Aku pertama-tama mendapat firasat ada yang tidak beres ketika bangun dalam kegelapan dengan wajah dibelai-belai oleh kucing. Aku pasti lupa menutup pintu dapur semalam. Hukuman bagiku karena pulang dalam keadaan mabuk.
“Pergi sana,” erangku. Delilah mengeong dan menyundulku. Kucoba mengubur wajahku di bantal, tapi ia terus menggosok-gosok kupingku sampai aku berguling dan dengan tega mendorongnya turun dari kasur.
Ia jatuh berdebum di lantai sambil mengeluarkan rintihan kecil jengkel dan aku pun menarik selimut ke atas kepalaku. Namun, bahkan dari balik selimut, aku bisa mendengar si kucing menggaruki pintu hingga bergoyang-goyang di kosennya.
Pintu ternyata tertutup.
Aku terduduk tegak, jantungku mendadak berdebar-debar, dan Delilah sontak melompat riang ke atas tempat tidurku. Kugendong dan kudekap si kucing ke dadaku, untuk meredam gerakannya, lalu kupasang telingaku baik-baik.
Aku mungkin saja lupa menutup pintu dapur, atau membiarkannya terbuka secelah selepas merangsek masuk. Namun, pintu kamarku terbuka ke arah luar—konsekuensi dari tata letak flatku yang janggal. Tidak mungkin Delilah terkurung secara tak sengaja di dalam kamarku. Seseorang telah menutup pintu kamarku.
Aku duduk mematung sambil merapatkan tubuh hangat Delilah yang tersengal-sengal ke dadaku dan berusaha untuk mendengarkan baik-baik.
Tidak ada apa-apa.
Kemudian, rasa lega sekonyong-konyong mendera ketika terbetik di benakku bahwa Delilah barangkali bersembunyi di kolong tempat tidurku dan akulah yang mengurungnya di dalam sini sewaktu aku pulang. Aku tidak ingat menutup pintu kamar, tapi aku mungkin saja telah menarik daun pintu ke dalam tanpa sadar sewaktu masuk. Sejujurnya, semua yang terjadi sejak dari stasiun kereta bawah tanah kabur dalam ingatanku. Kepalaku mulai pening dalam perjalanan pulang dan kini, seiring dengan surutnya kepanikanku, rasa ngilu kembali menjalar dari dasar tengkorakku. Aku sungguh harus berhenti minum-minum pada tengah pekan. Kebiasaan itu tidak berdampak apa-apa semasa usiaku dua puluhan, tapi sekarang sakit kepala selepas mabuk tidak dapat kuenyahkan semudah dulu.
Delilah mulai menggeliang-geliut tak nyaman dalam pelukanku, menekankan cakarnya ke lengan bawahku, jadi kulepaskan ia sementara aku menggapai dan mengenakan mantel kamar. Selepas mengikat sabuk, kugendong lagi Delilah, untuk mengantarkannya ke dapur.
Ketika aku membuka pintu kamar, seorang pria berdiri tegak di hadapanku.
Tidak ada gunanya mempertanyakan rupa pria itu karena, percayalah kepadaku, aku sudah menekurinya dua puluh lima kali sewaktu ditanyai polisi. “Kulit pergelangan tangannya bagaimana?” tanya mereka berkali-kali. Tidak kelihatan, titik. Dia mengenakan sweter bertudung, sedangkan hidung dan mulutnya ditutupi bandana, dan yang lain terselubung bayang-bayang. Kecuali tangannya.
Dia mengenakan sarung tangan lateks. Itulah yang membuatku takut setengah mati. Sarung tangan itu menyiratkan bahwa dia tahu persis hendak berbuat apa. Menyiratkan bahwa dia datang dalam keadaan siap. Menyiratkan bahwa yang dia incar mungkin bukan cuma uangku.