Aku memasuki kamar Aron, dia terlihat seperti robot yang kujumpai di masa depan, haha memang iya kan?
Di sana terlihat semua teman-temanya yang sedang menjenguk dan Aron hanya tertidur dengan alat bantu di kedua sisinya.
Kondisnya bahkan sangat parah jadi ini lah yang di maksud Dokter Gunuini waktu itu.
Setelah kepulanganku di rumah sakit semua orang berkumpul merayakannya bukan lebih tepatnya merayakan kedatangan omah.
Saudara papa tidak cekcok lagi masalah warisan. Mama, dan saudara Papa juga sudah membaik, aku lega, rasanya beban di hatiku terasa plong tapi masih ada yang janggal yaitu sosok terbaring lemah di sana, siapa lagi kalau bukan Aron. Lelaki yang datang seenaknya, mengumbar kata benci seenaknya dan pergi tanpa pamit seenaknya.
Dia yang membuatku sadar banyak hal-hal yang sering kuabaikan.
"Masuk Ra," ucap Renata dengan hidung merahnya karna terlalu banyak menangis.
Aku masuk dan disambut pelukan dari mereka semua sambil menangis tersedu-sedu mengucapkan permintaan maaf padaku, aku menoleh menatap kaget Resa dia sama terkejutnya denganku lalu tersenyum sambil mengangguk seolah-seolah mengatakan 'mereka tulus mengatakan itu'. Aku tahu itu adalah perbuatannya sampai Renata berubah180°, entah dengan cara apa.
Dari pertemuan yang mengharukan, beberapa bulan setelahnya mereka lulus SMA semua tampak gembira dengan nilai yang memuskan, Azzam meresmikan hubungannya dengan Resa tapi itu sempat dicegat oleh ayahnya karna masih membuat perjanjian dengan keluarga Abraham yaitu Papaku.
Aku juga melaksanakan penolakan perjodohan itu, Papa dan Mama sempat marah tapi Omah membujuknya dengan halus dan kata-kata mutiara yang sempat membuat kami hanyut. Pada akhirnya mereka juga menerimanya.
***
Aron. Yah dia tidak mengikuti ujian akhir dan sekarang berstatus masih kelas tiga dan aku sebagai adik kelasnya.
Dia masih ingin tidur dan tidak ingin bangun, aku sering pergi menjenguknya setelah pulang sekolah, Mama juga sudah tidak melarang karena tau Aron lah yang menyelamatkan hidupku. Dia betah membuat orang khawatir dan menangis, sepeti Ayah dan Ibunya.
Dia anak tunggal dan paling di sayang, dia anak yang selalu dibanggakan, dia pintar dan cerdas, banyak yang menyukainya banyak yang mencintainya tapi kini perlahan menghilang di telan waktu yang terus berjalan. Namanya mulai pudar saat masa depan membawa mereka keimpian masing-masing.
Aku yang terus berada di sampingnya mulai mengetahui kehidupannya dari Ibunya yang sering kutemui setiap hari.
Ibu Aron sudah tua begitu pun dengan ayahnya, aku tidak tau kapan Aron akan sadar tapi aku harap dia masih bisa melihat kedua orang tuanya di sisa umurnya yang hampir habis.
Waktu terus berjalan. Hari, bulan, dan tahun mulai berganti, semua yang berada di dekatnya perlahan menghilang hingga menyisakkan aku sebagai wali terakhirnya.
Aku sudah lulus SMA, sudah wisuda, bekerja, dan berakhir sebagai ahli waris dari perusahaan Papa, tapi Aron belum juga sadar.
Aku sadar seharusnya aku tidak perlu bermain-main dengan waktu, aku tidak perlu membuat Aron masih setia dengan tidurnya. Aku sadar penantian bangunnya Aron mulai pupus, aku mulai lelah mengharap dia sadar bahwa aku masih setia menunggu dia bangun.
Suara ketukan pintu membuatku menoleh menampakan tiga orang yang berdiri di depan pintu. "Hai Ra," sapa Azzam sambil menghampiriku diikuti dengan Resa yang menggendong bayi laki-laki.
"Ayo sapa tante Rara," ucap Resa kepada bayi kecil itu sambil memegang tangan mungilnya dan melambaikannya padaku.
"Halo Ian, apa kabar?" Aku menggenggam tangannya sambil mencubit pipinya dengan gemas.
"Tau dari mana namanya Ian?" Azzam menatapku heran.
"Iya Ra, padahal gue belum cerita sama lu," timpal Resa.
"Dari Aron," jawabku jujur membuat mereka saling melirik satu sama lain sejenak.