk Lyla. Ia tersenyum dan mendahului gadis yang dirundung gelisah, setelah menutup pintu mobil. Namun, saat Lyla hanya bergeming dengan sebelah kaki mengetuk-ketuk paving blok seraya menggigit bibir dan pandangan tertunduk, Radit berdecak kesal. Dengan sedikit tergesa, Radit menggandeng sebelah tangan Lyla untuk mengikutinya. Baru saja berjalan beberapa langkah dan menaiki dua undakan kecil di teras, pintu rumah terbuka.
“Halo, Sayang!” Suara lembut itu terdengar. Sesosok wanita bertubuh semampai, rambut kecokelatan, dan bermata biru itu muncul dari balik pintu. Lyla yang hampir tersandung di undakan mendadak terpana. Ia mencengkeram lengan kemeja Radit, bibirnya sedikit membuka tak percaya.
Radit mengangkat sebelah ujung bibirnya, tersenyum sinis pada sosok wanita blasteran di depan mereka. Wanita itu mendekat ke arah Lyla, membantu gadis yang masih membungkuk akibat hampir tersandung seraya mencengkeram lengan kemeja Radit.
“Ini Lyla, Dit? Wah, kamu pintar juga cari calon mantu buat Mama,” celotehnya dengan mata membulat dan berbinar.
What? Wanita setengah bule ini mamanya Radit? Lyla memekik dalam batin. Tak menyangka bila Radit memiliki seorang ibu dengan wajah blasteran. Namun, kenapa Radit tak berambut cokelat seperti ibunya? Ah, tunggu! Hidung mancung Radit sangat mirip dengan ibunya. Bentuk mata dengan bulu mata lentik menuruni wanita ini meski memiliki warna mata berbeda.
Lyla berdeham demi membuang keterpanaannya yang kelewat batas. Kemudian ia berpura-pura merapikan rambut sebahunya. Sedikit canggung gadis itu mendongak dan menahan senyum dengan menggigit bibir.
Namun, keterkejutan berlanjut saat kedua tangan mama Radit terulur, membenamkan tubuh Lyla dalam dekapannya. Jantung Lyla berdesir, seketika itu juga ia teringat pelukan yang sangat ia rindukan. Pelukan wanita blasteran ini sungguh mengingatkannya akan seseorang yang telah menemui Tuhan terlebih dahulu, meninggalkan Lyla dan sang Papa.
Mommy.
***
Suara ranjang ribut terdengar di kamar lantai dua rumah keluarga Bagaskara. Penghuni kamar itu tampak gelisah, berulang kali mengubah posisi tidur, menutup wajah dengan bantal, atau bahkan masuk selimut tebal yang dikenakan. Namun, usaha mengubah posisi tidurnya selalu berbuah kesia-siaan. Bisikan laki-laki berhidung bangir dengan lesung pipi di kedua pipi, masih bergema secara terus menerus di gendang telinga Lyla.
“We did it!”
Lyla mengacak rambutnya kepayahan dengan semua ini. Ia hampir gila. Radit belum mengajaknya bicara lagi. Tadi setelah bertemu Julia—mama Radit—laki-laki itu langsung masuk ke kamarnya, meninggalkan Lyla bersama sang mama selama setengah jam. Dan saat kembali dan bergabung di dapur, keduanya tak sanggup membicarakannya di depan orang tua Radit.
Julia mengajak Lyla berbincang sembari membuat cheesecake. Wanita bernama Julia itu terlihat ramah dan lembut memperlakukan Lyla. Ia sempat menceritakan masa kecil Radit yang bandel dan membuat seisi rumah kewalahan, juga sempat membicarakan rencana pernikahan Radit dan Lyla. Dan Lyla sungguh merasa canggung saat pernikahan itu dibahas. Sementara Radit hanya mengiyakan semua rencana sang mama.
Dan sekarang, karena keinginan Julia berkenalan dengan calon menantunya lebih dekat, di sinilah Lyla berada. Tidur di kamar yang bersebelahan dengan kamar Radit. Julia bilang ia telah meminta Eyang Kasih untuk menelepon kedua orang tua Lyla agar memberinya izin menginap. Astaga, haruskah Lyla menerima perjodohan ini?
“We did it!”
Kalimat itu kembali terngiang.
Sialan!