Merasa diabaikan langsung saja aku mengikuti lelaki itu hingga sampai di kelasnya. Aku sempat mengebrak meja sambil mentap tajam kepadanya yang tampak terlihat biasa saja.
"Woy Orion!"
"He! Napa lu? kesambet?" Seorang lelaki yang tak kukenal datang dan langusng menarikku mundur.
"Lu tuh kesambet!"
"Hee, gila nih anak dah," sindir lelaki itu membuat emosiku mulai memuncak.
"Gue ga punya urusan sama lo, kenapa lu yang sewot sih!"
"Wajar gue sewot, datang kekelas senior bercak-bercak gak jelas, trus salah nyembut nama lagi, bukanya udah jelas lu udah gila?"
"Ha?" Aku sempat terdiam lalu baru memperhatikan ruangan kelas 12.
"Yah karna gue punya urusan sama Orion." Aku masih bersikukuh membut lelaki itu tertawa dengan raut wajah sebaliknya.
"Dia Aron, bukan Orion!" Jelasnya tepat di wajahku hingga membuatku terhuyung kebelakang.
"Ra. Ayo balik!" Suara tak asing yang berasal dari pintu keluar membuat seisi ruangan jadi terfokus kepadanya.
Aku sempat terdiam dan membuat lelaki itu masuk dan menarikku keluar.
"Apasih Zam! Gue lagi ada urusan!" bantaku sambil menghempas tangannya dengan kasar.
"Resa nyariin lo!"
"Iya nanti setelah urusan gue dah selesai." Jelasku.
"Nurut plis!" Mohon Azzam sambil menarik tanganku dengan kasar.
Aku meronta berusaha melepaskan tanganya, sambil menahan di pintu dengan tangan satuku.
"Orion plis, ngomong bentar sama gue!"
"Udah di bilangin nama dia Aron bukan Orion!" Teman Aron terus meralat ucapanku, dan baru kusadari nama lelaki itu memang Aron bukan Orion. Mungkin karna lama sakit aku jadi melupakan namanya.
"Okeh, Aron plis!"
"Lepasin," ujar Aron akhirnya, dia yang masih terduduk di bangku beralih berdiri membuat Azzam sempat terdiam lalu menatap tajam kepadanya.
"Gue mau ngomong sama dia," jelas Aron membuat Azzam melepaskan tanganku dan berlalu pergi.
Aku sempat memegang tanganku yang kesakitan sambil terus memandangi punggung Azzam yang perlahan menjauh.
"Ayo ikut gue!" Aron berjalan begitu saja keluar kelas meninggalkanku, aku hanya bisa mengekorinya sambil terus berusaha menyamakan langkah besarnya.
Aku hanya menurut tanpa tau arah tujuan kami berjalan hingga sampai di UKS membuatku sempat tersadar.
"Duduk," titahnya akupun menurut dan dia beralih mengambil es batu yang berada diĀ kulkas dan membungkusnya di kain lalu meletakan di pergelanagn tanganku yang sedikit membiru.
"Adu sakit," rintihku.
"Makanya jadi orang jangan bego!" maki Aron melihatku kesakitan.
"Ya habisnya lu sih, sok kaya orang penting banget. Yah gue tau lu pemilik City World tapi seegaknya kan lu sekarang bukan berada didunia lo lagi, jadi jangan seenaknya!"
"Lu ngomong apasih, pantes aja Rifki bilang lu gila! Dari tadi ngigau mulu gak jelas!"
Aku akhirnya tahu si pemilik nama laki-laki yang menghalauku tadi.
"Lu tuh yang gila! tiba-tiba ngilang! Lu pikir gue enggak tersiksa lu buat kayak gitu! Gue butuh alasan men!"
Aron sempat terdiam lalu memegang jidatku.
"Gue ga sakit!" Aku menghempasakan tangannya dengan kasar.
"Pacar lu ya, Ron?" Sahut lelaki yang dipanggil nama Rifki sebagai teman Aron datang memasuki UKS.
Aku membulatkan mataku tidak percaya dan tanpa sadar kami serempak bicara, "Enggak!"
"Enggak? Berarti iya, oke gue paham. Maaf menganggu." Rifki pergi sambil menutup pintu uks.
"Gini deh, lu sebenarnya ada urusan apa sama gue?" Aron mulai mengintrogasi setelah benar-benar melihat Rifki pergi.
"Lu kenapa sih? Apa karna lu lagi di mode sembunyi?" Aku langsung memelanku suaraku.
"Enggak usah aneh-aneh, lah!"
"Lu juga aneh, kan?"