“Bapak Ferdinan Sulistiawan, silahkan masuk,” Suara resepsionis itu memanggil pria berkacamata frame kotak tipis yang sedang merokok itu.
Pria itu mendaftarkan diri sebagai Ferdinan Sulistyawan, seorang karyawan. 40 tahun. Ia mengaku sebagai rekan kerja si tahanan.
“Mohon maaf, Pak Ferdinan. Rokoknya tolong dimatikan dahulu,”
Pria bernama Ferdinan itu membuang rokoknya dengan kasar di tempat sampah, lalu berjalan dengan kaki yang diseret menuju sel tahanan nomor 2345. Tahanan nomor 2345 tampak tidak antusias dengan kunjungan pria dengan penampilan acak-acakan dan wajah yang aneh itu.
Ferdinan dan Niko mengangkat gagang telponnya masing-masing. Seringai Ferdinan tampak di depan mata Niko.
“Ada perlu apa anda kesini, belum puas anda membuat saya begini? Atau foto itu, anda yang menyebarkan ke polisi?” Ungkap Niko yang sudah jengah terhadap Ferdinan. Ferdinan telah lama menghubungi kantor untuk mengunjungi Niko, beberapa kali pula Niko menolaknya. Namun kali ini, Niko menerima kunjungan itu karena ia akan memutuskan hubungan transaksional dengan pria itu.
“Tidak. Tidak ada perlu apa-apa. Hanya peduli dengan pelangganku,” Pria itu menyeringai. “Apa kabar, Niko. Stttt bagaimana dengan pertandingan semifinal kemarin? Tim kamu menang?”
“Atau posisimu digantikan oleh Takahiro? Hahaha,”
Niko menggeram. Pertikaian verbal terjadi antara Niko dan Ferdinan. Topiknya hanya berkisar pada hal-hal sepele yang tak ada artinya. Ferdinan tampak tenang dengan nada bicara liciknya itu. Sementara Niko yang seperti kesurupan vampir, berteriak-teriak dengan Bahasa Italia nya yang terdengar seperti native.
“Baik-baik. Aku menyerah dengan emosimu, Nik. Satu hal yang harus kamu tahu, Akan kuberi pelajaran kamu setelah keluar dari sini. Eh anyway, kau akan keluar dari sini sesegera mungkin. Sampai jumpa, Nicholas Ismawan,”
Bel tanda berakhirnya waktu kunjungan sudah berbunyi. Ferdinan meninggalkan kursi itu, sementara Niko membanting kasar gagang telepon dan memanggil sipir untuk memborgol dan menngantarkannya ke sel lagi.
Ferdinan menengok ke belakang sekali lagi. Ia menyalakan rokoknya tanpa peduli dengan tatapan orang di sekitarnya.
Niko sudah tidak mau berurusan dengan pria itu lagi. Ia ingin direhab dan menjalani kehidupan yang lebih baik dengan sepasang anak kembarnya. Sementara kariernya sebagai atlet, ia tidak mempedulikannya lagi.
Niko kembali dengan aktivitasnya sebagai tahanan.
Awalnya, ia mengambil sarapan di dapur umum. Ia mengantri beberapa menit hingga mendapatkan makanannya. Namun hal yang aneh terjadi sesaat setelah suapan ketiganya. Niko mendadak muntah-muntah dan diare, namun buruknya tak ada yang peduli. Karena menganggap hal itu biasa. Mengingat memang Niko akhir-akhir ini sering sakit.
“Dimana Niko?” Tanya seorang sipir yang datang ke dapur umum dengan Porsche dan Sita.
“Di kamar mandi pak,” Jawab seorang narapidana yang tadinya duduk di sebelah Niko. Porsche dan Sita segera berlari ke kamar mandi, takut jika Niko kabur atau terjadi apa-apa depada Niko.
Sita dan Porsche mengetuk sati-satunya pintu kamar mandi yang tertutup ittu, namun tak ada jawaban dari orang didalamnya. Hingga lima menit tak ada jawaban, dan Porsche mendobrak pintu itu dibantu oleh sipir.
Namun terlambat, Niko sudah terduduk lemas menghadap kloset duduk. Wajahnya pucat dan ia tak bernafas. Sita tak dapat menahan mulutnya untuk berteriak mendapati keadaan Niko yang sangat meprihatinkan.
