"Gue pengen bebas," lirihku sesaat kulihat burung bertebrangan di angkasa.
"Galau mulu dah," sindir Resa. Ia adalah sahabat kecilku. Ia bahkan sangat mengenal diriku melebihi orang tuaku. Kami saling mengenal sejak duduk di bangku SD sampai SMA. Ya walaupun SD_SMP tidak sekolah bareng tapi kami tetap terus bertemu satu sama lain hanya untuk bermain dan sekedar curhat-curhatan. Kami tinggal di kompleks yang sama jadi tidak heran kalau kami sering bertemu dan inilah yang menjadi tempat nongkrong kami setelah pulang sekolah.
"Balik yuk! udah sore," ajak Resa bangkit dari duduknya setelah bergutat lama dengan Ig_nya.
Aku menatap sekali lagi melihat laut lepas yang berada di hadapanku yang begitu tenang dan damai hingga berjalan menuju motor Resa yang terparkir dekat pohon yang aku tidak tau itu pohon apa sampai sekarang.
"Cepatan! lelet banget sih!" semprotnya membuatku hanya bisa memanyunkan bibir dan duduk di belakangnya setelah ia memutar motor.
"Enggak mau pulang." Aku mulai bersikap manja sambil memandang kaca spion yang menampakan wajahnya yang menutupi helm.
"Lo tinggal disini, gue mau pulang!" ancamnya hingga membuatku langsung memeluknya erat dan ia tau kalau aku tidak benar-benar dengan ucapanku. Resa langsung menancapkan gas keluar dari area pantai.
Perjalanan memakan waktu 15 menit sampai di rumahku. Resa sempat klakson sebagai pamit untuk pergi dan aku hanya melambaikan tangan hingga ia menghilang di persimpangan kompleks. Aku masuk ke dalam rumah yang tampak sepi seperti biasa tapi suara mama sempat mengagetkanku."Kamu pulang dengan siapa?" tanyanya mulai mengintrogasi. Namun, aku malah mengabaikanya dan sibuk membuka sepatu sekolahku. Bukan bermaksud tidak sopan kepada orang tua hanya saja pertanyaan itu terus membuatku jenuh.
"Kalau orang tua tanya itu di jawab!" bentak Mama yang sedang duduk di sofa ruang tamu dengan mata terus tertuju kepadaku.
Aku sempat mengembuskan napas pelan sambil membuka sepatu lalu beralih menatap Mama dengan pandangan lelah agar ia mengerti dengan keadaanku sekarang.
"Jawab!" tudingnya dan itu pun tidak berpengaruh padanya.
"Resa," jawabku seadanya sambil melenggang pergi naik ke lantai atas tepatnya kamarku berada.
Mama mengikutiku hingga suaranya membuatku sempat menghentikan langkahku yang sedang menaiki tangga. "Mama enggak mau tau. Mulai besok kamu harus pulang bareng Azzam!" tandasnya yang mungkin sudah ribuan kali setiap aku pulang bareng Resa.
"Ra. masuk dalam kamarmu," potong suara perempuan dari arah samping membuatku mau tak mau menoleh ke sumber suara.
"Kak kasih!" pekikku saking senangnya sambil menghampirinya untuku peluk diapun juga sama membalasnya.
Wajar kalau aku senang karna kami dipertemukan kembali setelah dia ikut bersama suaminya.
"Masuk gih. Nanti kakak nyusul," ujarnya setelah melonggarkan pelukanya. Akupun hanya menggangguk mengiyakan dan masuk dalam kamar. Tepat setelah pintu kamar kututup, Samar-samar aku mendengar perdebatan mereka dan aku tau itu pasti karna diriku.
Aku duduk di meja belajar sambil terus memandang kosong, aku sempat berpikir bisakah aku menentukan apa yang kumau?
Jujur aku merasa tersiksa setelah apa yang kualami sampai sekarang. Di mana Mama terus menyuruhku pulang bareng dengan Azzam. Anak dari mitra bisnis keluargaku, Mama ingin aku dekat denganya karna bisnis keluarganya sedang naik daun.
Aku kenal Azzam. Ia satu kelas denganku di jurusan IPS. Saat itu aku tidak terlalu mengenalinya karna dia anaknya pendiam tapi saat ada pertemuan bisnis dengan keluarganya di sanalah kami saling mengenal hingga Mama menyuruhnya untuk mengantar_jemput aku saat sekolah dan bikin jengkelnya dia hanya menurut saja tanpa protes.
Di sekolah setelah bel berbunyi dia sempat mengirimku pesan 'balik' tapi aku malah pulang bareng Resa teman satu kelasku sekalian sehabatku.
Aku mulai mengenalnya selain irit bicara ia juga irit dalam mengirim pesan, dan itu bagus untukku karna aku tidak perlu repot-repot sekedar berbasa-basi_ toh dia tidak memulai. Resa tau semua tentangku dengan dia. Tanpa persetujuan dariku, dia sendiri malah yang minta izin sama Azzam untuk mengantarku pulang.
Dan berakhir pada masalah yang sama dan itu membuatku benar-benar muak, dari dulu sampai sekarang hal apapun yang kulakukan harus ditentukan oleh Mama dan aku hanya bisa menurut tanpa bisa membanta.
Aku ingin tau apa saja yang membuatmu menurut selain diam?
*
"Ra. Bangun," ucap kak kasih sambil membelai rambutku dengan lembut, aku menggeliat berusaha merenggangkan badanku yang terasa kaku.
Aku membuka mata berusaha menyadarkan diriku, dan aku barusan sadar sedari tadi aku ketiduran di atas meja belajar jadi tidak heran kalau badanku terasa sakit semua.
"Maaf ya kakak lama," sambungnya dan aku hanya membalas senyum sambil memeluknya.
"Rindu," bisikku
"Dasar! enggak pernah berubah," decaknya sambil mengacak rambutku dan itu membuatku semakin mempererat pelukanku.
"Kamu enggak lupa kan hari peringatan kematian omah?" Dia bertanya dengan volume suara yang sangat pelan.
Aku sempat mendongak melihat dirinya dengan mata berkaca-kaca, di sana bahkan terlihat siratan kesedihan yang mendalam.
"Aku akan bersiap-siap," ucapku sambil melepaskan pelukan dan bangkit untuk pergi.
"Kakak akan tunggu dibawah," ucapnya lalu pergi.
Aku sempat terdiam diambang pintu kamar mandi sambil mengenang kisah lama kakak bersama omah. Di mana semuanya tampak baik-baik saja tanpa perlu terikat dengan aturan yang mama buat.
Dulu omah masih ada, bahkan masih terlihat sehat. Omah menyayangiku dan kakak bahkan sangat memanjakan kami berdua, dia juga yang merawat kami dari kecil karna mama dan papa sibuk dengan pekerjaanya, mama masih sempat menyempatkan waktu untuk mengunjungi kami tapi tidak dengan papa ia bahkan jarang ke rumah kalaupun ia datang yaitu hanya untuk berkelahi dengan mama dan aku sering menyaksikannya.
Namun setelah kepergian opah, omah jadi menjadi pendiam dan murung, hingga akhirnya ia dinyatakan hilang di rumahnya sendiri, tidak ada kasus yang menyatakan kalau ia diculik atau adanya motif pembunuhan, semuanya bersih bahkan ada yang mengatakan kalau ia terasa seperti tidak pernah ada di muka bumi ini.