“Yah, hujan,” keluh Lyla dengan muka sedikit ditekuk.
Radit hanya mengembuskan napas pelan seraya membelokkan setir ke kiri. Keduanya tengah dalam perjalanan menuju agen tempat mereka bekerja. Niat hati ingin bermalas-malasan di rumah mengingat ini hari Minggu, tetapi ternyata Pak Adam tidak berminat meliburkan mereka di hari libur sekalipun. Namun, keyakinan bahwa semua ini adalah perintah Eyang Kasih membuat mereka tak mampu menolak. Terutama Lyla, ia sama sekali tak ada keinginan mendapat semburan amarah dari wanita bergincu merah dan keriput itu.
Mobil memasuki area parkir di belakang agen. Sayangnya, lokasi parkir itu terpisah dengan bangunan kantor. Mau tak mau dua manusia itu—yang hanya memandangi derasnya hujan dari dalam mobil—harus menerobos hujan deras. Lyla berdeham, memecah keheningan seraya memasang tas punggung.
“Lu mau di sini terus sampai kapan, Dit?” Lyla berdecak sembari menepuk sedikit keras sebelah bahu Radit.
Si pemilik bahu hanya menoleh sebentar lalu kembali bersandar malas ke sandaran kursi mobil. “Elu sendiri aja, gue males basah,” gumamnya.
“Lebih males lagi kalau gue harus ngadepin eyang lu yang pakai gincu merah tiap hari,” ucap Lyla seraya bergidik ngeri.
Radit mencekal bahu Lyla saat wanita itu sudah membuka pintu mobil. Ada seribu keheranan yang selalu membuat Radit bertanya-tanya akan suatu hal. “Lu kenapa, sih, kayak takut amat sama eyang gue?”
Lyla terdiam sejenak, lehernya terlihat menelan ludah. Namun, ia hanya mengedik dan menyingkirkan tangan Radit dari bahunya. Ia hampir keluar dari mobil saat Radit mencegahnya lagi dengan meraih lengan Lyla.
“Ish, bentar gue teleponin Agus buat nganterin payung,” usul Radit.
“Ya sudah, buruan,” pungkas Lyla seraya kembali merebahkan punggung ke kursi.
Baru akan menekan tombol hijau di layar ponsel, laki-laki berdarah Jawa itu tampak berlarian membawa payung dan sebuah payung yang telah ia rentangkan unuk dirinya mencapai tempat parkir.
“Elu baca pikiran gue ya, Gus?” tanya Radit sambil membuka pintu mobil seraya menerima rentangan payung dari Agus.
“Payung buat gue mana, Gus?” tanya Lyla setengah berteriak dari dalam mobil mengingat hujan di luar terlampau deras.
Agus hanya menggaruk kepala bingung. Kedua matanya menatap Radit, berusaha memberi isyarat agar suami Lyla itu mau berbagi payung mengingat ukuran payung Agus jauh lebih kecil dari payung yang dipegang Radit.
Radit mengerjap sebentar. “Oh … oke,” ucapnya pelan. Sementara Agus berlalu, laki-laki berjaket hitam itu berjalan mengitari mobil dan membukakan pintu untuk Lyla.
Namun, keduanya hanya bergeming, tak ada yang memulai untuk mengajak segera berjalan, membuat Lyla jadi kikuk dan bingung mau bagaimana. Hingga akhirnya Radit mengalah untuk memulai, meletakkan sebelah lengannya ke bahu Lyla dan merangkulnya lebih dekat.
Jika banyak orang yang mengatakan bahwa hujan akan membawa suasana romantis saat bersama pasangan, Lyla akan mengakui itu sekarang. Entah kenapa ada dalam rangkulan orang berparfum maskulin ini membuat Lyla sedikit salah tingkah, jantung berdebar, dan mendadak tubuhnya kaku karena canggung.
***
Kursi goyang berwarna cokelat tua itu tampak bergerak ke depan lalu ke belakang. Wanita dengan kacamata yang bertengger di pangkal hidung terlihat tenang dengan koran di pangkuan. Bi Siti baru saja selesai menyiapkan secangkir teh dan kue di meja kecil untuknya. Saat ponsel di sofa berdering nyaring, Bi Siti tergopoh meraihnya lalu menyerahkan pada Eyang Kasih.
Eyang Kasih berdeham dan mengibaskan tangan kanan, meminta Bi Siti kembali ke dapur. Telepon baru diangkat setelah wanita yang mengenakan kebaya dan kain jarik itu keluar dari kamar pribadinya.
“Bagaimana, Adam?”