Nggak penting banget. Udah, aku mau ke lokasi lain. Thanks ya udah ngingetin, tapi aku nggak butuh,”
Hazel tak mengindahkan sama sekali. Ia terus saja memainkan ponselnya.
“Kak Hazel, ada paket,” Seorang personal assistant memberikan paket yang berbungkus plastik merah muda pada Hazel. Ia langsung membuka bungkusan paket tersebut, terdapat sebuah gaun biru safir dan sepatu merk desainer.
Sesaat kemudian, ponsel Hazel berdering, ia seketika langsung menjawabnya, “Honey, udah nerima paketnya kan? Semoga cukup buat nyumpel mulut haters kamu,” Ucap pria dalam telepon. Porsche makin mencurigai Hazel.
“Ok daddy, see you tonight ya. Daddy Request Hazel pakai baju apa?” Sahut Hazel yang membuat Chere sedikit menahan tawa.
Obrolan itu terus berlanjut hingga membuat pikiran Chere tidak tahu kemana. Porsche juga tampak kehilangan kesabarannya saat menghadapi Hazel.
“Dengerin ya, pak detektif. Udah nggak ada lagi nama Anggita dalam kamus hidupku. Dia sudah hilang. Aku ya aku, Anggita ya Anggita. Jangan kira nasibku akan sama dengan perempuan itu,” Bantah Hazel pada Porsche. Hazel lalu menenteng tasnya dan pergi begitu saja. Asisten Hazel beberapa kali membungkuk meminta maaf pada Porsche dan Chere hari itu.
Porsche mengomandokan sesuatu ke Rian, “Rian, lacak siapa om-om yang dihubungi oleh Hazel,”
Rian dari seberang sana menjelaskan sesuatu. Porsche manggut-manggut mengerti.
“Chere, malam ini temenin abang dangdutan yuk,” Porsche cengengesan menatap jahil Chere. Dibalas ekspresi datar.
Pak Ady, yang selama ini dikaitkan dengan Hazel ternyata sedang dirawat di rumah sakit. Malam lalu, ia diserang oleh sebuah gangster di klubnya. Masalahnya tak lepas dari rebutan investor. Persaingan ketat antar usaha laundry memang sangat ketat, jika usahanya ilegal, maka persaingannya pun segelap dasar samudera. Kabarnya gangster itu sekarang menguasai tempat usaha pak Ady. Tidak mau bangkrut, Hazel pun mendekati si petinggi gangster dan secepat kilat ia mendapatkannya. Malam ini akan ada semacam welcoming party untuk para pengurus baru termasuk Hazel yang diundang secara khusus oleh petinggi gangster itu.
“Lalu petinggi gangster itu?” Sela Chere di tengah-tengah penjelasan Porsche.
“Mungkin @winterfox. Kamu ingat ini kan?” Porsche menunjukkan tato kepingan kristal di tangan petinggi gangster yang mukanya ditutup itu.
Pria itu memang tak pernah menunjukkan wajahnya. Ia hanya sering memamerkan tubuh atletis serta menonjolkan tangan kekarnya yang bertato kepingan kristal.
“Terus aku suruh ngapain hehehe,” Kekeh Chere yang cengo, merasa ia terlibat terlalu jauh di misi yang sepertinya agak bergenre komedi gelap ini.
“Aku akan gaji kamu lebih tinggi dari sebelumnya. Kamu ikutin aja apa kataku,”
“Firasatku nggak enak. Beneran nggak enak,” Chere melihat ke arah jendela. Membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Tetapi selama ada pria besar ini, hatinya merasa aman apapun rintangannya.
**
Malam ini, Porsche mengemudikan van minibus ke klub yang diduga tempat Hazel bertemu dengan om-nya itu. Sementara Rian masih saja mengutek-utek komputernya, membuat identitas palsu. Entahlah sanksi apa yang harus dihadapi mereka akibat misi aneh yang dijalankan diam-diam ini.
Rian menahan tawanya sejak tiga puluh menit yang lalu. Tertegun melihat seniornya yang berwibawa berdandan seperti biduan dangdut. Bibir Sita manyun, terlebih saat melihat ekspresi Rian.
“Kalian para junior kurang ajar ya! Kamu juga Chere!” Sita melempari mereka dengan tisu kotak.
Mobil bertuliskan “ORKES DANGDUT SELERA BERSAMA,” Itu terus melaju, Rian telah membuat identitas baru untuk mereka. Ekawati Brenava untuk Sita. Rian meng hack sistem bank dan pesan (yang termudah) dari klub gangster tersebut. Seolah mereka membatalkan entertainment yang asli dan membayar denda dua kali lipat dari bayaran manggung. Tim entertainment tersebut alhasil dimanipulasi dengan Sita sebagai penyanyinya.
