The Woman in Cabin 10

Noura Publishing
Chapter #2

Bagian 1 - Dua

Butuh dua jam untuk keluar dari kamar tidur. Aku tidak punya telepon rumah, maka aku tidak bisa minta tolong via telepon, sedangkan jendela kamarku berkisi-kisi. Kikirku yang paling bagus patah gara-gara kugunakan menggetok-getok selot, tapi akhirnya pintu berhasil terbuka dan keluarlah aku ke koridor sempit. Flatku hanya terdiri dari tiga ruangan—dapur, kamar tidur, dan kamar mandi kecil—dan seisi flatku praktis kelihatan dari luar kamar tidur, tapi aku tetap saja mengintip ke tiap ambang pintu, malah sempat mengecek lemari di koridor tempatku menyimpan mesin pengisap debu. Untuk memastikan pria itu betul-betul sudah pergi.

Kepalaku bertalu-talu dan tanganku gemetar sementara aku menapaki tangga menuju pintu depan rumah tetanggaku. Sementara menunggunya membukakan pintu, aku spontan menengok ke balik bahu untuk menelaah jalanan gelap. Saat itu baru pukul empat pagi, menurut tebakanku, dan dia baru bangun setelah aku menggedor-gedor cukup lama. Aku mendengar gerutuan meningkahi langkah kaki Mrs. Johnson yang bergedebuk menuruni tangga, lalu pintu terbuka secelah sehingga menampakkan wajah mengantuk yang bingung bercampur takut, tapi ketika dia melihatku menggigil di undakan depan pintunya dalam balutan mantel kamar, darah di wajah dan tanganku, ekspresinya seketika berubah dan dia pun melepas gerendel pintu.

“Astaga! Ada apa?”

“Saya kerampokan.”

Sulit untuk bicara. Aku tidak tahu apakah pemicunya adalah hawa dingin musim gugur atau kondisiku yang terguncang, tapi aku mulai gemetar hebat sampai terkejang-kejang dan gigiku bergemeletuk kencang sekali sampai-sampai aku sekejap membayangkan gigi-gigiku remuk dengan seramnya di dalam kepalaku. Kuenyahkan pemikiran itu cepat-cepat.

Mrs. Johnson menuntunku masuk ke ruang duduknya yang berkarpet amuba. Ruangan itu kecil, gelap, dan gerah karena pemanasnya disetel ketinggian, tapi saat ini terkesan seperti tempat bernaung yang aman.

“Duduk, duduk.” Mrs Johnson menunjuk sofa merah empuk, kemudian berlutut perlahan-lahan dan mulai mengutak-atik kenop gas. Aliran gas membesar dan aku merasakan suhu meningkat sederajat sementara wanita itu berdiri dengan susah payah. “Akan kubuatkan kau teh panas.”

“Saya tidak apa-apa, Mrs. Johnson, sungguh. Apa boleh saya—”

Namun, dia menggeleng tegas. “Teh manis panas adalah obat paling mujarab sewaktu kita sedang terguncang.”

Maka, duduklah aku sambil memegangi lutut dengan tangan gemetar, sementara Mrs. Johnson mondar-mandir di dapurnya yang mungil dan kembali sambil membawa nampan yang menopang dua mok. Aku mengambil mok paling dekat dan minum sesesap, berjengit saat panasnya wadah menyengat luka iris di tanganku. Teh itu teramat manis sampai-sampai darah yang larut dalam mulutku nyaris tak terasa, yang mungkin harus kusyukuri.

Mrs. Johnson tidak minum, tapi semata-mata memperhatikanku, dahinya bekerut khawatir.

“Apakah dia ....” Suaranya melirih. “Apakah dia menyakitimu?”

Aku tahu maksudnya. Aku menggeleng, tapi aku meminum sesesap teh panas membara lagi sebelum memberanikan diri untuk bicara.

“Tidak. Dia tak menyentuh saya. Dia membanting pintu di muka saya sehingga pipi saya tersayat begini. Kemudian, tangan saya teriris sewaktu berusaha keluar dari kamar. Dia mengunci saya di dalam.”

Aku sekilas membayangkan diriku sendiri, gila-gilaan menghantam selot dengan kikir dan gunting. Judah sering menggodaku karena menggunakan perkakas tak sesuai fungsinya—semisal membuka sumbat dengan pisau makan, atau melepas ban sepeda dengan sekop. Malahan, akhir pekan kemarin Judah mentertawaiku karena coba-coba memperbaiki pancuran di kamar mandi dengan selotip, lantas turun tangan untuk memperbaikinya sesiangan dengan resin epoksi. Namun, dia sedang pergi ke Ukraina dan aku tidak boleh memikirkannya sekarang. Jika aku memikirkannya, bisa-bisa aku menangis dan jika aku menangis saat ini, jangan-jangan aku tidak akan bisa berhenti.

“Aduh, Anak Malang.”

Aku menelan ludah.

“Mrs. Johnson, terima kasih tehnya—tapi saya ke sini untuk menanyakan apakah saya boleh meminjam telepon Anda? Dia mengambil ponsel saya, jadi saya tidak bisa menelepon polisi.”

