"Mi, Ntar Chere pulang. Abang ntar suruh jemput Chere di halte,” Ketik Chere setelah ia mengemasi barang-barangnya. Rencana me-time dengan melukisnya sudah bubar jalan. Semua gara-gara Porsche. Ia seakan menginginkan Chere untuk mengulik masa lalunya lagi. Tetapi memang benar, ia sama sekali tak mengingat siapa Porsche, bahkan masa SD nya saja sudah ia lupakan. Yang kedua, sikap Bayu yang aneh tadi. Seolah Bayu mempertanyakan siapa Chere yang sesungguhnya. Chere berpikir, barangkali memang Bayu ada di masa lalunya. Namun, tak mungkin. Ia juga tak ingat sama sekali dengan siapa Bayu.
Atau jika Bayu adalah teman kuliahnya atau tetangga mami-daddy nya, berarti mungkin Chere berbuat salah atau tak sengaja menyinggungnya. Jika memang bayu adalah tetangganya, Chere berniat akan meminta maaf karena ia sangat apatis sehingga tak mengenal Bayu.
Dan Coffee, seorang pria dengan wajah sangat ngartis. Ia juga penasaran, mengapa dari ketiga orang yang ia temui, Coffee sepertinya identik dengan pria yang dilukisnya. Atau memang benar kata Coffee, banyak yang memiliki tipe wajah sepertinya.
Sesampainya di rumah orang tuanya, Chere mengacak-acak lemarinya. Ia menemukan selembar foto di kotak pink. Fotonya dengan seragam SD. Sepertinya kelas enam SD, atau awal masuk masa orientasi siswa SMP.
Rambut Chere kecil dikepang dengan pita putih. Ia berpose peace di sebuah taman bermain. Patung kerbau besar dengan pancuran menjadi latar belakangnya. Ia berfoto bersama seorang anak laki-laki gendut berkacamata berpose sedekap dengan menghadap Chere.
Chere berlari menuju maminya dan menanyakan siapa anak di sebelah Chere itu.
“Kamu lupa, Cher. Ini kan Porsche anaknya Bu Siska itu loh, temen SD kamu. Dia dulu sering banget kesini, belajar bareng kamu. Tapi waktu dia lulus SD, dia pindah ke Malaysia apa Singapura apa Vietnam apa Thailand. Ah, mami lupa,”
“Kok mami nggak jelas sih,” Ucap Chere lalu beranjak meninggalkan ruang tamu dengan omelan maminya yang panjang.
Ia lalu menutup pintu kamarnya lagi. Seperti biasa, terdengar suara Daddy nya yang meneriakinya, menyuruhnya keluar dan bergabung dengan keluarganya yang lain. Namun, Chere tak menggubrisnya. Chere hanya bergumam singkat, “Chere capek, Dad,”
Lalu ia menuliskan nama panjang Porsche di mesin pencariannya. Terpampang semua media sosialnya.
Porsche Himawan Anggawinata. Lahir lima bulan setelah Chere lahir. SD di Indonesia. SMP, SMA di Malaysia dan kuliah jurusan psikologi di Universitas Chulalongkorn di Thailand. Di situs web cari kerjanya, ia tampak mengenakan toga yang unik, tak seperti toga-toga universitas di dunia. Menggunakan seperti jas putih dengan semacam selempang panjang dengan garis hitam dan kuning canary. Satu lagi yang mencengangkan, ternyata ia juga lulus magister psikologi di Nasional University of Singapore. Chere berpikir bahwa Porsche bukan orang sembarangan.
“Tapi kenapa dia mau jadi admin keuangan di café kecil seperti ini,” Pikir Chere. Secara, latar belakang pendidikannya adalah psikologi.
Chere memegang kepalanya. Mempertanyakan mengapa ia sama sekali tak ingat dengan Porsche dan semua masa lalunya.
“Mungkin karena diet dan olahraga kerasnya. Ia jadi tampak sangat berbeda,”
Di lain tempat juga sama. Porsche yang sebelumnya tidak mempedulikan cinta pertamanya itu, sejak hari ini memikirkannya.
Yang ada diotaknya adalah mengapa Chere begitu berbeda.
“Tapi bukannya aku juga berbeda?”
“Tapi kok dia seperti lupa denganku. Apa dia masih benci sama aku gara-gara kejadian di masa lalu?”
“Nggak mungkin. Dia sekarang sangat kalem dan manis. Nggak mungkin dia masih marah dengan hal sepele itu. Lagian, perempuan seperti dia akan sibuk dengan hal-hal selain cinta pertamanya,”
“Cinta pertama? Dia hanya cinta pertamaku, aku bukan cinta pertamanya?”
“Tapi kenapa dia menatapku seperti itu tadi?”
Ia berulangkali melayangkan pertanyaan pada dirinya sendiri, dan juga menjawabnya. Sekali lagi ia memandangi foto masa lalu mereka lalu ia pergi tidur dengan segenap pikirannya tentang Chere.
**
Hari Minggu, Chere janji akan bertemu dengan keempat teman kuliahnya di sebuah rumah makan seblak di dekat kampusnya.
Ia berniat akan menanyakan pada salah satu temannya, apakah ia pernah mendengar tentang Porsche sebelumnya. Namun orang lain datang sebelum teman-temannya datang.
“Hallo mbak, mbak tinggal di sekitar sini?”
Jantung Chere rasanya mau copot. Saking kagetnya dan bertanya-tanya mengapa Coffee datang dan menemukannya sepagi ini secara kebetulan.
“Mas Coffee?” Gumam Chere namun dengan mata yang tak bisa berpaling dari wajah tampan Coffee.
“Tunggu tunggu. Aku kemarin belum sempat nanyain nama kamu,”
“Chere,” Gumamnya singkat.
Coffee tersenyum manis, “Chere berarti kesayangan dalam bahasa Perancis,”
“Nice to meet you,”
Coffee memberikan lukisan kopi itu pada Chere. “Seberbakat ini kamu ya, seharusnya kamu di departemen kreatif. Bukan di departemen keuangan hahahaha. Ya karena kamu pendiam mungkin, jadi kamu cocok di keuangan,”
“Eh emang nggak ada hubungannya sih,”