Situasi psikoterapi saat ini ditandai dengan kebangkitan psikiatri eksistensialis. Masuknya eksistensialisme ke psikiatri memang jadi tren dominan saat ini. Namun, kita perlu sadar bahwa ada banyak macam pemikiran eksistensialisme, serta ada banyak juga jenis pemikir eksistensialis. Tak hanya itu, setiap pemikir eksistensialis membentuk filsafat menurut versinya sendiri-sendiri, masing-masing menggunakan istilah dengan cara berbeda dengan para pemikir lainnya. Contohnya, istilah-istilah seperti eksistensi maupun dasein atau mengada (being there) memiliki berbagai makna yang saling bergeser satu dengan lainnya dibandingkan dengan apa yang dituliskan oleh Jaspers dan Heidegger.
Meskipun demikian, setiap penulis di bidang psikiatri eksistensial punya benang merah, yaitu penanda yang sama. “Berada di dunia” (“being in the world”) merupakan frasa yang begitu sering digunakan, termasuk disalahgunakan juga, oleh berbagai penulis. Hal ini bisa menimbulkan kesan bahwa untuk dapat menahbiskan diri menjadi eksistensialis sejati dengan kredensial memadai, maka gunakanlah frasa “berada di dunia” terus-menerus. Bagi saya, cara pikir seperti ini sungguhlah sesat, contohnya kasus-kasus konsep Heidegger tentang berada di dunia. Dalam banyak kesempatan, konsep tersebut dimaknai keliru menjadi lebih ke subjektivisme. Pemahaman keliru tersebut seolah-olah “dunia” di mana manusia bertempat tak lebih dari ekspresi diri tentang diri mereka sendiri. Saya terus mengkritik pemahaman keliru yang menyebar luas ini, kebetulan saya berkesempatan melangsungkan percakapan dengan Martin Heidegger dan menyimpulkan bahwa ia sepakat dengan saya.
Kesalahpahaman seputar eksistensialisme ini bisa dipahami dengan mudah. Istilah ini terkadang terasa begitu kabur. Sejak tiga puluh tahun yang lalu, saya memberikan kuliah umum tentang psikiatri dan eksistensialisme di Wina. Kepada para hadirin, saya menyajikan dua kutipan dan menyebut bahwa salah satunya dipetik dari tulisan Heidegger, satu lagi merupakan bagian dari percakapan saya dengan seorang pasien skizofrenik yang dirawat di rumah sakit umum di Wina pada saat saya bekerja di sana sebagai staf. Saya meminta hadirin memilih—mana kutipan Heidegger, mana kutipan si pasien. Percaya atau tidak, sebagian besar dari mereka keliru. Sekalipun demikian, kita sebaiknya tidak buru-buru menyimpulkan eksperimen ini. Hal ini tidak berarti bahwa Heidegger bukan pemikir yang hebat. Kenyataan ini menunjukkan adanya keterbatasan bahasa dalam mengungkapkan pemikiran dan perasaan yang asing—baik itu gagasan revolusioner seorang filsuf besar, atau perasaan ganjil yang dialami oleh seseorang penyandang skizofrenia. Mereka disatukan oleh krisis ekspresi, di mana hal serupa juga terjadi pada seniman modern (lihat buku saya, Psychotherapy and Existentialism, Selected Papers on Logotherapy, Washington Square Press, New York, 1967, Bab “Psikoterapi, Seni, dan Agama”).
Sementara itu, posisi metode yang saya sebut sebagai logoterapi, yang menjadi tema buku ini, sebagian besar penulis sepakat bahwa metode ini berada di bawah kategori psikiatri eksistensial. Sebetulnya di awal 30-an, saya menggunakan kata Existenzanalyse sebagai nama alternatif logoterapi, yang saya munculkan pada periode 20-an. Ketika para penulis Amerika mulai menghasilkan publikasi di bidang logoterapi, mereka memperkenalkan istilah “analisis eksistensial” sebagai alih bahasa Existenzanalyse. Sayangnya, penulis lain menggunakan istilah yang sama dengan kata Daseinanalyse—istilah oleh almarhum Ludwig Binswanger, psikiater asal Swiss pada kurun waktu tahun 40-an, untuk menjelaskan pemikirannya. Sejak itu, analisis eksistensial menjadi kata yang agak ambigu. Agar tidak menambah kebingungan terkait perkara yang satu ini, saya memutuskan untuk menahan diri dengan tidak menggunakan istilah analisis eksistensial dalam publikasi-publikasi saya berbahasa Inggris. Terkadang saya menyebut logoterapi sekalipun dalam konteks pembicaraan sama sekali tidak ada terapi yang digunakan. Logoterapi memainkan peran dalam pendekatan medis khususnya pada kasus-kasus di mana terapi yang lazim tidak dimungkinkan karena penyakit yang dihadapi tak lagi dapat disembuhkan. Dalam banyak hal, logoterapi sejatinya memang sebuah terapi—terapi yang diarahkan bukan untuk menyembuhkan tetapi justru untuk mengubah sikap manusia terhadap takdir yang tak dapat diubah.
