Suasana di mobil terasa canggung. Sepasang pemuda itu tampak terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Lyla menghela napas, memasukkan sebelah tangan ke tas selempang di pangkuan. Sebuah kotak perhiasan berwarna merah ia sodorkan pada Radit tanpa menatap lawan bicara.
Radit yang tengah menginjak rem dan menunggu lampu hijau di pertigaan jalan menatap kotak tersebut dengan kedua alis terangkat. “Kan, Mama minta lu yang pegang duluan.”
“Lu pegang aja. Siapa tahu lu berubah pikiran dan berusaha kabur. Gue ikhlas,” terang Lyla, matanya masih memandang keluar jendela mobil.
“Terus? Gue harus nanggung rasa bersalah begitu karena sudah nidurin lu dan main lepas tanggung jawab?” Radit melajukan kembali mobil dan masih mengenyahkan kotak cincin yang Lyla sodorkan.
“Kenapa itu dibahas lagi, sih?! Gue, kan, udah bilang enggak usah dibahas termasuk di depan gue.” Lyla menghadapkan tubuh ke arah sisi kemudi.
Radit menepikan mobil tepat di depan apotek. Ia menghadapkan tubuh, berusaha kembali serius berbicara dengan wanita di sisinya. “Lu percaya kalau gue enggak ngelakuin apa pun malam itu?” Radit menelisik ke dalam mata Lyla.
Lyla menelan ludah susah payah. Ia tahu bahwa dirinya memang seorang peminum yang buruk. Jadi, ia memilih tak ambil pusing dan menutup tragedi itu tanpa mau membahasnya lagi. “Gue ….”
“Sayangnya, samar-samar gue mulai ingat apa yang terjadi malam itu. Dan gue yakin lu enggak mau tahu kenyataannya, kan?” Radit sedikit mencondongkan tubuh ke arah Lyla, membuat gadis itu memundurkan kepala ke belakang—menghindari kontak mata terlalu dekat dengan lawan bicara.
Karena Lyla terus bergeming dan enggan menyahut, Radit buru-buru melanjutkan penjelasan. “Pukul tiga pagi, gue sempet kebangun dan gue ....”
“Oke! Tunggu di sini sebentar!” potong Lyla. Ia tergesa melepas sabuk pengaman dan turun dari mobil, meninggalkan Radit beberapa menit, dan masuk apotek.
Malam ini juga, semua harus selesai!
***
Lyla sedikit ragu saat ia sudah berada di dalam apotek. Bau obat-obatan tercium sejenak, membuat gadis itu menggigit bibir dan bertambah gelisah teringat apa yang akan dibeli. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, berusaha meyakinkan tempat ini masih sepi pengunjung. Hanya ada dua orang ibu-ibu dan seorang anak kecil. Dan sepertinya mereka sedang sibuk dilayani oleh petugas apotek.
Perlahan Lyla mendekat ke etalase, menghampiri apoteker yang sedang menata obat-obatan. Diembuskannya napas berat dengan jantung berdebar. Hari itu juga Lyla berdoa semoga mbak-mbak si apoteker ini tidak sedikit tuli dan mampu mendengar meski konsumennya berbisik.
“Mbak,” lirih Lyla seraya toleh kanan dan kiri.
“Iya, ada yang bisa dibantu?” Bibir apoteker yang bertubuh sedikit gempal itu mengurai senyum ramah.
“Mm … s-saya mau … beli ….” Lyla kembali mengawasi sekitar. “Morning after pills,” bisik Lyla.
Kening si apoteker berkerut, ia sedikit mencondongkan tubuh ke depan. “Maaf, beli apa, ya?”