Lyla berani bersumpah, jika dulu ia beranggapan rumah papa adalah neraka karena selalu gerah dengan pertengkaran, tetapi tidak dengan sekarang. Kaus singlet putih yang melekat pada tubuh langsing Lyla hampir terasa tak nyaman lagi. Ini kedua kalinya gadis yang tengah mengipas wajah dengan buku tipis itu berganti kaus. Dilemparnya asal ke keranjang pakaian kotor di pojok kamar, lalu kembali merebah seraya mempercepat kipasan di tangan.
“Gila, AC ke mana, sih? Masa orang kaya enggak mau beliin cucunya AC. Sial bener hidup lu, La,” gerutu Lyla sembari berguling-guling dengan kaki menendang selimut.
Tidak tahan dengan hawa panas di kamar, Lyla keluar dari ruangan yang menurutnya tak senyaman di rumah papa. Namun, langkahnya terhenti di ambang pintu saat ternyata Radit juga baru keluar dengan kaus singlet dengan peluh di pelipis dan kening.
“Ngapain lu keluar?” tanya Lyla ketus.
Radit berdecak pelan seraya melempar pandangan jengah. “Lu enggak lihat gue udah kepanasan begini?” balasnya seraya menuju jendela, membukanya lebar-lebar lalu merebah di sofa panjang ruang santai.
Lyla mencebik, sebelah tangannya memutar tombol penghidup kipas angin yang tergantung di langit-langit rumah. Ia beranjak ke dapur, membuka kulkas dan menelisik isi kulkas. Desahan putus asa menguar dari bibir tanpa lipstik itu. Tak ada apa pun di kulkas. Hanya ada beberapa blok es batu dan dua botol air mineral. Bekal makan malam pun sudah habis ia makan bersama Radit tadi sebelum beranjak ke kamar tidur masing-masing. Tidak ada pilihan lain kecuali membawa es batu beserta gelas ke ruang santai.
Lyla memelintir cetakan es batu, memasukkannya ke gelas. Dengan enggan ia menyendok sebutir es batu dan mengunyahnya pelan. Semua terasa menyedihkan. Bila biasanya ia hanya tinggal panggil asisten rumah tangga, kali ini harus serba sendiri. Bahkan tidak akan ada makanan atau camilan di kulkas seperti di rumah papa. Entah bagaimana ia harus menghadapi besok pagi. Menyiapkan sarapan? Bisakah?
***
Belakang rumah kediaman pasangan pengantin baru itu tampak ricuh dengan suara kecipak air dalam ember. Ini sudah keempat kalinya Radit membilas pakaian yang telah selesai ia sikat dan kucek bersih. Sialnya, busa detergen itu tak kunjung hilang. Radit pikir makin banyak bubuk detergen makin bersih, nyatanya tidak. Justru itu menyulitkan diri untuk membuang sisa busa yang terserap kain. Dengan geram Radit membanting pakaian ke dalam ember hingga air menciprat ke mana-mana. Sial! Andai saja Bi Siti ada di sini, wanita baik hati itu pasti mau membantunya.
Radit kembali menyalakan keran, sengaja membiarkan air itu penuh tanpa berminat menutup keran kembali. Biar saja busa sabun hilang sendiri. Seringaian bangga dengan ide konyol itu muncul.
“Aw! Yak! Ya ampun! Ya Tuhanku!” Suara racauan tak jelas dari dapur terdengar sama ricuhnya dengan suasana di area cuci pakaian di belakang rumah.
“Lu masak apa atau ngapain, sih, La?!” teriak Radit seraya berkacak pinggang. Ia menggeleng pelan. Tak ada jawaban dari istrinya membuat Radit penasaran dan beranjak ke dapur. “Astaga! Ngapain naik kursi begitu?” Radit segera mematikan kompor yang mulai berasap dengan telur setengah gosong.
“Sumpah, serem! Gue enggak berani deket-deket minyak panas,” gerutu Lyla dengan wajah memelas. Kedua mata kecokelatan itu sudah berkaca-kaca, sepertinya Lyla mulai tertekan dengan keadaan.
Radit mengembuskan napas kasar sembari mengulurkan telapak tangan. “Buruan turun,” titahnya.