Miranti menghela napas panjang. Secangkir kopi mengepulkan aroma khas biji kopi hitam dari nampan yang dibawa. Ruangan kerja Dirga masih tertutup rapat. Ia tahu, ruangan itu adalah tempat favorit suaminya untuk menghindar dari segala perkara rumit hidup yang harus dilalui. Menyibukkan diri dengan segudang pekerjaan dari perusahaan milik almarhumah Eyang Tanti—wanita tua penuh ketegasan dan kekakuan berpikir—yang teramat ditakuti Lyla. Termasuk, menghindari istri keduanya yang tak pernah dianggap ada.
Miranti mengembuskan napas pelan. Dikuatkannya tekat sebelum ia masuk ke ruangan kerja Dirga. Ia harus bicara lagi, kalau perlu memohon di kakinya. Bagaimanapun, calon anak mereka tidak hanya diharapkan seorang diri saja. Ada Lyla yang mendukungnya. Ia yakin Dirga akan menerima permohonan dari Lyla, putri tercintanya. Miranti tidak boleh kehilangan harapan demi bayi yang ia kandung.
Perlahan jemari lentik itu mengetuk pintu, memutar kenop, dan membukanya. Ia berdeham, menyadarkan laki-laki dengan rahang kokoh dan sorot mata tajam yang tengah menatap layar laptop.Laki-laki itu hanya mendengkus, melirik wanita yang hanya mengenakan piama berbahan licin di hadapannya.
“Aku tidak meminta kopi,” tolaknya ketus.
Miranti menggigit bibir. Begitulah suaminya, tak pernah ada kelembutan saat berbicara pada istri yang telah setia mendampingi selama 10 tahun. “A-aku … hanya ingin membicarakan sesuatu, Mas,” lirihnya seraya meletakkan nampan kopi ke meja.
“Bicaralah, sebelum aku mengantuk dan beranjak tidur,” sahutnya masih tak acuh.
Miranti berusaha tersenyum meski kedua matanya telah berkaca-kaca. “A-aku … aku tetap ingin melahirkan anak ini,” katanya terbata.
“Aku tahu.” Dirga masih sibuk dengan gerakan jari di atas mouse, sesekali ia menggeser ke kanan atau kiri. Atau bahkan menggulir mouse perlahan.
“Ma-maksudnya?” Miranti sedikit gemetar. Ia masih menunggu kelanjutan dari arah pembicaraan ini.
Dirga bangkit dari kursi berporos, menutup laptop sedikit kasar. Ia sempat mengedurkan dasi berwarna biru tua dari lehernya, kemudian berlalu dari hadapan Miranti.
Miranti terkesiap, ia buru-buru mengejar suaminya dan mencekal lengan kokoh dengan lengan kemeja tergulung hingga siku. “M-mas ….”
Dirga yang sudah memutar kenop pintu bergeming beberapa detik. Lelaki itu mengembuskan napas perlahan. “Pastikan kondisimu sehat. Aku tidak mau saat melahirkan harus repot mengurusimu yang terbaring di rumah sakit,” tegasnya tanpa menatap lawan bicara sedikit pun.
Perlahan Miranti melepas cekalan di lengan Dirga. Hatinya tersentuh, bulir bening itu menetes begitu saja tatkala suaminya sudah berlalu dan menutup pintu. Bibir Miranti bergetar, ia kehabisan kata untuk menggambarkan buncahan kebahagiaan. Setelah sepuluh tahun bersama, untuk kehamilan keduanya ini, suami yang terkenal keras kepala dan dingin itu memenuhi harapan Miranti.
Miranti terisak di balik kedua telapak tangannya. “Terima kasih,” gumamnya lirih, “terima kasih karena kamu membuka sedikit pintu hatimu untukku.”
Harapan yang selama ini Miranti gantungkan selama sepuluh tahun telah terkabul. Dirga … mulai memercikkan sedikit perhatian meski dengan cara yang dingin.