The Winter's Hunter

Wuri
Chapter #4

Aroma Kopi

Seperti hari biasa di hari Senin. Semua terasa berat, seolah badan dan kasur memiliki magnet yang dapat menarik satu sama lain. Namun tidak dengan Chere yang entah kenapa sangat bersemangat datang, entah karena Porsche ataukah yang lain. Chere melangkahkan kaki dengan sangat enteng di kantornya. Terbayang wajah dua orang pria yang menurutnya diatas rata-rata itu menyapanya dengan ramah.

Tapi tak seindah bayangan. Nyatanya Chere tak bisa menampakkan wajahnya saat ia bertemu dengan Coffee yang hari ini ber-stelan hitam-hitam dengan lengan yang digulung sampai siku. Ia tampak mengobrol dengan barista-barista.

Tak seperti ekspektasi, Chere malah lari dan menutupi wajahnya saat Coffee melambaikan tangan dan menyapanya dari jauh.

“Kamu kenal seseorang di sini selain mas Tay?” Seorang barista menepuk pundak Coffee yang bengong menatap Chere yang salah tingkah.

“Dia Chere, anak finance. Cantik sih, pinter, nggak neko-neko. Tapi sayangnya terlalu pendiam. Nggak ada orang selain admin yang kenal dekat sama anak itu,” Lanjutnya.

Coffee tak mempedulikan omongan barista itu. Ia mengambil kopi yang dibuatkan untuknya lalu pergi menyusul Chere.

Dari belakang, diam-diam Porsche memperhatikannya. Ia berusaha menghampiri Chere sebelum Coffee berhasil menghampirinya.

“Selamat pagi Chere,” Sapanya saat lift terbuka. Sementara di luar sana, langkah Coffee terhalang karena seseorang datang untuk berjabat tangan dengannya.

Porsche secepat kilat memencet tombol lantai tiga.

“Hey!” Coffee berlari, namun pintu lift sayangnya sudah tertutup. Di dalam sana, Chere menunduk malu dan Porsche pura-pura sibuk dengan video game nya.

Chere tertunduk panik. Siap-siap mengeluarkan cairan cabai di tasnya, kalau-kalau Porsche berani macam-macam di hari keduanya kerja.

Porsche mengelak tangan Chere yang menyemprotkan cairan cabai ke arah wajahnya.

“Apaan sih kamu, Cher. Aku Cuma curiga sama gelagat buaya macam dia,”

“Aku malah curiga sama kamu, kenapa kok bisa kamu tahu dia buaya?”

Porsche menahan kata-kata keluar dari mulutnya. Mata itu bicara, sesuatu yang buruk sedang mengikuti Chere. Chere masih bersiap dengan cairan cabai di tangannya.

Porsche memegang tangan Chere yang tidak membawa semprotan cairan cabai, “Sumpah, Cher. Aku nggak akan ngapa-ngapain. Cuma ngingetin kamu. Hati-hati sama Coffee,”

Chere menampik tangan “Panggil aku Mbak. Kamu sama senior kok kurang ajar ya,” Ia menyemprotkan cairan cabai itu ke arah mata Porsche, namun kena kacamatanya. “Lupa, dia kan pakai kacamata, “

Chere menarik kemeja Porsche hingga kancingnya lepas dua biji. Hendak menonjoknya, namun bel tanda lift terbuka sudah berbunyi.

Lift terbuka.Chere berjalan cepat menuju kantornya. Disusul oleh Porsche yang berulang kali meminta maaf pada Chere, namun ia menolaknya.

Hingga ia berjalan bersamaan memasuki ruang admin dengan wajah yang aneh. Tak disadari, Porsche lupa mengancingkan pakaiannya hingga seisi ruangan heboh.

“Anak baru udah berhasil ngedeketin si bidadari,” Ungkap para staf yang menatap aneh Chere dan Porsche yang datang bersamaan dengan wajah yang aneh seperti menahan sesuatu. Di tambah baju berantakan Porsche.

Mereka mengabaikannya, duduk di kursi masing-masing. Lalu tenggelam dalam pekerjaannya masing.

“Ih mbak Chere kok diem-dieman sih sama pacarnya. Kalian cocok loh,” Ibu-ibu julid staff pajak menggoda Chere diikuti dengan yang lain.

Staff yang lain menyahut, “Lagi marahan ya. Ih susah atuh Bund, pacaran sekantor apalagi duduknya sebelahan gitu,”

Chere terlihat santai,senyum meski menahan amarah. Sementara Porsche mengalihkan pembicaraan dengan menyalami staff-staff yang belum mengenalimya itu.