Logoterapi tidak lagi sebatas diserap di bawah psikiatri eksistensial, tetapi disebut-sebut sebagai pendekatan satu-satunya yang berhasil untuk berkembang menjadi sebuah teknik. Tetapi, bukan berarti kami sebagai logoterapis terlalu mementingkan teknik. Kita semua telah lama menyadari bahwa yang penting di dalam terapi bukanlah teknik, tetapi lebih kepada relasi antarmanusia antara dokter dan pasien, atau per jumlah personal dan eksistensial.
Pendekatan yang murni teknis terhadap psikoterapi dapat menghambat dampak terapeutiknya. Beberapa waktu lalu saya pernah diundang untuk memberikan kuliah di sebuah universitas dari Amerika Serikat di hadapan tim psikiater yang ditugaskan untuk menangani para pengungsi yang dievakuasi setelah bencana topan badai. Saya tak hanya menerima undangan tersebut, bahkan saya pun memberi judul paparan saya menjadi “Teknik dan Dinamika dalam Bertahan Hidup”, judul yang tentu saja membuat sponsor kuliah tamu saya menjadi senang. Tetapi, ketika saya memulai kuliah tamu, saya terang-terangan menyampaikan bahwa apabila kita memaknai tugas sebatas pada teknik dan dinamika, maka kita gagal mendapatkan inti sari dari semua ini—dan kita justru gagal menjangkau mereka yang ingin kita berikan pertolongan pertama secara psikologis. Mendekati manusia semata-mata berdasarkan teknik yang cocok menyiratkan kita memanipulasi mereka, dan mendekati mereka semata-mata dari kacamata dinamika seolah-olah kita menjadikan manusia sebagai objek. Orang lain dengan cepat merasa apabila kita menggunakan pendekatan manipulatif dan menempatkan kita sebagai objek. Menurut saya, memberlakukan manusia lain sebagai objek merupakan dosa awal psikoterapi. Manusia bukanlah barang—inilah saripati dari eksistensialisme.
Pada saat memberi kuliah tamu lain, saya diminta menyampaikan pemikiran kepada para penghuni penjara San Quentin, saya merasa bahwa saat itulah mereka pertama kali merasa dimengerti. Yang saya lakukan sama sekali tidak istimewa. Saya sebatas menempatkan mereka sebagai manusia biasa, bukan sebagai mesin untuk diperbaiki. Saya melihat mereka dengan cara yang sama seperti mereka memaknai diri mereka sendiri, sebagai individu yang bebas dan bertanggung jawab. Saya tidak menawarkan jalan keluar murah meriah dari rasa bersalah dengan menempatkan mereka sebagai korban dari proses pengondisian biologis, psikologis, maupun sosiologis. Saya juga tidak mendudukkan mereka sebagai pion yang tak berdaya di tengah medan pertempuran antara id, ego, dan superego. Saya tidak menawarkan alibi untuk mereka. Mereka tetap merasakan rasa bersalah tersebut. Saya tidak memberi penjelasan pada mereka. Saya melihat mereka sebagai rekan yang setara. Mereka memahami bahwa wajar apabila manusia merasa bersalah—dan mengatasi rasa bersalah merupakan tanggung jawab kita sebagai manusia.
Apa yang saya lakukan saat berbicara dengan para tahanan di San Quentin? Tak lain dan tak bukan adalah fenomenologi. Fenomenologi adalah upaya mendeskripsikan bagaimana manusia memahami dirinya sendiri. Melalui fenomenologi, dirinya memaknai eksistensi pribadinya—melampaui dari pola-pola interpretasi dan penjelasan yang sudah pernah ada sebelumnya, sebagaimana yang selama ini diyakini oleh pemikiran psikodinamika maupun sosioekonomi. Mengadopsi metodologi fenomenologis, logoterapi mencoba menangkap kemampuan manusia memahami dirinya sendiri secara bebas bias. Dalam melakukan hal ini, menurut Paul Polak,4 fenomenologi melakukannya menggunakan terminologi keilmuan.
Mari kita membahas lebih jauh masalah teknik dan perjumpaan. Psikoterapi tidaklah sebatas teknik, tetapi lebih menjadi sebuah seni, seperti kebijaksanaan yang melampaui sains. Namun, wisdom pun bukan titik tertinggi. Di kamp konsentrasi, saya sempat melihat tubuh seorang perempuan yang bunuh diri. Di antara barang-barang yang ia tinggalkan, terdapat selembar kertas tempat ia menggoreskan kata-kata terakhir: “Takdir memang menentukan, tetapi yang lebih penting lagi adalah keberanian mengemban takdir tersebut.” Sekalipun berpegang pada moto itu, ia toh tetap mengakhiri hidupnya. Kebijaksanaan tak akan memiliki makna tanpa sentuhan kemanusiaan.