“Gila, pekerjaan apa ini? Aku nggak nemu satupun cewek dengan nama musim dingin,” Keluh Rian yang matanya merah karena sudah beberapa jam berada di depan komputer.
“Cuma satu orang. Cowok dan itu mas Coffee. Apa iya orang kayak gitu diincar pembunuh,”
“Pokoknya mbak Sita harus beliin kita Szechuan Ramen di mall depan kantor pajak lho ya. Nggak mau tahu!” Gumam Rian tanpa melihat Sita yang juga sangat kewalahan meneliti setiap baris demi baris nama Wanita di database kota.
Sita menggebrak meja hingga gebrakannya terdengar sampai ruang sebelah. Ia meneriaki Rian tanpa menoleh sedikitpun, “Lalu kalau ada korban lagi, kamu mau tanggung jawab? Kalau bapak-bapak mereka ngelemparin telur ke muka gantengmu itu, apa kamu mau? Atau kamu mau ditanyain warga habis sawah berapa hektar buat jadi detektif di kota metropolitan ini?”
“Udah tinggalin aja itu data, biar aku sama Porsche aja. Fokus saja jadi ‘halo dek’ di rumah sakit sebelah. Jadi detektif kok kebanyakan bacot!”
Rian membela diri tapi dengan tenang, “Sawah? Halo dek? Omong kosong macam apa itu? Tanya sama diri mbak Sita sendiri, sudah berapa banyak sapi, dan berapa anggota junior yang dimodusin?”
Sita memundurkan kursi yang didudukinya. Ia melemparkan penghapus papan tulis tepat di kepala Rian.
Porsche datang dengan membawa dua kaleng kopi hitam dan satu kaleng susu madu. Datang-datang, ia sudah melihat kedua partnernya itu adu mulut. Porsche meletakkan makanan-makanan itu di meja keduanya. Semua di kantor tahu kalau mereka memang sering sekali berantem karena hal sepele jika bekerja Bersama. Tetapi setelah itu mereka damai seperti tak terjadi apa-apa.
“Aku menemukan lima perempuan dengan nama musim dingin di kota ini,” Seru Porsche setelah satu jam mencari lagi.
Ia mengirimkan tautan rincian beberapa nama ke surel Sita dan Rian.
Davina Asmarawati. 25 tahun. Mahasiswi S2
Windy Nadea 28 tahun. Ibu rumah tangga.
Ros Meri Rahmawati. 42 tahun. PNS
Sardiyan Sen. 70 tahun. Pensiunan paramedis pemadam kebakaran
Hazel Meriana Putri Wulandari 17 tahun. Pelajar SMA.
“Coba jelasin penemuanmu Porsch. Jujur aku nggak mudeng, apalagi Rian. Iya kan?” Sita melirik Rian dan Rianpun membalasnya dengan lirikan yang tak kalah sadis.
Porsche bangkit dari duduknya, membawa flashdisk. Ia menampilkan informasi yang didapatkannya dari berdiam diri beberapa jam di depan komputer dengan tingkat kecerahan yang maksimal itu.
“Yang pertama Davina Asmarawati. Davina bermakna seperti bunga daphne, bunga yang tumbuh di musim dingin. Kita sering melihat bunga itu dilapisi salju. Dia seorang mahasiswa S2 jurusan Teknik lingkungan di universitas negeri kota ini,”
Ia memberikan gambar bunga daphne yang diselimuti salju.
“Dia tinggal di apartemen Bex unit 342. Dia sedikit masuk di kriteria nomer satu yaitu nama yang berhubungan dengan musim dingin. Namun ia sama sekali tidak masuk dalam kategori kedua yaitu problematik. Ia bersih dari catatan kriminal apapun, dia juga aktif dalam kegiatan penyelamatan iklim,”
Porsche menunjukkan gambar Davina yang berorasi di depan Dinas Lingkungan Hidup kota dan memunguti sampah di stadion setelah diadakan kampanye besar-besaran.
“Oh iya, aku ingat dia yang marah-marahin Rian saat Rian buang puntung rokok di depan universitas negeri,” Sita masih saja menyerang Rian.