“Saya Porsche buk. Saya baru datang Jumat sore. Senang bertemu dengan ibu,”

“Aww, manis sekali. Betah-betah disini ya mas. Disini admin cowoknya surem dan gahar semua,” Jawab ibu staff pajak yang menggoda Chere pertama kali itu.

Chere menggelengkan kepalanya, bergumam “Caper,”

“Selamat pagi semua,”

Manajer umum datang, diikuti seorang yang diperkenalkan sebagai pimpinan baru di café ini. Dengan singkat, karisma di wajah pria muda itu memikat hati semua staff admin. Semua menghentikan pekerjaannya kecuali Porsche dan Chere yang sedang berusaha tidak menatap satu sama lain dan melawan perasaan yang bergejolak di hati masing-masing. Jadi satu-satunya jalan adalah fokus pada pekerjaan. 

Ia membuka mulutnya dengan menyebut namanya, “Nama saya Coffee,”

Chere terperanjat kaget. Ia menutupi wajahnya dengan kertas. Sangat malu dengan dua kejadian yang menimpanya. Coffee sama sekali tak memandang ke arah Chere.

Chere salah tingkah, ia bersembunyi di kolong mejanya.

“Chere, wooo wong gendeng kok[1]. Cher! Jangan kayak bocah dong,” Faizal menepuk-nepuk pundak Chere.

“Malu-maluin,” Gumam Faizal yang diamini oleh Porsche.

Para staff bergantian menyalami Coffee. Bahkan Porshe yang telah mendingin pun salaman dengan wajah datar ke Coffee. Semua Staff kecuali Chere yang menggigit ibu jarinya dibawah mejanya. Coffee pun menghampirinya dan mengulurkan tangannya pada Chere.

“Halo, Cher. Maaf aku ninggalin kamu kemarin,”

Sapa Coffee yang membuat seisi ruangan terperanjat. Bukannya menyambut tangan Coffee, Chere malah menampik pandangan-pandangan yang mencurigainya. “Ini nggak seperti apa yang kalian lihat,”

“Maaf pak Coffee, saya bersikap kurang sopan pada Anda,”

Pandangan-pandangan itu tambah menyudutka Chere. Ditambah Coffee yang sepertinya sengaja memainkan kata-kata agar para staff mencurigai hubungan mereka yang memang tidak ada apa-apa. Hingga Chere akhirnya membuka mulut dan berbisik pada Porsche, “Kayaknya memang dia buaya,”

Danilla tampak paling terpesona dengan karisma dan wajah super tampan milik Coffee. Matanya tak lepas memandang pria yang memang hari ini terlihat berkali-kali lipat lebih good looking dari hari Jum’at ataupun Minggu kemarin. Ditambah lagi permainan kata-kata Coffee yang membuat semua terpesona. Ia membangun citra humble dan membuat suasana kekeluargaan.

“Saya sudah melihat hasil-hasil pekerjaan staff-staff admin. Saya memberi nilai 85 pada pekerjaan staff-staff admin. Saya harap, kita bisa bekerja sama as a patner, as a friend or anything you wish for. But, as a junior, I wish you all kasih saya kritik atau saran nantinya jika kinerja saya kurang baik,”

“Sekarang santai saja. Kita kenalan dulu aja hehehe,”

Semua orang bertanya hal-hal tentang profesionalitas kerja, lingkungan apa yang ia idealkan dan bagaimana iklim pekerjaan di Finland. Dah Eh, ternyata satu fakta memang dilewatkan oleh Chere. Ia ternyata adalah seorang Doktor dalam bidang administrasi bisnis dan juga seorang mantan manajer restoran di Finlandia. Sebuah fakta yang dilewatkan oleh sebagian staf yang menuduhnya anak bawang yang tidak kompeten. Tapi Chere malah curiga dengannya, bagaimana pula orang berpendidikan sebaik itu mau mengurus café di negara berkembang ini. Memang cabangnya di kota ini saja ada sepuluh. Tapi, menurut Chere tidak sebanding dengan yang di Finlandia itu.

Namun Danilla berulah, ia menanyakan hal yang tidak penting. “Pak, berapa umur Bapak dengan pengalaman dan pendidikan yang begitu baik itu,”

Coffee tersenyum. “Menurut kalian berapa?”

Para staff menebak-nebak dengan kisaran angka 25 sampai 30. Memang ia tampak masih muda.

