Miranti sibuk memulas bibir tipis calon pengantin di depan cermin. Pekerjaan ini sudah biasa ia lakukan sehari-hari sebagai pemilik bisnis salon kecantikan. Lyla tampak cantik dengan gaun putih di atas lutut dan ekor gaun menjuntai di lantai. Miranti yang memilihkan gaun itu khusus untuk hari penting ini.
Selesai merias wajah, Miranti menghampiri sebuah kotak di sisi ranjang. Wanita berusia 45 tahun itu juga sudah menyiapkan high heels terbaik untuk menghias kaki Lyla. Namun, ia urung memakaikannya saat Lyla bangkit dan menuju rak sepatu di dekat pintu kamar. Gadis itu memilih menggunakan sneakers.
“Lho, enggak pakai ini saja?” Miranti berujar dengan wajah sedikit kecewa.
Lyla menggigit bibir, kemudian menggeleng pelan.
“Sini, Mama yang pakaikan.” Miranti tersenyum tipis seraya meletakkan kembali high heels ke dalam kotak. Perlahan ia membimbing Lyla untuk duduk di tepi ranjang dan berjongkok memasangkan sneakers merah muda berlogo Convers milik Lyla. “Mama lupa kalau kamu pasti enggak betah pakai high heels. Maaf, ya?”
Gadis berambut kecokelatan tergerai itu tak menyahut. Namun, saat Miranti berdiri, sebuah gerakan mengejutkan datang dari Lyla. Lyla mengusap dan menepuk pelan perut Miranti dan berbisik, “Baik-baik di sana. Jaga Mama selama aku enggak di rumah. Kamu dengar?”
Miranti tertegun. Ia pikir selama ini putri kandung Amanda itu adalah gadis yang tak peduli dengan lingkungan sekitar. Kali ini dugaan Miranti itu salah. Lyla peduli padanya. Ya, putri tirinya itu peduli dalam diam. Miranti berbalik menatap punggung Lyla yang saat itu hendak berlalu dan memutar kenop pintu.
“Lyla, terima kasih banyak,” ucapnya dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca.
Gadis itu menoleh, tersenyum tipis dan mengangguk pelan sebelum ia keluar ruangan.
Wanita paruh baya itu sontak terduduk di tepi ranjang, mengusap pipi yang mulai basah. Mulai detik ini, ia harus bertahan demi rumah tangganya. Demi adik untuk Lyla dan demi dirinya sendiri.
Miranti menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Tidak. Jangan ada air mata untuk hari pernikahan putrinya. Ia bergegas becermin, menyapukan kembali bedak yang sedikit luntur oleh air mata. Kemudian ia segera menyusul Lyla, mengantarkannya duduk di sebelah calon suami.
***
“Saya terima nikahnya Lyla Mahendra ….”
Lyla membeku. Ternyata, lamaran Radit di kelab malam itu bukan omong kosong belaka. Dan parahnya, kesediaan Lyla menerima lamaran itu juga bukan omong kosong. Buktinya, keduanya detik ini juga bersanding menandatangani buku sakral bukti ikatan suci mereka.
Tidak banyak yang hadir dalam pernikahan mereka. Hanya kolega dan rekan bisnis orang tua. Sementara teman-teman kampus, Radit dan Lyla sudah sepakat untuk takada satu pun yang diundang. Lagi pula, Lyla juga tidak ingin menyakiti ibu dosenyang terhormat itu jika sampai undangan pernikahan sampai di kalangan kampus. Bukankah tindakan Lyla benar?
Papa yang berwajah kaku pun mendadak luluh dan bersikap ramah pada Dipta—papa Radit—dan Eyang Kasih. Miranti yang semula selalu murung kini terlihat ceria. Ada seseorang yang Lyla suka melihatnya. Julia. Ya, mama Radit itu sungguh membuat Lyla terpana. Rambutnya yang sama dengan Lyla, mata kebiruan yang berbeda dengan para tamu lain. Menatap wanita blasteran itu sungguh menyenangkan. Lyla seolah-olah menemukan sesama makhluk asing yang tinggal di belahan dunia lain.
“Cium! Cium! Cium!” Suara Julia itu sontak membuat mata Lyla terbelalak kaget. Radit mengusap tengkuknya dengan canggung. Mendengar suara itu kontan tamu yang lain ikut terprovokasi dan ikut memeriahkan dorongan dan dukungan.
“Sorry, La,” kata Radit cepat dan kejadian itu terjadi secara kilat tanpa memberi waktu Lyla untuk sedikit saja menggeser tubuhnya. Lyla meraba pipi kanannya, menatap Radit dengan bibir sedikit membuka tak percaya. Sementara Radit sudah berpura-pura biasa saja, tersenyum samar entah kepada siapa.
Oh, My God! Jantung, berhentilah melompat-lompat tak keruan. Tingkahmu membuat wajah pengantin wanita itu bersemu merah.
***
Lyla mendesah mengingat acara pernikahannya siang tadi. Sekarang, ia hanya bisa termangu di kamar pengantin. Tak banyak yang gadis itu lakukan kecuali menghela napas, mengembuskan, kemudian meneguk sekaleng minuman soda di tangan kanan. Ia duduk di tengah-tengah ranjang, mengamati betapa sempurnanya kamar ini. Lengkap dengan lilin aroma terapi, bunga-bunga bertebaran di atas ranjang, dan aroma wangi menyeruak menusuk cuping hidung siapa saja. Padahal, kamar ini mulanya bergaya maskulin.
Ya, Lyla langsung pindah ke rumah keluarga Bagaskara. Meskipun sore tadi ia sempat menatap iba pada Miranti saat dirinya berpamitan. Semoga wanita itu baik-baik saja. Dan lagi, calon adik yang belum terlahir itu, semoga bisa tumbuh baik meski papa Lyla terus mendesak untuk menggugurkannya.
Lyla tersenyum getir, lalu kembali meneguk minuman kaleng. Sayang sekali malam pengantin ini hanya diisi dengan dua sosok yang justru terlihat despirate akut. Bahkan Lyla makin putus asa saja saat melihat laki-laki yang tengah merokok di balkon kamar. Sungguh, ia sanggup memahami betapa frustrasinya sang suami sekarang.