“Kenapa kamu menyuruhku kesini, sayang?”
Ucap Coffee saat mendapati Yuki duduk di rooftop apartemennya sendirian dengan muka layu. Ia sangat berantakan.
Coffee duduk mendekati kekasihnya, mengelus lembut rambutnya yang kecoklatan itu. Yuki diam-diam menitikkan air mata.
“Maafkan aku. Seharusnya kamu nggak milih aku,”
“Seharusnya aku nggak maksa kamu buat sayang sama aku. Aku memang nggak pantes buat pria selembut kamu,”
Coffee mendekati Yuki yang membenamkan wajahnya di lututnya. Coffee mendekatinya, berbisik di telinganya, “Aku nggak kecewa sama kamu, Yuki. Semua orang berhak punya masa lalu. Aku yakin kamu akan punya masa depan yang indah,”
Yuki menggeleng, “Nggak. Aku lihat wanita di café itu lebih cerah. Dia lembut sepertimu, dia lebih layak jadi ibu dari anak-anakmu,”
Coffee memeluk kekasihnya itu, mengelus kepalanya lembut. “Chere dan pemuda di café itu pacaran,”
“Kamu jangan aneh-aneh deh.”
Yuki melepaskan pelukannya. Ia tersenyum tulus untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupnya setelah memiliki skandal dengan Haris. “Coffee, kita putus ya?”
Coffee melotot, “Kamu gila ya? Kalau masih mabuk jangan ngomong,”
Yuki tak bergeming sama sekali. Sementara Coffee bersikeras meyakinkan Yuki untuk tak putus dengannya, tetapi Yuki tak mengindahkan semuanya, ia merasa tak pantas untuk Coffee yang nyaris sempurna.
Coffee memandang langit sore yang menguning. Tak menyangka bahwa hari indah ini akan menjadi hari terakhirnya menjadi kekasih Yuki.“Iya, kalau itu mau kamu, aku akan menghilang. Maafkan aku, aku nggak bisa ngelindungin kamu,”
“Jaga dirimu baik-baik dan…,”
Langit sore makin menguning mengiringi tetes demi tetes air mata tulus Yuki.
Belum sempat Coffee meneruskan kalimatnya, Yuki nekat mencium Coffee untuk pertama kalinya dan Coffee hanya diam saja. Yuki lalu pergi tanpa kata.
“Kalau nanti kamu butuh aku, bilang aja. Aku masih temen kamu,”
Teriak Coffee yang tak dihiraukan oleh Yuki yang terus berlari menuju kamarnya. Sementara, Coffee sedikit menyesali kisah sebentarnya yang diketahui seluruh masyarakat ini.
Di ujung tangga, Yuki menoleh dan melihat sekali lagi wajah pemilik kisah sebentarnya itu, “Aku akan mulai hidup baru tanpa skandal lagi. Doakan aku ya!”
Coffee mengacungkan ibu jarinya dan tersenyum melepas Yuki yang berjanji akan melanjutkan hidupnya tanpa bayang-bayang masa lalu.
Jauh dari hati yang terdalam, Yuki sama sekali tak ingin mengakhiri hubungannya dengan Coffee. Namun, apa boleh buat? Coffee dirasa terlalu baik untuknya.
**
Wanita itu sudah hilang dua minggu lamanya. Tanpa ada konfirmasi apapun di media. Orang-orang terdekatnya pun tak bisa menghubunginya. Apartemennya kosong. Tak ada tinggalan apapun, ponsel dan semua gawainya ditinggal. Mega, Iwan, dan Coffee telah melaporkan kehilangannya. Yang tampak paling terpuruk adalah Coffee, ia tak seramah dulu. Ia menjuteki Chere, Porsche, Danilla, dan semua kawan-kawannya. Hingga Chere berpikir, sebenarnya apa salahnya? Ia sama sekali tak ada hubungannya dengan hilangnya Yuki.
Sore itu, Chere datang ke ruangan Coffee untuk memberikan laporan keuangan periode ini. Namun, Coffee tak terlihat batang hidungnya. Sama sekali tak terlihat. Ruangannya berantakan, beberapa potret berserakan. Chere mengambil salah satu dari puluhan foto itu, membaliknya dan mendapati foto Yuki. Ia dengan telaten membalik foto-foto yang berserakan itu. Benar, semua adalah foto candid wanita itu. Berbagai puisi dengan bahasa Finlandia juga tergantung di jendela. Berlatar belakang salju, puisi itu terasa membawa aura tertentu.
“Sebegitu cintakah Coffee padanya hingga ia kehilangan akal sehatnya saat ini?”
Ia membereskan foto-foto yang berserakan itu. Hingga ia menyadari ada yang aneh dari foto tersebut. Yuki yang berkemeja burgundy berpose dengan bunga kering di rooftop sebuah gedung. Seperti foto yang lainnya, ia bergaya candid. Pemandangan kota terlihat samar-samar, hanya sebuah rumah berdinding krem yang terlihat jelas di samping kanan gedung itu. Gaya berpakaian dan rambutnya memang terlihat berbeda dari dua minggu sebelum ia hilang. Ia menggunakan pakaian gelap dan rambut yang semuanya hitam yang dicepol dengan poni yang dibiarkan melintang hingga menyentuh bagian matanya. Namun, Chere menyadari kalau dia menangis. Satu lagi yang paling aneh, foto itu diambil dua hari sebelum hari ini. Chere segera memotret foto tersebut dan pergi.