Teriakan Sita mengagetkan para tahanan yang sedang makan. Mereka berhamburan menuju kamar mandi dan tak kalah kaget. Porsche berusaha mengendalikan para tahanan dan mulai menanyai salah satu teman sel Niko yang duduk di sebelah Niko saat makan.
“Dia tampak seperti orang diare parah,” Jawab pria itu singkat.
Porsche seakan mengerti rincian semua kasus ini dengan mendengarkan satu pernyataan dari napi itu. Namun, ia tak boleh gegabah.
Porsche memanggil tim forensik untuk segera datang untuk mengatasi segala rasa penasaran tentang apa yang terjadi pada Niko.
Sementara Rian dan Sita berlari ke resepsionis, menyelidiki apa yang dilakukan oleh Niko beberapa hari terakhir. Mereka menemukan nama Ferdinan yang menemui Niko, sebisanya mereka mencari siapa Ferdinan. Ferdinan dalam catatan dan media sosialnya hanyalah seorang official di klub bola voli Italia yang dinaungi oleh Niko. Sangat mudah menemukan Ferdinan, karena ia sedang berada di rumahnya bersama dengan keluarganya di indonesia.
Informasi itu ia berikan pada Porsche.
Sesaat kemudian, Surat perintah pemanggilan Ferdinan Sulistyawan diterbitkan, merekapun memanggilnya untuk menjadi saksi atas tewasnya Niko hari itu. Namun, apa yang didapatinya sangatlah berbeda. Dalam CCTV kantor polisi, orang yang menggunakan identitas itu bukanlah Ferdinan yang ditemui mereka hari itu. Terdapat beberapa perbedaan fisik dari mereka seperti tinggi badan dan postur. Disimpulkan bahwa orang itu hanya menggunakan identitas Ferdinan, bukan Ferdinan yang asli.
Para polisi berusaha melacak jejak pria pengunjung Niko, namun nihil. Anehnya, di CCTV semuanya blur saat pria itu mengunjungi Niko dan kembali jelas lagi saat pria itu pergi. Setelah resolusi ditingkatkan ke tingkat tertinggi, gambar si pengunjungpun tak dapat diidentifikasi. Orang yang paling dicurigai dalam kasus ini tidak bisa diidentifikasi.
Tak lama kemudian, hasil forensik telah diterbitkan. Penyebab tewasnya Niko adalah keracunan makanan. Makanan Niko mengandung racun jenis Sianida. Gejala setelah ia makan pun sama seperti efek racun sianida.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana bisa ada racun di makanan Niko. Sementara, sistem pengambilan makanan adalah prasmanan. Tak ada kontaminasi racun di sample makanan tahanan lain. Kesimpulan sementara yaitu, Niko meletakkannya sendiri racun tersebut. Tetapi mereka tidak menemukan botol atau bekas racun tersebut.
“Benar-benar kasus yang belum pernah ditemui,” Ucap Porsche setelah membaca lembar demi lembar laporan forensik yang diterimanya.
“Detektif Porsche, ini laporan tentang tewasnya Niko. Kasus ini akan ditutup dengan kesimpulan bahwa kasus ini adalah bunuh diri,” Jelas Rian yang datang dengan dua lembar laporan kematian Niko dari atasannya.
Mereka terbelalak. Memang tak ada bukti pembunuhan atau kecelakaan di kasus ini. Diperkuat dengan tidak ada sisa residu racun di sampel sarapan tahanan hari itu.
Namun mereka yakin, ini adalah kasus pembunuhan. Mereka bertekad akan menyelidiki kasus ini hingga dalang pembunuhan Niko (yang kemungkinannya adalah pembunuh Yuki dan Elsa). Mereka berasumsi, Niko mengetahui suatu hal besar hingga seseorang haru menghabisinya. Semua data telah dikumpulkan, data orang mencurigakan itu mengarah pada dalang pembunuh Yuki dan Elsa. Apalagi yang diketahui oleh Niko (yang berbahaya) kecuali siapa yang berhubungan dengan morfin dan pembunuh dua wanita itu.
Akhirnya dua hari kemudian kasus ini ditutup dengan kasus bunuh diri. Namun para detektif itu tak menyerah, mencari semua kemungkinan.
Hujan petir di bulan Januari tahun ini seakan kelam. Sangat kelam setelah meninggalnya Niko. Kompetisi bola voli di Indonesia dan di Italia ditunda sebulan, tanda berkabung. Kasus Niko masih abu-abu. Seabu-abu langit mendung bulan Januari, namun tak kunjung turun hujan.