Robert untuk Porsche. Ketua geng motor paling ditakuti seantero kota. Konon katanya geng itu membuat kota ini sangat angker di malam hari. Kasus terakhir yang ditangani Porsche dua tahun lalu masih membekas di ingatannya, kasus anak pejabat pajak yang menjadi anggota geng ini. Rian menggambari leher dan dada Porsche hingga seolah ia memiliki tato naga. Tato naga di leher adalah ciri khas geng ini karena namanya adalah “GROUND DRAGON”. Untungnya, mereka tak sadar kalau sebenarnya Robert yang asli sudah ditangkap beberapa bulan yang lalu.
Sebenarnya peran Chere disini menjadi kartu as aksi aneh mereka. Ia diberi identitas anak pejabat yang berinvestasi. Namanya Sheila. Sheila yang asli sedang clubbing dengan anak pejabat daerah, dia tak mengindahkan undangan ini. Jadi ini orang yang tepat untuk dicuri identitasnya.
Porsche mengomandokan sebuah perintah “Fokus kita menangkap si petinggi ini dan menyelamatkan Hazel. Nah jadi Detektif Sita fokus aja nyanyi..”
Komando Porsche ditertawakan oleh Rian hingga ludahnya nyemprot. Ia adalah orang yang paling puas dengan aksi ini. Ia puas melihat Detektif Sita yang dipermalukan.
“Rian, kamu harus dapat hukuman kedisiplinan. Nanti aku akan urus hukumanmu,” Ucap Porsche yang dibalas dengan Rian yang cengengesan.
Jika Porsche tidak membayarnya dua kali lipat, pastilah Chere menolaknya mentah-mentah. Bagaimana tidak, Sheila yang diperankannya tak ada kesamaan sama sekali dengan dirinya. Ia harus mengalihkan perhatian orang-orang penting itu, agar lengah. Yang jelas, supaya mereka mengetahui identitas si ketua gangster, atau dapat masuk ke tempat petinggi gangster. Sementara tugas Porsche alias Robert adalah memberikan saweran pada Sita, begitu banyak hingga membuat Hazel yang gila harta itu berpaling ke pelukan Robert. Di samping itu, ia harus sebisanya mengalihkan perhatian agar mereka mengabaikan Chere. Sementara tugas Sita sedikit mudah, hanya menyanyi dan berantem dengan artis problematik yang ada di klub itu.
“Berantem? Sama cewek? Ini mah hobiku,” Ucap Sita sesaat setelah mereka masuk dengan nama samaran mereka itu.
Pertama-tama Chere harus menggoda (mengalihkan perhatian) si pejabat bandar judi yang tak diketahui namanya itu.
“Aku suka main ini waktu SMP. Ah apa ini sebuah pengakuan ya? hehehe,” Sayup-sayup terdengar suara Rian dari meja komputer sana. Ia memainkan permainan judi kartu yang terhubung di ponsel sekali pakai milik Sheila alias Chere. Chere dengan anggun seolah memainkan permainan judi yang telah di-remote oleh Rian itu. Akhirnya mereka memenangkan 10 Juta pertamanya.
“Chere, kamu menang. Ekspresi kek yang bener,” Ucap Rian yang kegirangan memenangkan permainan tetapi Chere tak bereaksi.
Tanpa berekspresi, umpan sudah tiba. “Kamu main ini juga?” Tanya om-om dengan cincin lima belas di 10 jarinya itu. Om-om yang familiar di layar kaca, pengusaha kondang yang bucin dengan istrinya.
“Eh iya om,” Jawab Chere gugup.
“Heh goblok. Keluarinnya Sheila, bukan Chere!” Rian ngegas. Terdengar bentakan dengan gebrakan itu sampai telinga Sita yang harusnya tak mendengar jelas komando Rian kepada Chere.
“Heri Kurnianto, bandar judi utama sekaligus owner Bacok.com. Cepetan kamu goda dia,”
Chere menggeser tempat duduknya dekat dengan Heri. Ia menuangkan minuman ke gelas Heri “Iya om, semua permainan di Bacok.com emang gacor, memang jodohku di Bacok.com. Udah lebih dari 90 juta aku menangin om. Pasti seneng banget deh kalau aku kenal sama pemiliknya,”
“BAGUS!” Seru Rian yang kemudian siap-siap mengatur semuanya agar mendapatkan pengakuan dari Heri.
“Aku belum tahu namamu,” Jawab Heri yang meminum minuman itu namun tangannya gerayangan memegang rambut Chere. Chere menampik tangan orang tersebut.
“Bahkan aku belum tahu nama om,” Chere menjauhkan diri dengan anggun. Tapi Heri malah semakin mendekat. “Aku Heri bandar utama Bacok.com,”