“Yang paling mendekati adalah tebakan Rizky. Ya saya 30-an. Tiga puluh tujuh,”

Chere kaget dan tak sengaja berteriak, “What?”

Semuanya tampak mennoleh Chere yang aneh itu. Ia membekap mulutnya sendiri kemudian minta maaf pada Coffee yang terkekeh itu.

“Kenapa, Chere? Mmm nyatanya memang aku umur segitu kok,”

“Sekali lagi mohon maaf sekali pak, benar-benar saya menyesali perbuatan saya,” Chere menunduk setelah mempermalukan dirinya di depan teman-temannya.

Danilla dan yang lain melirik curiga ke arah Coffee yang terkekeh itu. Seolah bisa mendefinisikan tatapan Danilla, Coffee langsung menjawabnya, “Soal bagaimana saya dan Chere mungkin nanti bisa tanya sama dia. Sekarang saya permisi dulu. Selamat bekerja, ya,”

Coffee lalu pergi meninggalkan ruang admin dengan senyuman yang mengembang.

Mulailah semuan menggeruduk Chere dengan pertanyaan tidak masuk akal.

“Dia 37? Bohong ah. Nggak mungkin. Masak seumuran Bu Dewi?” Danilla melirik Bu Dewi, Staff pajak yang tampak lebih tua dari Coffee di umur 37.

“Aku juga kaget. Kirain dia 26-an,” Sahut Bu Dewi, “Aku aja udah kayak gini kok. Suamiku 36 udah kayak om-om, perutnya buncit. Mulus banget dia di umur 37,”

“Apa dia om-om drakor? Kalau mantan om-om drakor emang pantes sih penampilannya kayak gitu” Sahut Danilla lagi. “Om supir taksi itu loh. Masak nggak liat dramanya sih kalian? Pada sukanya yang menye ya? Parah ah,”

“Cher, dia pacar kamu? Parah ih, kecil-kecil suka sama om-om,” Sahut Rizky yang diamini oleh Porsche. “Maaf ya, aku tadi nggak tahu kalau dia pacarmu. Tak kira anak baru biasa,”

“Aku kenal dia baru kemarin, Ngobrol juga baru kemarin,”

“Kita juga Cuma selisih dua belas tahun. Aku juga bukan minor kan? Jadi itungannya bukan om-om, mas Rizky hmm,”

“Lagian cowok sehebat itu nggak mungkin mau sama orang kayak aku,”

“Udah lah, nggak usah bikin acara aneh-aneh. Aku nggak ada hubungannya sama pak Coffee. Mbak Danilla kalau mau deketin dia juga, silahkan. Ah, kerjaanku juga belum beres, anyway,”

Kalimat itu adalah kalimat terakhir dari obrolan sebelum semuanya kicep.

“Dia pendiem tapi kalau ngomongin cowok pembelaannya banyak banget ya,” Bisik Faizal pada Porsche. Mereka melirik jahil ke arah Chere.

Chere melemparkan spidol.

Seisi ruangan hening. Yang terdengar hanya suara printer bu Dewi.

Namun, entah mengapa aroma parfum kopi yang lembut masuk ke hidung Chere. Tapi, anehnya Faizal dan Porsche yang ada di sebelahnya tidak mencium bau itu. Mereka pun tak ada yang menggunakan parfum aroma kopi. Chere benci mengakui bahwa ia hafal semua aroma parfum staff admin di kantornya.

Wangi lembut parfum kopi itu terus tercium hingga saat istirahat.

“Chere, beli ayam geprek di kantin yuk. Ada yang mau aku omongin,” Danilla duduk di kursi depan meja Chere.

“Aku titip ya, ntar setelah istirahat nggak apa-apa. Yang level sedeng ya, kamu pesen nggak Porsch?” Tawar Faizal. Porsche mengangguk tipis.

“Samain sama mas Faizal aja. Makasih ya Cher, Mbak Danilla,”

Chere tersenyum tipis pada Porsche, berpandang-pandangan lama. Belum puas bertatapan, tangan Chere ditarik Danilla dengan kasar.


Aroma lembut parfum kopi yang sepertinya tak beralkohol menusuk sopan hidung Chere sepanjang perjalanan. Namun, anehnya Danilla sama sekali tak menciumnya. Wangi roti yang disajikan kantin kantor pun sama sekali tak lebih kuat daripada wangi kopi yang dihirup oleh Chere.

“Kamu kenal sama Coffee?” Pertanyaan menyelidik Danilla membuat Chere menyemburkan es the yang dipesannya.

Lihat selengkapnya