Beberapa menit sebelum jam pulang, Coffee memasuki ruangannya. Semenit kemudian, ia keluar lagi membawa foto-foto yang berserakan itu. Tergopoh-gopoh lari menuju lift.
“Porsch, hari ini aku bareng kamu ya? Ada yang harus aku omongin,” Ucap Chere pada Porsche yang membuat semua mata tertuju pada mereka. Pandangan mereka seolah heran dengan dua orang yang sepertinya nyambung dalam waktu singkat itu.
“Tadi pak Coffee kemana ya? Buru-buru amat,” Ucap Danilla dengan nada genit yang membuat seisi ruangan memberikan lirikan mematikan.
“Heh, gimanapun kamu berusaha. Dia nggak suka sama kamu. Malah kamu bikin masalah kan?” Ungkap Porsche tepat di telinga Danilla. Namun, tak ada yang mendengar ucapan itu kecuali Danilla, Porsche, dan Chere.
Danilla hanya nyengir. Ambisinya belum berakhir, namun tetap tidak boleh dihentikan.
Waktu menunjukkan pukul 16.45. Chere menggandeng Tangan Porsche dan mengajaknya buru-buru pulang tak peduli dengan berbagai pandangan aneh teman di ruangannya. Namun, ada yang aneh ketika berada di lobby. Seorang duduk di kursi dengan menggunakan pakaian serba hitam dan masker hitam yang mungkin untuk penyamaran.
Namun, Chere langsung menyadari ketika ia berdiri. Siapa lagi yang memiliki tinggi badan 2,4 meter selain Niko. Niko membawa dokumen dan foto-foto di tangannya. Ia tampak tenang seolah menunggu sesuatu.
“Porsch, liat deh itu Niko tapi nggak ada yang sadar,”
Chere merasa ada yang aneh dari Niko. Bagaimanapun, seharusnya Niko sekarang ada di Italia. Tapi, mengapa dia disini? Hubungan belum selesainya juga masih menjadi faktor penambah kecurigaannya. Serta foto yang dibawanya itu? Terlihat berbentuk mirip dengan foto yang dimiliki Coffee. Namun, ia urung mengikutinya karena ingin menunjukkan foto itu pada Porsche dahulu.
Porsche menggandeng tangan pacar bohongannya itu, membimbingnya menuju mobilnya yang bukan Porsche. Namun mata Chere tak lepas dari pria bertinggi 2,4 meter yang duduk anteng seolah tak bergerak. Hingga mereka berlalu pun, Niko tetap anteng disana. Hanya sesekali mengecek ponselnya.
“Nge-bug kah itu si Niko?” Tanya Porsche yang pelan-pelan mengemudikan mobilnya. Chere menggeleng dan pelan-pelan menjelaskan temuannya di ruangan Coffee.
“Aku curiga Coffee menyembunyikan sesuatu tentang hilangnya Yuki,” Ungkap Chere setelah menjelaskan semua potret itu.
Ia memperbesar gambar gedung bercat krem. “Aku rasa pernah melihat bangunan ini,”
Chere memutar rekaman-rekaman memori di otaknya. Tapi tak urung jua ketemu. Seolah bisa membaca pikirannya, Porsche menjawab dengan lantang.
“Anggita Wulandari, seorang pekerja televisi. Yang hilang sepuluh tahun yang lalu dan sekarang belum ketemu,”
“Aku rasa memang ada hubungannya antara mereka,”
Seperti biasanya, Porsche menjelaskan tentang apa yang ia ketahui. “Dia juga hilang setelah menjalin hubungan dengan Niko,”
Chere menoleh pada pria disampingnya itu, bingung dengan pernyataannya. “Hah?”
Porsche tak menjawab, “Makasih infonya Cher. Setidaknya aku tahu gimana cara mainnya,” Porsche malah membuat Chere bingung setengah mati dengan pernyataan menggantung yang dijawab dengan pernyataan terimakasih. “Akan kami proses ini,”
“Jadi semua ini gara-gara Niko?”
Belum jua ia menjawab, disebelah utara ada kerumunan. Mobil Porsche berhenti, ia langsung saja keluar tanpa mengajak ataupun memberi tahu Chere apa maksudnya. Namun, Chere mengikutinya, tepat di belakangnya. Porsche lari beberapa puluh meter menuju sebuah danau.
Garis polisi telah melintang di bibir danau. Seorang polisi berpakaian biasa mewawancarai seorang bapak, dan tim forensik terlihat berpencar menjadi dua. Dua orang, wanita dan pria tampak mengamati dan membersihkan sebuah sesajen untuk menemukan sidik jari di sesajen berupa makanan mentah dan segelas kopi hitam. Sementara dua orang yang lain tampak memeriksa keadaan sosok wanita yang terbaring di sebelah danau. Seorang pria berpakaian kaos polo biru navy tampak basah kuyup di sebelah sosok wanita itu, ikut memeriksakan.