Agustina Ismawan, seorang pebulutangkis muda yang harusnya bulan-bulan ini mengikuti training mandiri di Dubai berdiri berhari-hari di depan kantor polisi dengan membawa spanduk besar bertuliskan “NIKO TIDAK BUNUH DIRI. #JUSTICEFORNIKO”. Petisi mengusut kembali kasus Niko yang terlanjur di floor-kan detail kasusnya sudah ditandatangani.
“Saya menemuinya, kakak sudah menjadi orang yang lebih baik. Dia sangat bersemangat untuk bertemu dengan kedua anaknya. Bagaimana mungkin seorang ayah yang bertaubat bunuh diri?” Agustina berapi-api saat menjawab pertanyaan siapapun, termasuk wartawan tentang kasus kakaknya yang ditutup dengan kasus bunuh diri.
Diam-diam, Porsche memperhatikan Agustina yang pantang menyerah mencari keadilan untuk kakaknya. Ia tak ragu untuk diam-diam menyelidiki kasus Niko. Diam-diam pula Chere menaruh perhatian pada pebulutangkis muda itu. Ia selalu memesankan makanan via daring kepada Agustina. Meski pernah tak dimakannya.
Media terfokus pada kasus ini sehingga membuat kepolisian kalang kabut menjawab pertanyaan para wartawan. Ditambah lagi dengan Agustina yang tak peduli hujan, panas, siang, dan malam tetap berdiri di depan kantor polisi membawa spanduk besar itu. Tak jarang ia juga melantangkan suaranya bersama beberapa orang yang mengikutinya. Setelah terdesak, akhirnya kepolisian membuka kembali kasus ini dengan Porsche sebagai ketua timnya.
Tersangka utamanya masih Bayu. Didukung dengan tidak adanya nama Bayu dalam basis data kependudukan serta ponsel yang ia gunakan adalah ponsel orang yang telah meninggal.
**
Hari itu, Chere berniat untuk mengirimi Agustina makanan lagi. Tetapi, entah kenapa tidak ada angin tidak ada hujan tetapi Coffee mendadak ingin mengantarkannya membawa makanan ke Agustina.
“Beliin juga buat Porsche dan teman-temannya,” Ucap Coffee sambil terus mengemudi dengan kecepatan rendah menuju café franchise yang paling terkenal di Jakarta. Ia berjanji akan membayarkan semua makanan pesanan Chere untuk beberapa orang itu.
Namun seperti biasa, Coffee menahan sebentar Chere untuk sekedar menikmati kopi dan sepotong besar red velvet.
”Kamu nggak marah gitu sama Porsche? Dia udah nipu kamu loh,” Ucap Chere membuka pembicaraan. Seperti biasa, Coffee menatap tajam Chere dengan segala keluwesannya.
“Nggak. Mana mungkin aku marah sama yang menyelidiki kasus Yuki,”
Nama wanita itu lagi. Walaupun tidak etis, Chere sangat benci ketika nama itu tersebut keluar dari mulut Coffee. “Yuki lagi?”
Coffee mulai membaca wajah jengah itu. Layaknya pemain kelas atas, ia pura-pura tak peduli dan tak tahu jika Chere memang cemburu. Ia bersorak dalam hati, akhirnya ia bisa membuat wanita dingin itu jatuh hati. Jauh dalam hati Coffee, ia mulai melupakan tentang Yuki. Sungguh kurang ajar.
Berbeda dengan Chere yang memang cemburu dengan Yuki. Yang meski raganya tak ada, namun namanya masih ada di antara percakapan itu.
“Chere, aku punya dua tiket. Kamu mau kan nonton sama aku malam ini?” Ungkap Coffee malu-malu mengeluarkan dua tiket film yang ditunggu-tunggu Chere perilisannya.
“Aku liat di media sosialmu, kamu memang nunggu film ini rilis kan?” Lanjutnya. Ia memegang tangan Chere, memberikan satu tiketnya.
“Emmm, kamu mantau medsosku. Dasar nggak sopan hahahah,” Kekeh Chere menyamarkan kegugupannya.
“Mau nggak?”
“Atau kamu memang punya hubungan sama Porsche?”