Rian pun melemparkan amunisi balasannya, “Dia kan juga marah sama mbak Sita gara-gara dibonceng motor ke fakultas ekonomi yang jaraknya cuma 200 meter,”
“Ini mau lanjut nggak? Atau selesaikan berantem kalian saja!” Tegas Porsche. Kedua detektif itu kini anteng menyimak meskipun masih dengan wajah kecut.
“Rian. Kamu bikinlah janji sama dia, kasih dia alat perlindungan diri sama kasih nomerku, mbak Sita, atau kamu. Yang jelas suruhlah dia laporan harian kemana aja dan dengan siapa sajakah dia seharian. Sampai pembunuh tertangkap, suruh dia terus laporan kepada kami,” Komando Porsche saat mereka sudah anteng.
Sita melirik sadis ke arah Rian. Bergumam lirih, “Bahagia dia suruh ngamatin cewek cantik,”
Rianpun memanas manasi Sita, “Kalau sudah ketemu, lanjut ‘halo dek’ ajalah,”
“BAJINGAN KAUM HALLO DEK! INI BAKAL CALON KORBAN LHO KOK YA DIMODUSIN!” Sita melempar penghapus papan tulis satunya tepat ke meja Rian.
Semua orang, bahkan di ruangan sebelah pun terkaget-kaget. Seorang ibu seperti Sita berbicara kasar dengan rekannya.
“KALIAN BISA NGGAK KESAMPINGKAN URUSAN PRIBADI KALIAN. ATAU SAYA USUL GANTI ANGGOTA SAJA!” Teriak Porsche lagi namun sedikit dengan menahan tawa. Mereka akan senang jika Porsche ganti anggota, karena mereka tak perlu dipermainkan kasus aneh ini lagi.
“Oke, karena kalian sudah tenang akan saya lanjut. Yang kedua Windy Nadea. Taulah artinya Windy itu apa. Berangin. Ia ibu rumah tangga mantan purel. Maaf, maksud saya dulu bekerja jadi pemandu karaoke di Ibnu Sista Karaoke selama 10 tahunan. Lalu dia menikah sama orang Korea, Gong Song yang berusia 48 tahun. Ia punya anak Namanya Annabelle Gong yang lahir 5 bulan setelah Windy dan Gong menikah,”
Kedua detektif lainnya tertawa. Mereka yang tadinya sangat bersitegang sekarang malah saling dukung, “Ketua kita suka mangku purel ning karaokean,” Bisik Rian dan ditanggapi anggukan oleh Sita.
Candaan itu tak digubris oleh Porsche. “Windy memiliki dua kriteria korban yaitu musim dingin dan problematik. Dia tinggal di rumah susun Kesetaraan Baru di unit 358. Saya minta tolong sama mbak Sita buat mengawasi Windy seperti yang saya instruksikan pada Porsche tadi….,” Jelas Porsche yang dibalas dengan anggukan Sita.
“Yang ketiga Ros Meri Rahmawati 32 tahun. Sama, Rosemary memang terkenal indah jika hidup di musim dingin. Jadi kemungkinan dia juga prospek selanjutnya. Dia seorang PNS dan ibu rumah tangga berusia 42 tahun. Suaminya seorang kepala bidang di sebuah Dinas di Kabupaten, dan anaknya dua. Mereka menjalani hidup LDR dengan suami yang berada di Jawa tengah dan istri yang berada di kota ini. Kalau problematik mungkin tidak ya, tidak ada catatan kriminal apapun. Namun, ponakannya juga bekerja di dinas itu tanpa seleksi yang memadai. Itu sih yang agak sedikit mengotori catatannya. Tapi…,”
“Yaudah sementara dia masuk ke golongan nama musim dingin yang problematic. Rian, ini tugasmu ya. Dia tinggal di perumahan Keseimbangan Baru blok G68,”
“Baik,” Jawab Rian.
“Nah ibu Sardiyan Sen ini menurutku paling nggak masuk akal deh kalau jadi korbannya si pembunuh musim dingin. Dia itu sudah sepuh, 70 tahun. Ia juga warga keturunan, anaknya banyak dan suaminya cuma satu. Kita akan dapat masalah jika kita mengawasinya seperti mengawasi para wanita ini. Dia dulu paramedic first responder bersertifikat. Bagaimanapun dia, dia memiliki nama seperti musim dingin dalam Bahasa Hindi. Mungkin ada yang sukarela menangani beliau?”
