Aku turun dari sepeda motor Aron, dia tersenyum dan melanjutkan perjalanannya.
Aku tidak tau kenapa sehari ini di sekolah dia dapat membuatku tersenyum tanpa henti.
Setelah adegan perminta maaf dari teman-teman Aron, dia malah mengajakku nokrong bareng teman-temanya.
Aku terdiam sejenak memandang punggung belakang Aron dari jauh, dia ternyata lebih menyenangkan dari yang kukira.
Aku berbalik memasuki rumah tapi langkahku terhenti saat menatap mata tajam yang sangat kukenali.
"Kenapa enggak pulang bareng Azzam?"
"Rara enggak mau lagi ma," ucapku mampu membuat Mama membulatkan matanya dengan tatapan tidak percaya.
"Kamu jangan ngikut jejak kakak kamu ya Ra!"
"Ma ..." ucapku pelan. "Sampai kapan Rara ngikut permintaan mama? Rara juga punya jalan sendiri."
"Kamu gini pasti karna anak lelaki tadi, kan? Besok mama akan pindahin kamu! Titik." Mama langsung berbalik pergi.
Kepalaku langsung cenat-cenut di buatnya, kayaknya memang seperti ini takdirku.
***
Setelah membersihkan diri aku langsung berbaring sambil memandang jam itu, kenapa aku sering lupa mengembalikannya.
Suara ketukan membuat perhatianku teralihkan, Kak Kasih masuk begitu saja dalam kamarku dan langsung duduk di sampingku mengelus rambutku dengan pelan.
"Kakak tadi denger percakapan kamu dan mama," lirihnya pelan.
"Rara enggak mau berakhir kayak kakak."
"Dulu kakak juga kayak kamu. Enggak mau, tapi akhirnya kakak dengan Mas Adri juga saling suka."
Senang mendengarnya tapi kenyataannya aku di masa depan tidak berakhir manis seperti kisah kak Kasih.
"Rara beda dengan kak Kasih," jawabku berusaha membela.
Kak Kasih terdiam sejanak lalu mengembuskan napas pelan. "Tau enggak tadi kakak dengan Mama pergi ke rumah omah trus Mama dikatain, dia sedih. Kakak harap kamu bisa. Seegaknya ... nyenangin Mama, dia dari dulu udah lama menderita."
"Jadi maksud kakak nyenangin Mama dengan cara Rara nerima perjodohan itu?"
"Kamu peka banget, Ra," sanjung kak Kasih berusaha mencairkan ketegangan yang kubuat.
"Rara bisa nyenagin Mama dengan cara Rara sendiri," ucapku tegas lalu menyelimuti seluruh badanku dengan selimut.
Hening tidak ada sahutan yang diberikan kak Kasih hanya terdengar langkah kaki yang perlahan menjauh dan pintu yang ditutup.
Dari balik selimut aku menangis, kenapa sulit sekali mengahadapi kenyataan hidup ini.
Aku bangun duduk sambil menghapus air mataku lalu menatap jam itu, kayaknya aku harus bertemu Orion.
Aku mulai memegang jam itu erat dan mulai membayangkan arah tujuanku yaitu tempat Orion sambil menuju pintu kamar mandi sebagai penghubung jalanku.
Saat membuka pintu yang terlihat bangunan yang serba canggih, trus ada benda-banda yang terbang seperti pesawat. Aku tidak tahu itu benda apa tapi itu terlihat sangat keren apalagi ada yang berdiri di atasnya.
Saat aku masuk alaram berbunyi membuat orang yang berlalu lalang menggunakan benda canggih itu terdiam dan mulai mendekatiku hingga membuatku terkepung.
"Kau dari abad ke berapa?" tanya seorang lelaki saat turun dari benda canggih itu.
"Em enggak tau, tapi tujuan gue datang kemari cuman mau bertemu Orion," jelasku.
"Maaf. Tidak ada yang bernama Orion di sini."
"Dia temanku, dia berasal dari masa depan, dia memberikanku jam waktu ini." Aku langsung memperlihatkan jam waktu itu kepada lelaki asing yang berada di hadapanku.
Lelaki itu mengambilnya sambil melihatnya dengan seksama.
"Ada lagi pemberian darinya?"
"Tidak ada, hanya ..." Aku menunjukan perjanjian tato yang terukir di pergelangan tanganku yang sampai sekarang belum hilang.
Lelaki itu terkejut, tiba-tiba seorang wanita menghampiriku sambil menarik tanganku untuk melihat jelas tato itu." Ini pasti pekerjaan Gunuine!" Wanita itu terlihat murka.
"Oh bukan, tapi Orion. Dan yang dari kalian ucapkan Orion pernah menyebutnya sebagai dokter Gunuine," jelasku.
Wanita dan lelaki itu langsung saling berhadapan. "Berarti dia mengirim para X-nya," sahut wanita itu.
"Em, boleh gue bertemu Orion?" tanyaku membuat wanita itu langsung mengangguk pelan.
Semua orang yang berkumpul tadi, kini mulai kembali menjalani aktivitasnya begitu pun dengan lelaki itu.
"Ikuti saya," titah wanita itu, aku pun hanya mengokor di belakangnya hingga sampai di ruangan yang sangat luas. Dengan dihiasi beberapa manusia yang sedang tertidur dalam keadaan berdiri dan berada di sebuah lemari kaca.
Saat mataku menatap sekaliling aku langsung melihat wajah yang tidak asing berada dikumpulan manusia itu siapa lagi kalau bukan Orion.
Aku menghampirinya. "Orion kenapa dia? Kenapa dia dikurung?" Aku bertanya kepada wanita itu dengan air mataku yang hampir menetes.
"Dia tidak di kurung tapi disimpan."
"Ha? Kok simpannya di sini? Maksudnya apa?"
"Dia adalah robot. Ciptaan dari Gunuine," ungkap wanita itu membuatku jatuh terduduk di lantai.
"Tidak mungkin," lirihku.
"Dan namanya bukan Orion. Tapi X20."