Chere salah tingkah, “Aku nggak pernah punya hubungan sama Porsche,”
“Tapi seluruh kantor tau kalau kalian pacaran. Jadi kamu gantung Porsche?” Ucap Coffee mengintimidasinya. Chere tak berani mengatakan yang sebenarnya, sama saja bunuh diri jika ia mengatakan bahwa ia hanya pura-pura berkencan dengan Porsche agar Danilla tak menganggapnya saingan.
“Udah deh, ngapain sih. Emang kalian tahu gimana aku sama Porsche?”
“Sensi banget kamu,” Ucap Chere. Ia menyangking tasnya, beranjak dari tempat duduknya. Namun, Coffee segera menahannya.
“Chere, maafin aku. Aku salah. Duduk aja, ada yang perlu aku omongin sama kamu,”
“Ini soal kerjaan,”
Chere duduk lagi. Diam menunggu perkataan Coffee. Chere berjanji pada dirinya sendiri, ia tak akan bicara hal pribadi pada lelaki di depannya itu.
“Kamu mau kan jadi BA café kita? Kami bingung mencari siapa pengganti Yuki,”
Yuki lagi. Nama itu selalu muncul dari mulut Coffee.
“Oh, jadi emang kamu mau jadiin aku jadi bayang-bayang Yuki. Nggak. Aku tak memiliki satu kesamaan pun dengan Yuki. Terima Kasih tawarannya, aku pulang sekarang. Jangan ngejar aku,”
Kali ini Chere benar-benar pulang.
“Gimana filmnya?” Sampai hati Coffee menanyakan itu padanya. Chere melengok sedikit lalu pergi tanpa memberikan jawaban.
Coffee tetap saja duduk disitu menghabiskan makanannya dan mengantarkan semua pesanannya kepada Agustina.
Agustina mulai lemas, wajahnya pucat dengan mata yang bengkak dan memerah. Bibirnya kering. Makanan dari Chere sehari yang lalu tak disentuhnya. Yang penting hanyalah keadilan untuk kakaknya yang berjanji akan berubah menjadi lebih baik lagi itu.
Orangtuanya sudah sangat lelah membujuknya untuk pulang. Mantan istri dan anak-anak Niko pun berusaha menghentikannya. Namun usaha mereka nihil. Agustina tetap berdiri di depan kepolisian, membawa spanduk.
Agustina tak kuat lagi, ia pingsan di tenda yang ia buat di depan kepolisian.
Coffee menemukannya, dan sesegera mungkin membawanya ke rumah sakit. Tak berselang lama, Agustina sadar. Ia mendapati ada Coffee disampingnya.
“Syukurlah kamu udah sadar. Tadi orang tuamu dan mbak Ike dateng kesini. Tapi udah pulang. Mereka sangat mencemaskanmu,”
“Kamu pulang ya, aku khawatir sama keadaan kamu,” Ungkap Coffee, ia meletakkan makanan itu di meja samping ranjang Agustina.
“Coffee? Ternyata beneran ini kamu. Aku Cuma bisa lihat kamu di TV. Tapi, kamu nggak ada urusannya sama ini, jangan ikut campur,” Rintih Agustina yang mencoba untuk berdiri namun tidak bisa.
Tak berselang lama, Porsche dan Rian datang. Porsche mendekati Agustina, bergumam jengah, “Heh, kamu ngeyel. Kan aku udah bilang ya, aku akan selesaikan semua kasus abangmu itu,”
“Orangtuamu meminta tolong kami untuk mengantarkanmu pulang. Bilang aja, ‘ya’, kami akan packing barang-barangmu dan nganterin kamu pulang. Dan kamu Coffee, ngapain kamu disini?” Lanjut Porsche. Ia menatap Porsche dengan tatapan curiga.
“Nggak percaya. Kalian kan yang menyelesaikan kasus ini dengan kesimpulan bunuh diri. Katakan, gimana aku harus percaya sama kalian?” Jawab Agustina.
Rian menimpali, “Eh kurang ajar dia. Kamu tahu nggak, Detektif Porsche sudah berjuang buat membuka kasus ini kembali,”
“Oh, berjuang ya? Gimana itu kasusnya Yuki? Pertama kalian bikin Niko jadi tersangka, ternyata bukan kan? Ada pembunuhan serupa setelah Niko dipenjara. Sekarang Niko mati kalian tutup dengan kesimpulan bunuh diri. Kalau aku jadi kalian, aku bakal sembunyi di ketek mamiku,” Potong Coffee dengan nada yang mengejek.