Aku tidak bahagia.
Kalimat itu bergaung lebih keras di otak Nou, ketika membuka mata pagi ini. Dalam kegelapan sebelum subuh—setidaknya itu yang ia perkirakan—matanya tidak mau dibujuk untuk kembali terpejam. Malah menatap langit-langit dengan nyalang. Sementara itu, kalimat beracun tadi terus bergaung semakin keras. Semakin keras hingga otak terasa berdenyut dan rasa sakit yang familiar mulai merambati kepalanya.
Nou tak yakin apa yang menyebabkan ia terbangun, padahal alarm yang dipasangnya di ponsel belum lagi berbunyi. Sekitar dua menit ke depan, perempuan itu melanjutkan menatap langit-langit, sebelum kemudian menyadari sesuatu yang berbeda.
Ini terlalu sunyi!
Dua belas tahun terakhir, tak pernah lagi Nou merasakan malam yang sunyi seperti ini. Dengkuran Axel, suaminya, biasanya menjadi melodi yang menemani sepanjang malam.
Memikirkan Axel, seolah menjadi pengeras suara bagi kalimat yang sedari tadi bergema di otaknya. Aku tidak bahagia!
Dering alarm mendadak memecah keheningan. Sebuah dengkuran keras kembali terdengar. Rupanya alarm membuat Axel terkejut dalam tidur. Kemudian, terasa kasur bergoyang saat lelaki itu bergerak dan melingkarkan lengannya ke pinggang Nou. Mendadak, kenangan pertengkaran mereka semalam membanjiri ingatan. Dengan sebal, Nou berusaha mengenyahkan lengan berotot itu, tapi si pemilik lengan malah mempererat pelukannya.
Kenapa sih dulu aku jatuh cinta dengan lelaki ini? Pertanyaan baru yang muncul di benak Nou ini membuat gaung kalimat ‘aku tidak bahagia' mereda. Sedikit. Sebab sekarang, selain rasa sakit kepala, perutnya mulai bergejolak tak jelas. Seolah membujuk agar lanjut berbaring, tak usah mengkhawatirkan apa pun selain rasa sakit ini. Namun, Nou paham bahwa itu tidak mungkin. Sebagai ibu dari tiga bocah—well, empat bocah bila suaminya dihitung—bermalas-malasan di pagi hari adalah suatu kemustahilan.
Axel kembali bergerak, kini tangan lelaki itu mengelus perut Nou.