Wanita yang mengenakan jas tidur itu duduk di kursi goyang cokelat tua. Ruang tengah lantai bawah tampak sepi. Lampu hias berharga ratusan juta rupiah tergantung di tengah ruangan, memberikan kilau temaram bila lampu utama dimatikan. Televisi layar datar dengan ukuran besar masih menyala, menampilkan acara talk show komedi yang sesekali mengguratkan senyum tipis di bibir bergincu merah menyala.
Eyang Kasih—begitu sapaan yang diagungkan seisi rumah—masih setia menunggu kepulangan cucunya. Di jemari tangan kanannya tergantung sebuah kunci yang rencananya akan ia serahkan pada sepasang pengantin—yang sengaja ia nikahkan tanpa cinta. Bukan. Bukan ia berniat kejam terhadap cucu semata wayangnya. Eyang Kasih teramat mencintai Radit. Bocah itu semenjak usia kanak-kanak sudah teramat penurut. Saking penurutnya, menjelang remaja tak pernah terdengar suara dalam menolak perceraian kedua orang tua.
Eyang Kasih masih ingat, betapa muram wajah Raditya kecil ketika sang mama lebih memilih bercerai, melepas laki-laki yang notabene seorang penggila kerja. Julia tak tahan dengan sikap abai Dipta—putra tunggal Kasih. Julia menginginkan kebebasan untuk mengembangkan karier, sementara Dipta menganggap bahwa Julia seharusnya di rumah, merawat Radit. Semua saling membesarkan ego, pertengkaran tepercik begitu saja di depan putra mereka. Hingga Eyang Kasih kerap menemukan Radit tafakur di pojok ruangan seraya menutup kedua telinga.
Radit tumbuh menjadi pemuda yang lebih suka pasrah dengan segala keputusan di rumah. Namun selebihnya, saat ia berada di luar rumah, Radit suka membuat perkara yang mencuri perhatian keluarganya. Hanya saja, mengapa harus Anita? Mengapa Radit memilih mencuri perhatian dari wanita keibuan yang berhati lembut penuh perhatian, tetapi sudah menjadi milik laki-laki lain.Tidak. Eyang Kasih sama sekali tak mengizinkan cucu tersayangnya menjadi perusak rumah tangga orang lain. Radit harus bahagia, tetapi tidak harus merebut kebahagiaan orang lain.
“Eyang, Den Radit sudah pulang,” lirih Bi Siti seraya membungkukkan badan mendekat pada Eyang yang masih duduk dengan mata terpejam.
Suara pintu ruang tamu terbuka, membuat Eyang Kasih membuka mata dan menegakkan tubuh. Ia berdeham saat Radit dan Lyla sampai di ruang tengah, menginterupsi keduanya untuk berhenti.
“Duduk,” tegasnya.
Radit dan Lyla saling berpandangan cemas. Hari ini mereka tampak lelah, entah masalah apa yang terjadi, tetapi semua sudah diatur sedemikian rupa bersama Pak Adam. Setelah dua cucunya duduk di sofa panjang, Eyang Kasih melambaikan tangan ke arah Bi Siti agar mendekat. Bi Siti duduk bersimpuh di karpet.
“Sudah kamu bereskan semua pakaian mereka?” gumamnya lirih.
Radit terperanjat, tubuhnya mendadak menegang mendengar kata bereskan. “Eyang mau usir Radit?”
“Sudah, Eyang,” sahut Bi Siti, kemudian menatap iba pada Radit.
Eyang Kasih mengangguk-angguk tanpa menanggapi keterkejutan Radit. Ia menyodorkan kunci pada cucunya. Sebelah tangan Radit terulur ragu.
“Ini kunci rumah barumu. Alamat rumah sudah Eyang kirim lewat pesan,” ungkap Eyang dengan suara serak.
Radit buru-buru membuka ponsel. Kepala Lyla ikut mendekat, membaca alamat yang tertera di layar ponsel Radit. Seketika keduanya melemas tak berdaya. Tuntutan untuk hidup mandiri menekan mereka.
***
Radit mengempaskan tubuh ke ranjang, berguling ke sana kemari hingga membuat bedcover abu-abu itu berantakan. Lyla sendiri sibuk menata sisa barangnya agar tak tertinggal. Malam ini juga mereka harus pindah.