“Tentu saja, tentu saja. Minum dulu tehmu. Telepon di sebelah sana.” Dia menunjuk meja kecil bertaplak rajut, yang memuat sebuah telepon putar—barangkali satu-satunya di London, selain di butik barang antik di Islington. Aku menghabiskan teh dengan patuh, lalu meraih telepon. Sekejap jariku terangkat di atas angka sembilan, tapi kemudian aku mendesah. Dia sudah pergi. Apa yang dapat polisi perbuat sekarang? Biar bagaimanapun, ini bukan panggilan darurat.

Oleh sebab itu, aku memutar angka 101, nomor polisi untuk keperluan non-darurat, dan menunggu untuk disambungkan.

Aku lantas duduk dan memikirkan asuransi yang tidak kumiliki, ketiadaan gembok di pintu, dan kekacaubalauan semalam.

Aku masih memikirkan hal yang sama berjam-jam kemudian, selagi memperhatikan tukang kunci darurat mengganti selot butut di pintu depanku dengan gembok sungguhan, sekaligus mendengarkannya menguliahiku tentang keamanan rumah dan pintu belakangku yang payahnya minta ampun.

“Pintu belakangmu dari MDF, Non. Sekali tendang langsung bobol. Mau kutunjukkan?”

“Tidak,” kataku buru-buru. “Tidak usah, terima kasih. Nanti akan saya perbaiki. Anda tidak bisa memasang pintu, ya?”

“Memang, tapi temanku ada yang bisa. Akan kuberi kau nomornya sebelum aku pergi. Sementara itu, suruh suamimu memperkuat pintu belakang dengan papan ukuran dua senti. Jangan sampai kejadian semalam terulang lagi.”

“Betul,” aku mengiakan. Alangkah janggalnya bahwa aku mampu bereaksi acuh tak acuh seperti itu, padahal hatiku sama sekali tidak tenang.

“Temanku yang seorang polisi bilang, seperempat kasus pembobolan adalah tindakan berulang. Orang yang sama datang untuk merampok lagi.”

“Wow,” kataku datar. Informasi persis seperti inilah yang perlu kudengar.

“Papan dua senti. Perlu kutuliskan untuk suamimu?”

“Tidak usah, terima kasih. Saya belum menikah.” Dan, walaupun memiliki rahim, aku bisa mengingat angka dua digit sederhana.

“Aaah, begitu. Ya sudah, tapi harap diingat,” katanya, seolah-olah menyalahkanku karena kemalingan. “Kosen ini juga payah. Perlu diperkuat dengan angkur. Kalau tidak, percuma saja menggunakan gembok terbaik karena begitu kosen ini dibolongi, kunci bisa dibobol dengan mudah. Di vanku sepertinya ada angkur yang ukurannya pas. Tahukah kau benda yang kumaksud?”

“Saya tahu,” ujarku letih. “Pelat logam yang dipasang di kosen, ‘kan?” Aku curiga dia mengadaliku demi keuntungannya sendiri, tapi saat ini aku tidak peduli.

“Begini saja,” kata si tukang sambil berdiri dan menjejalkan pahat ke saku belakangnya. “Biar kupasangkan angkur dan kupakukan papan di pintu belakang sekalian, gratis. Aku punya barang di van yang ukurannya kira-kira cocok. Jangan murung, Non. Dia tidak akan kembali lewat sini, kujamin.”

Entah kenapa, kata-katanya tidak menenangkan hatiku.

Selepas si tukang pergi, aku menyeduh teh dan mondar-mandir di flat. Aku merasa seperti Delilah setelah seekor kucing jantan merangsek masuk lewat lubang kucing dan buang air kecil di koridor—insiden yang ditanggapi oleh Delilah dengan mengeluyur ke sana kemari selama berjam-jam, menggosok-gosokkan badan ke tiap perabot, mengencingi sudut-sudut, demi kembali merebut klaimnya atas ruangan-ruangan di dalam flatku.

Aku tidak lantas mengencingi kasur, tapi aku memang merasa telah terusik, merasa perlu meneguhkan supremasi di daerah kekuasaanku yang telah dinodai. Dinodai? kata suara hati kecilku yang sarkastis. Tidak usah berlebihan.

Namun, aku memang merasa telah dinodai. Flat kecilku serasa hancur lebur—porak poranda dan tidak aman. Mendeskripsikannya kepada polisi saja terkesan bak cobaan berat—ya, saya melihat si penyusup, tidak, saya tidak bisa menggambarkan sosoknya. Tas berisi apa saja? Oh, cuma, tahu ‘kan, segala macam yang esensial bagi kehidupan saya: uang, telepon seluler, SIM, obat, praktis semua yang saya perlukan mulai dari maskara sampai kartu pas transportasi.

Nada bicara operator polisi yang lugas dan impersonal masih bergema di kepalaku.

“Telepon jenis apa?”

“Bukan yang mahal,” kataku letih. “Hanya iPhone lama. Saya tidak ingat persis modelnya, tapi bisa saya cari tahu.”

Lihat selengkapnya