The when time is not eternal

Nicanser
Chapter #6

Mereka menghilang

Aku menatap sumur itu begitu lama setelah kami banyak berburu mencari bayaran. Haruskah aku melakukannya lagi? Entah kenapa perasaanku tidak enak, aku takut akan terjabak di masa lalu seseorang seperti yang kulakukan kemarin.

"Tidak akan terjadi apa-apa, yang terpenting tujuan lu bener, dalam hati niat lu harus mantap mau nolong bayi itu," tutur Bastian berusaha menyemangatiku.

Aku meliriknya sebentar lalu menatap Aron yang tampak bosan melihat kelakuan kami berdua.

"Capatlah! Kalian pikir saya hanya ngurus kalian berdua saja?! Pekerjaan saya banyak!" semburnya gerang.

"Oi! Lukan pemimpin City World ini, harusnya lu enak-enak aja!" protesku.

"Dahlah, ayo kita berangkat." Bastian melerai karena dia tahu kami tidak akan pernah berhenti berdebat. Sedangkan  Aku hanya mengangguk pasrah lalu ikut terjun saat Bastian sudah lebih dulu mendahuluiku.

Dan gelap.

Hanya itu kata yang terbesit dipikiranku saat badanku menyentuh dinginnya angin yang mengelilingiku.

Tiba-tiba air mataku menetes aku menangis dengan kebisuan. Dengan keadaan yang sulit kupahami. Beberapa orang berpakain seragam berada di kedua sisiku yang sedang terbaring dan mama entah kenapa berada di sana dengan wajah sudah menua. Wanita itu menangis sejadi-jadinya sambil memegang tanganku. Ia terisak sambil meyemangatiku dengan badan yang tidak kukenali ini.

Aku menatap sekeliling dan baru menyadari aku sekarang berada diruang operasi.

Tunggu. Siapa yang sakit?

Aku ingin mengucapkan sesuatu tapi mulutku sendiri bahkan tidak bisa berucap dan hanya terdengar seperti rintihan yang kesakitan. Napasku memburu dengan keringat yang terus membasahi wajahku.

Mama terdiam sebentar lalu berteriak histeris sambil menggoncangkan badanku.

TING'

Suara yang kukenali berbunyi pertanda  waktu habis, aku menutup sebentar mataku hingga tepukan pelan dipipiku menyadarkanku.

"Lu ga papa?" tanya Bastian dan menarikku untuk dipeluknya. Badannya naik turun dan aku baru menyadari saat ada sesuatu yang basah dibahuku.

Apa dia sedang menangis?

Aku beralih melirik Aron yang tampak pucat, ia memandangku tanpa kedip dengan aliran napasnya yang memburu.

"Ada apa?" tanyaku heran.

"Pikiranmu sebenarnya berkelana kemana? Kau hampir membuat kami jantungan!" semprot Aron lalu beranjak pergi begitu saja.

"Gue?" tunjukku pada diri sendiri, jujur aku bingung mendengarnya.

***

Setelah kejadian kemarin Aron dan Bastian tidak lagi mendatangiku. Dengan alasan untuk meliburkanku. Sungguh alasan yang tidak masuk akal, aku bahkan tidak berkerja untuknya.

Aku melakukuan hari-hariku seperti biasa dan mulai kembali normal, Bastian memenuhi janjinya untuk membuat Resa tutup mulut, tapi yang terlihat ia seperti lupa akan segalanya.

"RA?!" tegur Resa mengagetkanku. Aku beralih melihatnya dengan senyum yang sangat dipaksakan.

"Lo sakit? Muke lu pucat." Aku menghela napas pelan sambil menunduk pasrah.

"Sa .... " Sapaku pelan membuat gadis itu berdehem sebagai jawaban.

"Ga tau kenapa gue pengen nangis." Resa yang mendengar rintihanku hanya bisa mengelus pundakku pelan.

"Cerita Ra jangan pendem sendiri."

Bening kristal perlahan menjatuhi kedua pipiku, aku menatap gadis itu sambil memeluknya erat.

"Mama Sa .... "

"Mama lu kenapa?"

"Mama nangis Sa ... "

"Karna papa lu lagi? Bokap lu emang udah pulang?"

"Mama nangis bukan karna papa .... "

"Trus?"

"Tapi karna gue Sa ... gue buat Mama nangis ... "

Resa mendengar hal itu langsung terdiam mematung.

"Gue ga paham arah pembicaraan lu, coba jelasin kenapa Mama lu bisa nangis?"

Nah itulah yang selalu menajadi permasalahan di kepalaku, kenapa hal sederhana itu tidak bisa kuceritakan padanya, dia selalu berada di sisiku, dia orang pertama yang membuatku tenang tapi aku menghilangkan kepercayaannya hanya karna aku punya rahasia yang tidak bisa kubagi.

Apa aku pantas disebut sahabat?

Aku menangis sejadi-jadinya, aku ingin berteriak dan mengatakan aku muak dengan dunia, aku muak dengan nasibku, aku muak dengan takdirku.

Lihat selengkapnya