Implikasi metaklinis dari psikoterapi mengacu terutama pada konsep tentang manusia dan filsafat kehidupan. Psikoterapi tidak akan bisa eksis apabila tak ada teori tentang manusia dan filsafat kehidupan sebagai fondasi yang mendasari. Mau tidak mau, suka tidak suka, psikoterapi bertumpu pada hal-hal tersebut di atas—tak terkecuali psikoanalisis. Paul Schilder menyebut psikoanalisis sebagai weltanschauung atau pandangan terhadap dunia, dan baru belakangan ini F. Gordon Pleune mengungkapkan bahwa “praktisi psikoanalisis adalah, yang pertama dan utama, seorang moralis” dan “memengaruhi orang lain terkait dengan tata laku moral dan etika”.9
Oleh karena itu, isu yang dihadapi tidak lagi berkutat pada persoalan apakah benar psikoterapi sudah berbasis pada pandangan terhadap dunia atau tidak. Isu terbesar adalah apakah pandangan terhadap dunia yang mendasari psikoterapi ini sudah tepat atau belum. Tepat atau belum tepat, dalam konteks ini, berarti apakah benar hakikat kemanusiaan dari manusia itu sendiri tetap dirawat di dalam filsafat dan teori yang digunakan di dalam psikoterapi. Sebagai contoh, kualitas kemanusiaan manusia dipandang sebelah mata dan diabaikan oleh para psikolog yang melihat manusia melalui kacamata mekanistik atau disetarakan kelinci percobaan, sebagaimana disebut oleh Gordon W. Allport.10 Terkait kacamata yang disebut pertama, saya memandang bahwa manusia ternyata sungguh luar biasa. Pada saat ia memandang dirinya sebagai makhluk, maka saat itulah manusia memaknai keberadaannya sebagai citra Tuhan setara sang Maha Pencipta. Namun, begitu ia mulai menempatkan dirinya sebagai pencipta, pada saat itulah dirinya justru memaknai keberadaannya setara dengan ciptaannya, yaitu mesin.
Menurut logoterapi, konsep manusia berlandaskan pada tiga pilar: kebebasan berkehendak (freedom of will), berkehendak mencipta makna (the will to meaning), dan makna kehidupan (the meaning of life). Pilar pertama, yaitu kebebasan berkehendak, dipandang bertentangan determinisme. Determinisme sendiri adalah keyakinan bahwa semua peristiwa tidaklah bisa terelakkan. Determinisme ini dipandang sebagai salah satu karakteristik dasar yang menandai pendekatan yang dominan saat ini tentang manusia. Namun, sejatinya, pertentangan yang terjadi adalah terhadap apa yang saya sebut sebagai pan-determinisme. Pan-determinisme adalah gagasan bahwa manusia tak punya kuasa untuk menjadi apa pun yang ia inginkan karena terbelenggu genetika dan pola pengasuhan masa lalu. Membicarakan tentang kebebasan berkehendak tidak serta-merta berarti manusia tak lagi punya kepastian yang bisa ia jadikan pegangan. Toh kebebasan berkehendak berarti kebebasan kehendak dari manusia. Kehendak manusia sendiri adalah kehendak makhluk yang serba-terbatas. Kebebasan manusia tidak berarti manusia terbebas dari segala kondisi tetapi lebih kepada manusia bebas untuk mengungkapkan pendapatnya dalam berbagai kondisi yang ia hadapi.
Dalam satu kesempatan wawancara, Huston C. Smith dari Harvard (kemudian MIT) bertanya apakah saya—yang adalah profesor neurologi dan psikiatri—menolak mengakui bahwa manusia dikendalikan oleh situasi dan kondisi. Sebagai neurolog dan psikiater, saya menjawab bahwa sudah tentu saya sepenuhnya sadar bahwa manusia tak sepenuhnya terbebas dari kondisi-kondisi yang melingkupinya—yakni biologis, psikologis atau sosiologis. Namun, saya menambahkan bahwa selain menjadi profesor di kedua bidang (neurologi dan psikiatri), saya pun penyintas dari empat kamp konsentrasi. Saya adalah saksi mata yang melihat bahwa sampai titik yang tak pernah disangka-sangka, manusia toh ternyata mampu, dan terus mampu, untuk tetap bertahan dan berani menentang kondisi yang paling buruk sekalipun. Manusia memiliki kemampuan yang ternyata sungguh unik, yaitu kesanggupan melampaui keterbatasan dirinya (self-detachment) bahkan saat berada dalam kondisi terpuruk. Kapasitas manusia yang unik, yaitu sanggup melampaui keterbatasan diri dalam situasi apa pun terwujud bukan hanya melalui sikap kepahlawanan atau heroisme—seperti pada kamp konsentrasi—tetapi juga melalui humor. Humor pun termasuk ke dalam kapasitas manusia yang unik. Kita tak perlu ragu maupun ragu mengakui ini. Humor bahkan dipandang sebagai atribut mulia. Kitab Perjanjian Lama pun menyebutkan bahwa Tuhan tertawa.
