Radit sedari tadi hanya sibuk memandang beberapa pekerja memasukkan barang dan aneka dokumen ke mobil box. Ia bersandar pada mobil box berdampingan dengan Lyla yang sedari tadi berdecak kesal.
Tak ada yang menyangka bila laki-laki tampan berseragam biru tua dengan bordir nama Raditya Bagaskara di dada sebelah kanan, adalah seorang kurir. Belum lagi wanita berparas blasteran dan manis di sisinya juga mengenakan seragam yang sama. Mungkin, ini juga cara marketing yang bagus. Barangkali nanti agen tempat Radit dan Lyla bekerja jadi laris manis bila sang kurir memiliki hidung mancung, tinggi proporsional, ditambah rahang kokoh, dan mata bening yang menyimpan sejuta pesona.
“Ayo, bantuin!” perintah Pak Adam dengan sedikit geram.
Radit berdecak kesal. “Ogah!”
“Kurir Tuan dan Kurir Nyonya, saya tahu Anda adalah cucu dari Eyang Kasih pemilik perusahaan besar ini. Tapi, tolong jangan buat saya dipecat karena keleletan kalian,” mohon Pak Adam sembari menangkupkan kedua telapak tangan di depan kening.Radit dan Lyla dengan malas meraih tumpukan paket dan memasukkannya ke mobil box.
“Bisa-bisanya kita kerja kayak begini!” gerutu Lyla. Sedari tadi ia sibuk mendumal tidak keruan. Bahkan saat mereka berangkat mengantarkan paket, Lyla masih saja menggerutu tidak jelas. Radit hanya sesekali melirik Lyla sambil terus menyetir. Namun, lama-lama ia jengah mendengar Lyla yang terus menggerutu dan sebal melihat bibir Lyla yang dari menit ke menit makin maju beberapa sentimeter. Belum lagi kakinya yang sebentar-sebentar menjejak tak keruan sehingga menimbulkan bunyi gaduh di mobil.
“Berisik banget sih, lu! Turun, deh! Gue enggak fokus nyetir lihat muka kusut lu sama suara gaduh tuh kaki!” Radit menepikan mobil ke pinggir jalan.
Lyla mengerang frustrasi. “Lagian lu main terima aja pekerjaan ini! Memang enggak ada posisi lain apa?” keluh Lyla.
“Kalau gue tahu kerjaan yang Eyang maksud tuh jadi kurir, mana gue mau! Gila saja kali, kalau main terima kerjaan kayak begini!” tukas Radit. Kemudian ia menghadapkan tubuh ke Lyla, menatapnya dengan penuh peringatan sembari menunjuk Lyla dengan jari telunjuk. “Lu kalau berisik terus, gue turunin beneran. Mau ikut gue kerja apa mau berisik?”
Lyla makin merengut. “Iya, gue bakalan diem!” sahut Lyla ketus seraya melipat kedua tangan di depan dada.
“Nice, jadi anak baik,” ucap Radit dengan senyum mengejek dan menepuk-nepuk puncak kepala Lyla. “Nih, baca! Kita kemana dulu?” Radit menyerahkan map merah berisi catatan paket beserta alamat lengkapnya.
Lyla berdecak kesal. Map ia buka dengan kasar. “Ke Jalan H.M. Tamrin!” ucap Lyla setelah membaca alamat dengan saksama.
Radit kembali melepas pijakan rem dan menginjak pedal gas perlahan. Lyla lebih memilih diam, tak mau ambil risiko diturunkan di jalan. Gertakan Radit sepertinya serius. Lagipula, siapa juga yang akan tahan duduk di samping wanita yang sedikit-sedikit mengeluh dan selalu menyalahkan?
***