“Ceraikan aku, Mas!”
Pekikan dari lantai bawah terdengar samar di telinga Lyla. Mama Miranti. Pasti wanita berhati ibu peri itu habis kesabaran sehingga kata-kata yang selama ini Lyla tunggu terlontar juga. Perlahan Lyla menapakkan kaki ke lantai, berjalan keluar kamar dan diam-diam mengamati pertengkaran sengit di ruang keluarga. Miranti tampak berderai air mata. Piama tidurnya terlihat berantakan. Sementara Dirga duduk di sofa seraya meremas rambutnya geram.
“Aku tidak akan menceraikanmu,” lirihnya.
Miranti yang semula tertunduk dan bersimpuh di lantai bergegas bangkit, memeluk kaki sang suami dengan bahu bergetar. Ia mendongak, berusaha menatap dengan tatapan memohon.
“Sepuluh tahun pernikahan. Apa itu tidak cukup bagi keluarga Mahendra untuk menyiksaku? Untuk apa menahan diriku jika secuil pun hatimu tak pernah untukku?” Miranti meremas celana berbahan katun milik Dirga. Sebelah tangannya berusaha menghapus air mata yang terus membanjir.
Dirga mengusap wajah, kemudian merebahkan punggung ke sandaran sofa. Hingga akhirnya ia menarik napas dalam, kemudian berkata, “Gugurkan saja kandunganmu dan … aku tidak akan pernah menceraikanmu.”
Lyla menutup mulut, membuang jauh-jauh kehisterisan yang hampir saja terpekik dari tenggorokan. Apa yang papanya lakukan? Ini kali kedua Miranti harus merelakan bayinya. Papa tak pernah mencintai Miranti. Pernikahan mereka terjadi karena perjodohan dari almarhumah Eyang setelah ibu kandung Lyla meninggal.
Kenapa wanita itu bodoh sekali? Demi apa ibu peri itu bertahan di sini?
Lyla berlari kembali ke kamar, menutup pintu rapat-rapat. Beberapa saat kemudian, tubuhnya melorot seraya bersandar di daun pintu. Bayangan pertikaian kedua orang tuanya makin meracuni pikiran. Biduk rumah tangga tanpa cinta sungguh bagaikan momok menyeramkan bagi gadis berusia 21 tahun itu. Ia sama sekali tak bisa menyalahkan papanya. Papa teramat mencintai Amanda—ibu kandung Lyla—hingga kini. Itu merupakan kesetiaan yang langka, bukan? Namun, jika sudah seperti ini, kesetiaan itu justru menghabisi belas kasih terhadap wanita yang telah sepuluh tahun ini setia menjadi istri.
Sungguh semua masalah ini membuat Lyla ingin angkat kaki dari rumah, agar tak lagi melihat betapa menyedihkannya sang ibu peri. Siapa saja, tolong bawa gadis ini pergi dari rumah! Ia sudah tidak tahan lagi. Lyla mendongak, menatap langit-langit kamar seraya menghela napas panjang, kemudian bersamaan ia menunduk, napas itu terembus perlahan.
Getar ponsel di tempat tidur membuyarkan kegelisahan Lyla. Ia bangkit perlahan, menjatuhkan pantat ke ranjang dan membuka panel notifikasi dari ponsel pintar berwarna gold. Lyla mendesis lemah, makin pusing setelah melihat isi chat WhatsApp dari Radit.
“Will you marry me?”
Lima detik berikutnya menyusul kiriman foto cincin pernikahan mereka yang Radit letakkan di meja ber-plistur cokelat tua. Lyla mengetikkan sederet kalimat di papan pesan WhatsApp.
“Jatuh cinta dulu,” gumam Lyla sambil mengetik. Namun, belum selesai mengetik, ia menghapus pesan. “Kasih gue waktu,” gumamnya lagi. Lagi-lagi ia menghapusnya.
“Are you serious?” Pesan kembali dihapus.
Lyla mendesah pasrah. Ia bukan tipe manusia yang bisa berbicara tertata rapi. Dengan sedikit penekanan, Lyla mengetik kembali. “Lama-lama gue bisa sinting!”
Sent!
Malam ini gadis itu tampak kacau dan butuh pelepasan emosi. Ditariknya jaket berbahan denim di gantungan belakang pintu dengan kasar. Pun sama kasarnya saat ia meraih tas selempang mungil di meja pojok kamar guna menyimpan dompet dan ponsel. Lyla keluar rumah. Malam ini juga, ia butuh minum dan … rokok.
***