Tidak ada yang menjawab. Porsche terpaksa menangani Sardiyah yang memiliki anak dan cucu yang semuanya galak itu.
“Aku kaget yang terakhir. Hazel. Dia adiknya Anggita dari kasus 10 tahun yang lalu. Aku hubung-hubungkan dengan musim dingin, Namanya memang agak nyambung. Witch Hazel itu tanaman yang identic dengan musim dingin…,”
Rian menyelanya, “Aku tahu dia. Dia selebgram kan? Adikku sering membicarakannya karena ia sangat kaya dan selalu menggunakan barang mewah,”
Porsche mengetikkan nama Hazel di mesin pencariannya. Memang tampak seperti seorang remaja yang sangat modis dan kaya. Meskipun orang tuanya tampak tak sekaya itu untuk membiayai gaya hidup anaknya.
“Berapa sih pendapatan seorang seleb media sosial yang hanya di-endorse beberapa satu produk skincare yang baru rilis tiga tahun yang lalu?” Lanjut Rian.
Porsche membuka akun skincare yang di endorse oleh Hazel. Tampak sebuah laman penjualan skincare dengan logo norak yang menyisipkan foto pemilik tunggalnya. Laman itupun editannya tak rapi, bahkan laman restoran ramen di kabupaten pun tampak lebih meyakinkan. Rian dan Sita bertatap-tatapan. Tampak memprediksi kemana arah pembicaraan Porsche selanjutnya.
“Usaha laundry ya? Hahahah. Iya emang si owner ini terlalu mencurigakan. Norak juga sih. Itu jarinya ada 10 tapi cincin di tangannya ada 15,” Sahut Sita sambil menahan tawa dan menabok bahu Rian. “Ownernya pak Ady. Itu loh yang gembar gembor tiga tahun yang lalu miskin, sekarang punya usaha selusin. Tapi logo usahanya pake mukanya sendiri. Cih, apa yang nyuci di tempat itu nggak ketar-ketir kalau se mencurigakan itu?”
“Aku tahu ini arahnya kemana. Hazel ini jelas banget masuk kriteria musim dingin dan problematic. Coba lihat tanggal 11 Desember, pas ulang tahunnya Ady. Mereka sama-sama liburan di Jepang. Meskipun nggak foto bareng tap ikan kelihatan banget kalau mereka itu liburan bareng kesana,” Jelas Porsche yang menganalisis bayangan pria yang memfoto Hazel adalah Ady. “Fokus kita Cuma ngingetin Hazel. Lainnya bukan urusan kita. Tapi Hazel ini memang sulit sih, tipe-tipe orang ngeyel,”
Notifikasi telepon terdengar dari ponsel Porsche. Telpon dari seseorang yang diberi nama kontak Desi.
Sita menjawab, “Porsche, sepertinya si Hazel ini harus kamu deh. Kita nggak yakin bisa,”
Rian menimpali, “Bener mbak Sita. Apalagi Porsche kan ganteng tuh, jadi mungkin dia bisa bujuk Hazel. Kalau aku ntar malah dibikin thread di base ‘halo dek’,”
“Heh, emang Hazel kenapa….,” Omongan Porsche tidak selesai karena mereka langsung pergi melaksanakan tugasnya.
**
Porsche seorang diri telah berada di perkampungan imigran. Setelah satu jam, ia menemukan rumah ibu Sardiyan. Setelah drama dikejar-kejar angsa dan dilempari roti oleh orang gila, akhirnya sampailah ia di rumah kayu yang rapi bercat merah muda yang ngejreng dan pintu warna biru yang ngejreng juga. Seorang wanita dan seorang laki-laki duduk di pelataran lesehan sambil makan kacang. Mereka disusul oleh seorang anak sekitar lima tahun yang membawa mi goreng lalu. Anak itu tampak berbicara dengan si pria, namun pria tersebut malah menjewernya kesal. Si anak masuk ke rumah itu dengan teriakan dan tangisan. Mi goreng itu ditinggalkan nyalah di teras dan sang ayah pun memakannya.
Porsche dengan ragu-ragu melangkah ke rumah itu.
“Selamat siang...” Porsche memperkenalkan diri pada keluarga itu. Ia menjelaskan maksud dan tujuannya ingin bertemu dengan ibu Sardiyan, namun sepertinya Porsche salah kata atau memang mereka menolaknya.