Humor dan heroisme memberikan manusia kapasitas unik untuk melampaui kemelekatan diri (self-detachment). Berkat kapasitas ini, manusia sanggup melampaui dirinya—baik dari situasi tertentu tetapi juga dari dirinya sendiri. Manusia memiliki kemampuan untuk menentukan sikap terhadap diri sendiri. Pada saat manusia mampu bersikap, sejatinya manusia mampu melampaui situasi dan kondisi fisik dan psikologis mereka. Sudah tentu hal ini merupakan isu penting di bidang psikoterapi dan psikiatri, pendidikan dan agama. Dilihat dari kacamata ini, setiap orang bebas membentuk karakternya dan manusia bertanggung jawab untuk menentukan jalan hidupnya. Yang penting bukanlah karakter pribadi atau dorongan serta insting semata-mata, tetapi posisi kita terhadap hal-hal yang melingkupi kita. Kapasitas untuk mengambil sikap terhadap semua itulah yang membuat kita menjadi manusia.
Mengambil posisi mengatasi kondisi fisik dan mental menyiratkan kemampuan untuk melampaui situasi saat ini dan membuka dimensi yang baru—yakni dimensi pemikiran, yang berbeda dengan kondisi biologis maupun psikologis. Pada dimensi inilah, kita bisa menemukan keunikan fenomena kemanusiaan.
Dimensi ini bisa juga kita definisikan sebagai dimensi spiritual. Tetapi karena dalam bahasa Indonesia kata “spiritual” memiliki konotasi religius, maka terminologi ini sebaiknya kita hindari sebisa mungkin. Dimensi pemikiran ini lebih tepat bersifat antropologis ketimbang teologis. Dalam konteks “logoterapi”, inilah yang dimaksud sebagai “logos”. Dalam menginterpretasikan “makna”, “logos” di sini berarti “spirit”—tetapi lagi-lagi pemaknaan ini terlepas dari konotasi keagamaan. Dalam hal ini “logos” berarti kemanusiaan dari manusia itu sendiri—juga tanpa melupakan makna menjadi manusia!
Manusia menjelajah melalui dimensi pemikiran setiap saat ia berefleksi tentang diri sendiri—atau bahkan, bila perlu, menolak dirinya; setiap saat ia menjadikan diri sendiri sebagai objek—atau menampik keberadaan diri sendiri; kapan pun ia menjadi sadar sepenuh-sepenuhnya tentang diri sendiri—atau kapan pun ia menampilkan dirinya menjadi sosok yang serba-hati-hati. Kehati-hatian ini bahkan menempatkan manusia sesuai dengan kapasitas kemanusiaannya yang unik untuk bisa melampaui dirinya sendiri, untuk menilai dan mengevaluasi semua yang ia lakukan berdasarkan tolok ukur moral dan etika.
Tentu saja seseorang bisa saja menghilangkan fenomena unik manusia seperti kesadaran akan kemanusiaan yang ia miliki. Seseorang dapat memiliki kesadaran tak lebih sebatas hasil dari proses pengondisian. Namun, sebenarnya pemaknaan seperti ini hanya tepat dan memadai apabila yang kita bahas adalah seekor anjing yang telah membuat karpet menjadi basah kemudian bersembunyi di bawah sofa dan menyelipkan ekor di antara kedua kakinya. Apakah anjing tersebut memanifestasikan kesadaran? Saya lebih condong berpikir bahwa anjing tersebut memunculkan antisipasi penuh rasa takut dari bentuk hukuman yang menanti—di mana hal tersebut adalah buah dari proses pengondisian.
Menyederhanakan kesadaran menjadi semata-mata hasil proses pengondisian merupakan salah satu contoh reduksionisme. Saya mendefinisikan reduksionisme sebagai pendekatan pseudosains yang menafikan dan mengabaikan fenomena kemanusiaan dengan mengubahnya menjadi tak lebih dari fenomena sampingan (ephiphenomena), terutama dengan menyederhanakannya menjadi fenomena yang bersifat sub-human. Dengan kata lain, seseorang menjadi dapat mendefinisikan reduksionisme menjadi sub-humanisme (sub-humanism).
Sebagai contoh, izinkan saya menyodorkan dua fenomena yang boleh jadi paling manusiawi—cinta dan kesadaran. Kedua fenomena ini merupakan bentuk yang paling menonjol dari kapasitas unik manusia, yakni kemampuan untuk melampaui diri sendiri secara mandiri (self-transcendence). Manusia dapat melampaui dirinya sendiri baik melalui adanya orang lain atau demi meraih sebuah makna. Saya berpendapat bahwa cinta merupakan kemampuan yang memungkinkan seseorang untuk merengkuh orang lain dengan segala keunikan yang orang tersebut miliki. Kesadaran sendiri merupakan kapasitas yang memampukan seseorang untuk menciptakan makna dari sebuah situasi berdasarkan keunikan yang ada pada situasi tersebut, dan menarik kesimpulan terakhir bahwa makna adalah sejatinya sesuatu yang bersifat unik. Hal ini terjadi pada masing-masing setiap orang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setiap orang tidaklah bisa tergantikan. Diri semua orang tak bisa tergantikan, orang yang kita cintai pun juga tak bisa digantikan dengan orang lain.
