Ryan dan rekan - rekannya sudah siap dengan perlengkapan interogasi. Mereka masuk ke dalam ruang interogasi dengan sorotan mata tajam menusuk. Ryan duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Billy. Menatap wajah Billy yang sudah tampak tak kelelahan membuat Ryan segera mengambil alih interogasi. Dengan nada suara berat dan tegas, Ryan yang sudah tak ingin berbasi - basi lagi langsung to the point menanyakan sosok yang memerintahkan pengeboman di priston itu. Dengan tatapan kosong, Billy memilih diam dan menutup mulutnya rapat - rapat daripada menjawab pertanyaan Ryan. Berusaha menahan emosi yang bisa saja meledak kapan saja, Ryan kembali bertanya dengan suara lebih lantang dan mengatakan dirinya sedang tidak ingin berman - main. Melihat Billy yang masih bungkam, Ryan memberikan isyarat pada timnya untuk segera membawa baskom dan handuk di hadapannya. Salah seorang rekan Ryan berdiri tepat di belakang Billy dan menutup mukanya dengan handuk, yang lainnya memegang baskom besar untuk memastikan baskom tak tumpah. Dengan satu isyarat yang diberikan Ryan, rekan - rekan Ryan memulai penyiksaan ringan itu. Mereka mencelupkan muka Billy yang sudah tertutup handuk ke dalam baskom itu selama beberapa waktu. Memandang Billy yang sudah mulai meronta - ronta, Ryan memberi isyarat pada rekannya untuk mengeluarkan mukanya dari baskom dan membuka handuk itu. Napas Billy terengah - engah seperti pelari yang habis memutari lapangan bermil - mil jauhnya. Ryan menanyakan untuk ketiga kalinya pertanyaan yang sama. Namun, rupanya aksi tadi belum membuat Billy menyerah. Ryan meminta rekannya melakukan hal serupa sekali lagi, kali ini handuk lebih dikencangkan dan dengan kasarnya mereka mencelupkan lagi muka Billy ke baskom untuk waktu yang lebih lama. Melihatnya hampir kehabisan napas dan merasa terlalu dini bertemu kematian, mereka mengeluarkan wajahnya dari baskom.
"Bagaimana sekarang, sudah siap dengan jawabannya, Bil ?", tanya Ryan.
Claire membuka mata perlahan. Ruangan yang tidak terlalu tinggi dan seluruh bagiannya terbuat dari kayu termasuk ubinnya, itu gambaran pertama yang bisa dijelaskannya saat menatap area sekitar. Beberapa kursi kayu reyot berjejer di atas karpet hitam usang di salah satu pojok ruangan. Bola matanya bergerak ke pojok yang lain tampak tergeletak benda - benda perkakas yang sudah aus dan berkarat di atas sebuah kotak kotor berwarna merah. Ia coba mencermati dimana posisinya saat ini. Aku duduk persis di tengah ruangan kayu ini dan sepertinya aku disekap. Tak tampak seorang pun yang muncul untuk sekedar menyapanya saat ia sudah sadar. Beberapa saat kemudian, ia merasakan kepalanya agak pening. Ia coba mengingat kembali apa yang telah dialaminya. Sapu tangan basah yang membekapku, yang membuat kepalaku sakit sekarang lalu aku tak sadarkan diri. Dua pria kekar itu, aku ingat ! Siapa mereka dan mau apa mereka padaku…?!. Claire berteriak memanggil seseorang yang mungkin mendengarnya agar dapat menjelaskan apa yang sedangt terjadi. Ia sudah berusaha berteriak sekencang mungkin sampai merasakan tenggorokannya sakit tapi pita suaranya tak jua mengeluarkan bunyi. Apa aku sudah mulai bisu ?. Claire merasakan ada sesuatu yang mengganjal diantara gigi - giginya, menusuk kedua pipi tirusnya dan terasa ketat di tempurung kepala bagian belakang. Kain tebal telah membungkam mulutku dengan erat. Kedua pergelangan tangannya terasa perih karena telah diikat kencang ke bagian belakang punggungnya dengan tali tambang begitupun kedua pergelangan kakinya. Juga ada bom waktu yang sudah dipasang dalam rompi hitam dan sekarang melekat di tubuhnya. Tidakkkkk…. !!!!
Dengan cemas dan terbata - bata Billy menyebutkan nama orang yang menyuruhnya melakukan aksi kejahatan itu sambil kembali mengatur napas.
"Kalian kenal nama itu ?", tanya Ryan.
"Tidak, Pak, pemain baru sepertinya."
"Lalu bagaimana dengan kotak hitam ini, apakah tertinggal di TKP ?"
Billy menggangguk tanpa memandang wajah Ryan yang tampak beringas.