The Wish and the Wush

Vani Afianti
Chapter #2

#2 Mimpi Buruk?

“Apa? Tolong ulangi perkataanmu barusan!”

Axel mundur dengan waspada. “Suaramu terlalu keras, Sayang.”

“Benarkah?” Nou menaikkan nada satu oktaf, sehingga Bobo si kucing peliharaan mereka meratakan tubuh dengan karpet dan melipat telinganya. Axel, tak jauh berbeda, terlibat mengkeret di atas kursi makan yang dia duduki.

“Bukankah anak-anak sudah tidur? Suaramu—” Kalimat Axel menggantung di udara demi melihat raut wajah Nou makin mengeras. 

Kemudian, lelaki itu menegakkan tubuh. Mungkin mengumpulkan kekuatan untuk dapat melanjutkan perkataannya. Namun, yang keluar hanya, “Tadi sudah kubilang, tolong jangan marah—” Suara lelaki itu terdengar seperti cicitan sekarang.

“Katakan lagi berapa harganya?” Nou menukas cepat. Tetap mempertahankan nada suara yang bisa menyaingi lengkingan kelelawar.

Well—yah, kau tahu—ini merupakan barang limited edition. Barang koleksi. Bukan sembarang mainan. Jadi—jadi mungkin memang sedikit maha—”

BE. RA. PA?

Tekanan dalam suara Nou rupanya terlalu mengintimadasi, sehingga Axel dengan terbata segera menyebutkan sederetan angka. 

Rahang Nou turun dan mulutnya terbuka dengan sukarela karena rasa terkejut yang besar. Setelah kejutan itu sedikit mereda, kekecewaan meluap tak tertahankan hingga rasanya sulit menemukan kata-kata. Keheningan kini tercipta di antara mereka. Bobo si kucing terlihat mengendap-endap pergi keluar dari ruang makan.

Sepuluh menit setelah berpikir dalam-dalam, Nou memutuskan bahwa sudah waktunya untuk berbicara.

“Kau tahu itu di luar kemampuan kita saat ini, Axel? Dengan cicilan rumah yang naik, uang katering dan jemputan anak-anak juga naik sejak bulan ini, dan mesin cuci yang bocor entah sejak kapan sudah tidak bisa diperbaiki sehingga kita perlu membeli yang baru? Aku sudah sangat berhemat setiap hari. Dan kau bahkan baru membeli konsol game bulan lalu. Tanpa berdiskusi denganku! Apakah itu belum cukup?” Napas Nou tersengal di akhir kalimat. Dia yakin barusan sudah mengalahkan nada yang dicapai Mariah Carey saat konser.

Axel membuka mulut seolah akan mengatakan sesuatu, tapi dia cukup bijak untuk mengurungkan hal tersebut dan memilih diam. Menunggu Nou kembali bicara. Namun, perempuan itu hanya bergeming. Melipat tangan di dada dengan wajah masam dengan level mematikan melebihi keasaman Danau Natron di Tanzania. Matanya menatap Axel tanpa berkedip.

“Nou—” 

Setelah lebih dari sepuluh menit berlalu, lelaki itu merasa aman untuk membuka percakapan. Namun, satu gerakan tangan secara mendadak seolah sedang mengusir lalat yang dilakukan istrinya, membuat Axel tampak menelan kembali apa pun yang hendak diutarakan.

Lihat selengkapnya