Karena keunikan dari cinta dan kesadaran termasuk intensi yang mendasarinya, keduanya menjadi kapasitas yang intuitif sifatnya. Namun, bersamaan dengan keunikan yang ditandai dengan intensinya, terdapat perbedaan antara keduanya. Keunikan yang disodorkan oleh cinta mengacu pada keunikan dari berbagai kemungkinan yang ada pada seseorang yang dicintai. Di satu sisi, keunikan tersebut dibayangkan melalui kesadaran yang mengacu pada sebuah kebutuhan yang juga bersifat unik, yang ada untuk memenuhi kebutuhan seseorang yang juga unik sifatnya.
Saat ini reduksionisme membuat pemaknaan cinta menjadi serba-terbatas sebagai sublimasi seks, serta kesadaran menjadi tak lebih dari superego. Saya menentang pemahaman tersebut dengan argumen bahwa cinta tidaklah mungkin bisa menjadi sebatas hasil sublimasi seks. Hal ini karena ketika sublimasi terjadi, cinta tersebut sudah tentu mewujud sebelum semua proses tersebut terjadi. Saya berpendapat bahwa ketika Saya mengarahkan dirinya dengan penuh cinta kepada Kamu, pada saat itulah ego mampu mengintegrasikan id, di mana seksualitas diintegrasikan ke dalam kepribadian kedua manusia tersebut.
Dan kesadaran bukanlah sebatas superego saja—dengan alasan sederhana, kesadaran tersebut mengejawantah dalam relasi oposisi dengan kebiasaan dan standar, tradisi dan nilai, yang kemudian dimunculkan melalui superego. Jadi, apabila kesadaran dipahami semata-mata sebagai sebuah fungsi yang menyanggah superego, sudah tentu yang namanya kesadaran menjadi tak mungkin identik dengan superego. Menyederhanakan kesadaran menjadi superego dan melakukan simplikasi cinta sebagai id adalah sebuah upaya yang keduanya sama-sama membuahkan kegagalan.
Izinkan saya untuk menyodorkan sebuah pertanyaan—apa gerangan penyebab dari reduksionisme? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita semua perlu mempertimbangkan dampak dari spesialisasi ilmiah. Kita semua hidup di zaman spesialisasi, dan mengalami konsekuensi dari itu semua. Saya mendefinisikan seorang spesialis sebagai seseorang yang tidak lagi bisa melihat lanskap hutan secara menyeluruh karena terpaku pada setiap pohon satu per satu. Contohnya di bidang skizofrenia, kita berhadap-hadapan dengan berbagai temuan dari bidang biokimia. Kita juga mengkaji literatur yang begitu luas tentang hipotesis psikodinamika yang mendasari skizofrenia. Literatur-literatur lain yang juga mengupas keunikan skizofrenia dan bagaimana mereka yang menyandang kondisi ini mengalami kehidupan di dunia. Melihat ini semua, saya menyimpulkan bahwa siapa pun yang menyatakan bahwa ia mengetahui segala sesuatu tentang skizofrenia tak hanya menipu Anda, tetapi juga menipu dirinya sendiri.
Kenyataan bahwa masing-masing sains dari kacamata individu ini menggambarkan kenyataan yang begitu berserakan, sangat berbeda satu dengan lainnya, sehingga semakin lama semakin sulit untuk mendapatkan gabungan dari potongan-potongan gambar yang serba-berbeda ini. Perbedaan antarpotongan gambar jangan dipahami sebagai hal yang merugikan, justru ini merupakan bentuk capaian pengetahuan. Dalam kasus penglihatan secara stereoskopik, terdapat perbedaan antara hasil pandangan yang diperoleh oleh mata yang berada di sisi kiri maupun sisi kanan. Perbedaan tersebut justru memungkinkan lahirnya dimensi yang baru, yaitu ruang tiga dimensi, melampaui bidang dua dimensi. Dengan kata lain, perbedaan justru menjadi prasyarat pencapaian tersebut. Retina mampu menghasilkan satu kesimpulan yang merupakan gabungan dari berbagai gambaran yang berbeda!
Apa yang terjadi pada indra penglihatan, terjadi pula pada kognisi. Tantangannya adalah bagaimana caranya memahami konsep, mempertahankannya kemudian menarik sebuah kesimpulan yang utuh tentang manusia—sementara kita berhadap-hadapan dengan data, fakta, serta temuan yang begitu berserakan, yang datang dari sains yang terkotak-kotakkan.
Namun, kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Masyarakat pun tidak bisa berkembang tanpa spesialisasi. Penelitian merupakan hasil dari kolaborasi, di dalam kerangka kerja yang demikian, spesialisasi merupakan kenyataan yang tak bisa terhindarkan.